BAB I
PENDAHULUAN
I.1. LATAR BELAKANG MASALAH
Hukum Pidana Internasional dapat didefinisikan sebagai, cabang ilmu hukum yang menguraikan dan menjelaskan persentuhan aspek hukum nasional dan hukum internasional. akan tetapi tidak jelas “karakter” dan “jenis kelamin” sesungguhnya dari hukum pidana internasional. jalinan aspek hukum nasional dan hukum internasional merupakan keunikan hukum pidana internasional.
Hukum Pidana Internasional ”International Criminal Law” adalah cabang ilmu hukum baru yang memiliki aspek hukum (pidana) nasional, dan aspek hukum internasional, kedua aspek hukum tersebut bersifat komplementer satu sama lain.
Hukum Pidana Internasional telah membuka wawasan baru dalam perkembangan penerapan hukum pidana nasional, tidak ada ancaman kejahatan transnasional dan kejahatan nasional yang tidak memiliki solusi dan antisipasi. selain itu hukum pidana internasional telah membuka pandangan baru mengenai pertanggungjawaban pidana seorang individu dalam hal kejahatan, dan pandangan baru dari hukum pidana internasional adalah berkembangnya pendapat.
Hukum Pidana Internasional sebagai cabang disiplin ilmu baru dalam ilmu hukum, merupakan disiplin ilmu yang paling lengkap karena memiliki modal awal (modalities) yaitu: asas-asas hukum maupun kaidah kaidahnya, termasuk ketentuan mengenai prosedur beracara dimuka pengadilan pidana internasional, dan lembaga yang melaksanakan proses peradilan terhadap pelanggaran HAM berat. keseluruhan asas hukum, kaidah dan prosedur penegakan hukum tersebut telah dimuat didalam statuta ICC (International Criminal Court) statuta Roma tahun 1998.
Prospek disiplin hukum pidana internasional berkaitan secara langsung dengan prinsip kedaulatan negara dan asas-asas pemberlakuan hukum pidana nasional yang telah diakui secara universal. Didalam sistem peraturan per Undang-undangan Indonesia,Undang-undang Dasar merupakan hukum dasar (grondwet) yang menjadi sumber hukum seluruh peraturan per Undang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Undang-undang Dasar tidak memuat ketentuan lengkap mengenai bagaimana hubungan internasional dan suatu perjanjian internasional harus dilaksanakan, melainkan hanya memberikan landasan konstitusional presiden selaku kepala negara atas persetujuan DPR RI, untuk membuat perjanjian internasional. ketentuan pasal 9 Undang-undang hukum pidana (KUHP,1946) di Indonesia, merupakan satu-satunya ketentuan hukum pidana Indonesia yang secara eksplisit mengatur bagaimana hukum internasional seharusnya diberlakukan kedalam hukum nasional yang menegaskan bahwa, penerapan pasal 2-5,7 dan 8 dibatasi oleh pengecualian-pengecualian yang diakui dalam hukum internasional.
Perkembangan saat ini merujuk pada praktik, hukum pidana internasional memiliki arti yang luas. Otto Triffterer, mengemukakan bahwa: ”Hukum Pidana Internasional termasuk sejumlah ketentuan internasional yang menetapkan suatu perbuatan merupakan kejahatan menurut hukum internasional[3]” .hukum pidana internasional dalam sudut pandang ini merupakan bagian-bagian dari hukum bangsa-bangsa.
Terkait dengan definisi Otto tersebut diatas maka dapat dikatakan bahwa, keberadaan hukum pidana internasional, lebih tepat dikatakan, ”The bridging science”yang menghubungkan dua kepentingan, yaitu: kepentingan (hukum) internasional(International Interest) dan kepentingan (hukum) nasional (National Interest) dalam menghadapi satu objek yang sama yaitu ancaman dari kejahatan transnasional dan kejahatan internasional, kedua kepentingan tersebut merupakan “Pasangan Harmonis” dalam praktik penegakan hukum pidana internasional.
I.2. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana perkembangan pembahasan draft teks statuta mahkamah pidana internasional?
2. Bagaimana statuta mahkamah pidana internasional (international criminal court)?
3. Bagaimana makna tiap alinea dalam mukadimah statuta mahkamah pidana internasional?
4. Bagaimana lingkup yurisdiksi mahkamah pidana internasional?
I.3. TUJUAN DAN MANFAAT
1. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan pembahasan draft teks statuta mahkamah pidana internasional.
2. Untuk mengetahui bagaimana statuta mahkamah pidana internasional (international criminal court).
3. Untuk mengetahui bagaimana makna tiap alinea dalam mukadimah statuta mahkamah pidana internasional.
4. Untuk mengetahui bagaimana lingkup yurisdiksi mahkamah pidana internasional.
BAB II
PEMBAHASAN
II.1. PERKEMBANGAN PEMBAHASAN DRAFT TEKS STATUTA MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL
Draft teks statute ICC yang dibahas dalam Konferensi Diplomatik di Roma, adalah yang diusulkan oleh Komisi Hukum Internasional (International Law Commission) dan pembahasan telah melalui 7 (tujuh) Resolusi Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa / Resolusi SMU berikut:
1. Resolusi SMU PBB 47/33 tanggal 25 November 1992,
2. Resolusi SMU PBB 48/31 tngga 9 Desember 1993,
3. Resolusi SMU PBB 49/53 tnggal 9 Desember 1994,
4. Resolusi SMU PBB 50/46 tanggal 11 Desember 1995,
5. Resolusi SMU PBB 51/207 tanggal 17 Desember 1996,
6. Resolusi SMU PBB 52/160 tanggal 15 Desember 1997.
Konferensi Diplomatik untuk melaksanakan pembahasan terakhir dan untuk mengadopsi Statuta ICC berlangsung sejak tanggal 15 Juni 1998 sampai tanggal 17 Juli 1998.
Pembukaan Konferensi di pimpin oleh Kofi Annan, Sekretaris Jendral PBB selaku Presiden Tetap Konperensi, Giovanni Conso dari Italia. Di dalam sambutan pembukaan konferensi diplomatik di Roma, Kofi Annan menguraikan tentang peristiwa yang paling kejam sebagai contoh dari kejahatan yang sering disebut dengan kebijakan Negara secara sistematis. Kelanjutan dari hal tersebut, telah dibentuk Mahkamah Adhoc untuk menuntut dan mengadili peristiwa genosida dan kejahatan manusia.
II.2. STATUTA MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (INTERNATIONAL CRIMINAL COURT)
Mukadimah dalam statuta memiliki arti penting baik secara hukum maupun secara politis. Dari sisi relevansi hukum, keberadaan mukadimah tersebut ditunjukan untuk membantu penafsiran dan penerapan statuta, dan secara khusus mengenai wewenang ICC berdasarkan pasal 35 yang berhubungan dengan isu mengenai “admissibility” atau penerimaan yurisdiksi ICC ke dalam sistem peradilan nasional.
Merujuk kepada Konvensi Wina tentang Perjanjian Internasional (1961) Pasal 31 menegaskan bahwa, mukadimah dalam suatu perjanjian merupakan bagian dari substansi yang merupakan rujukan untuk menafsirkan suatu perjanjian[15].
Secara politis, keberadaan suatu mukadimah dalam Statuta Mahkamah Pidana Internasional, karena berkaitan dengan kredibilitas negara peratifikasi untuk menjadi pihak dalam statuta sangat tergantung dari apresiasi dan komitmen negara-nagara tersebut terhadap prinsip-prinsip yang dicantumkan di dalam Mahkamah Statuta.
II.3. MAKNA TIAP ALINEA DALAM MUKADIMAH STATUTA MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL
Alinea kesatu: “Conscious that all people are united by common bonds, their culture pieced together in a shared heritage, and concerned that this delicate mosaic may be shattered at any time”.
Alinea kesatu di atas mencerminkan bahwa pembentukan Mahkamah Pidana Internasional adalah dalam konteks global. Pembentukan Mahkamah bukanlah semata-mata penegakan keadilan internasional melainkan mencerminkan bahwa prinsip dasar dan kepentingan yang meatarbelakangi pembentukan mahkamah ini tidaklah dibentuk dalam keadaan kekosongan hukum akan tetapi memiliki gaungnya di dalam hubungan internasional.
Alinea kedua: “Mindful that during this century millions of children, women and men have been victims of unimaginable atrocities that deeply shock the conscience of humanity”.
Alinea kedua, mengingatkan masyarakat interbasinal terhadap korban-korban yang diakibatkan oleh peperangan atau kekejaman kekuasaan negara yang seharusnya memperolah perindungan.
Pembentukan Mahkamah bukan hanya bertujuan menuntut dan menghukum pelaku kajahatan saja melainkan juga merupakan bentuk perindungan hukum terhadap para korban kejahatan tersebut.
Alinea ketiga: “Recognizing that such grave crimes threaten the peace, security and well-being of the world”.
Alinea ketiga mecerminkan pengakuan landasan teoritik justifikasi keberadaan hukum pidana internasional dengan menunjukkan apa yang harus diproteksi, yaitu melindungi niai-nilai kemanusiaan universal terhadap kejahatan serius yang mengancam.
Alinea keempat; “Affirming that the most serious crimes of concern to the international community as awhole must not go unpunished and their effective prosecution must be ensure by taking measures at the national level and by enchancing international cooperation”.
Alinea keempat, menegaskan tujuan praktis dari hukum pidana internasional, yaitu “The most serious crimes” alinea ini juga mencerminkan terhadap perbedaan antara “the serious crime “ yang menjadi perhatian masyarakat internasional, dan “ordinary crimes” yang tidak menjadi perhatian masyarakat internasional.
Alinea kelima: “Determined to put an end to impunity for the perpetrators of these crimes and thus to contribute to the prevention if such crimes”.
Alinea ini mengandung prinsip “non-impunity”.alinae ini juga menuntut agar penegakan hukum pidana internasional (langsung atau tidak langsung) harus dapat berlaku efektif.agar dapat mencegah terjadinya kejahatan serius di masa yang akan datang.
Alinea keenama: “Recalling that it is the duty of every State to exercise its criminal jurisdiction over thos responsible for international crimes”.
Aliea ini meminta semua negara untuk melaksanakan kewajibannya menuntut dan menghukum mereka yang bertanggung jawab atas kejahatan serius yang menjadi yurisdiksi ICC.
Alinea ketujuh: “Reaffirming the purpose and principles of the Charter of the United Nations, and in particular that all State shall refrain from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistens with the purposes of the United Nations”.
Alinea ketujuh ini, mengungatkan agar tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat mengancam terhadap keamanan dan perdamaian internasional.
Alinea kedelapan: “Emphasizing in this connection that noting in this Statute shall be taken as authorizing any State Party to intervence in armed conflict or in the internal affairs of any State”.
Di dalam alinea ini, mengingatkan semua negara agar di dalam menjalankan yurisdiksinya tidak melakukan interversi dengan alasan melaksanakan Statuta ICC.
Alinea kesembilan: “Determinated to these ends and for the sake of present and future generations, to establish an independent permanent International Criminal Court in relationship with the United Nations system, with jurisdictions over the mostserious crimes of concern to the international community as a whole”.
Alinea kesembilan mengingatkan bahwa hanya kejahatan-kejahatan serius yang memperoleh perhatian masyarakat internasional yang menjadi yurisdiksi ICC.
Alinea kesepuluh: “Emphasizing that the International Criminal Court established under this Statute shall be complementary to national criminal jurisdiction”.
Alinea kesepuluh merupakan kualitas karakter yang bersifat esensial dan sistem yurisdiksi ICC.
Alinea kesebelas: Menekankan bahwa pembentukan ICC merupakan apresiasi tentang pelaksanaan keadilan internasional.
II.4. LINGKUP YURISDIKSI MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL
Lingkup yurisdiksi Mahkamah ini meliputi 4 (empat) jenis kejahatan yang termasuk kejahatan serius dan menjadi perhatian masyarakat internasional karena merupakan ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional.
Adapun 4(empat) kejahatan itu adalah:
• Genosida
• Kejahatan kemanusiaan
• Kejahatan perang
• Agresi
Selain kejahatan yang memiliki karakter di atas, dalam kenyataan praktik, masyarakat internasional juga masih diresahkan oleh kejahatan serius lainnya seperti, kejahatan yang telah di atur dalam perjanjian internasional (treaty-based crimes), terorisme, peredaran gelap narkotika, dan penggunaan tentara bayaran (mercenarisem).
Merujuk kepada Statuta Mahkamah Pidana Internasional (statuta Roma) Pasal 5, maka yurisdiksi Mahkamah telah disepakati hamya 4 (empat) jenis kejahatan internasional, yaitu: genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang dan agresi. Dimasa yang akan datang masih terbuka kemungkinan memasukan jenis kejahatan internasional lainnya (yang belum menjadi yurisdiksi Mahkamah) menjadi yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. Jenis kejahatan dimaksud antara lain, terorisme, perdagangan orang, kejahatan lingkungan, korupsi.
BAB III
PENUTUP
III. 1. KESIMPULAN
Draft teks statute ICC yang dibahas dalam Konferensi Diplomatik di Roma, adalah yang diusulkan oleh Komisi Hukum Internasional (International Law Commission) dan pembahasan telah melalui 7 (tujuh) Resolusi Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa / Resolusi SMU.
Lingkup yurisdiksi Mahkamah ini meliputi 4 (empat) jenis kejahatan yang termasuk kejahatan serius dan menjadi perhatian masyarakat internasional karena merupakan ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional.
Adapun 4(empat) kejahatan itu adalah:
• Genosida
• Kejahatan kemanusiaan
• Kejahatan perang
• Agresi
Selain kejahatan yang memiliki karakter di atas, dalam kenyataan praktik, masyarakat internasional juga masih diresahkan oleh kejahatan serius lainnya seperti, kejahatan yang telah di atur dalam perjanjian internasional (treaty-based crimes), terorisme, peredaran gelap narkotika, dan penggunaan tentara bayaran (mercenarisem).
DAFTAR PUSTAKA
Atmasasmita, Romli. 2010. Hukum Pidana Internasional, Jakarta: PT Fikahati Aneska.
Atmasasmita, Romli. 2003. Pengantar Hukum Pidana Internasional, Bandung: RefikaAditama.
Parthiana,I Wayan. 2006. Hukum Pidana Internasional, Bandung: CV Yrama Widya.
Sosrokusumo, Sumaryo. 2007. Studi Kasus Hukum Internasional, Jakarta: PT Tata Nusa Jakarta.
---------------------------------------------
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Anti Korupsi 2003 (United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) )
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. LATAR BELAKANG MASALAH
Masalah perbatasan wilayah erat kaitannya dengan pemahaman dan pelaksanaan konsepsi wawasan nusantara. Akhir-akhir ini makin marak berita yang menayangkan berbagai persengketaan wilayah antar negara, mulai dari persengkataan wilayah oleh Palestina dan Israel yang belum juga menemukan titik pemecahan sampai detik ini sampai masalah yang terjadi di wilayah Nusantara sendiri. Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan dengan pulau-pulau besar dan ribuan pulau kecil, dan letaknya yang di antara dua benua dan dua samudra sangat rawan dengan akan adanya masalah perbatasan ini. Masalah perbatasan sudah 2 kali terjadi antara Indonesia dan Malaysia yaitu yang pertama persengketaan mengenai wilayah Sipadan dan Ligitan yang berujung dengan kemenangan oleh pihak Malaysia, dan kasus yang terbaru mengenai persengketaan atas wilayah Ambalat. Sebelum membahas mengenai perbatasan Ambalat dan kaitannya dengan konsep serta implementasi wawasan nusntara, ada baiknya kita kilas balik mengenai masalah Sipadan dan Ligitan sebagai acuan untuk masalah ini.
Mahkamah Internasional telah memutuskan bahwa Malaysia memiliki kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan berdasarkan pertimbangan “effectivitee”, yaitu bahwa Pemerintah Inggris telah melakukan tindakan administratif secara nyata sebagai wujud kedaulatannya berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak 1930-an, dan operasi mercu suar sejak awal 1960-an. Sementara itu kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia hampir 15 tahun terakhir tidak menjadi faktor pertimbangan.
Pada pihak lain, Mahkamah menolak argumentasi Indonesia yang bersandar pada Konvensi 1891 yang dinilai hanya mengatur perbatasan darat dari kedua negara di Kalimantan. Garis paralel 4º 10' Lintang Utara ditafsirkan hanya menjorok ke laut sejauh 3 mil dari titik pantai timur Pulau Sebatik sesuai ketentuan hukum laut internasional pada waktu itu yang menetapkan laut wilayah sejauh 3 mil. Sebaliknya, Mahkamah juga menolaak argumentasi Malaysia mengenai perolehan kepemilikan atas kedua pulau tersebut berdasarkan “chain of title” (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu). Hampir tidak dapat dielakkan adanya rasa kecewa yang mendalam bahwa upaya maksimal yang dilakukan oleh empat pemerintahan Indonesia sejak tahun 1997 ternyata tidak membuahkan hasil seperti yang kita harapkan bersama. Suatu fakta penting yang perlu kita ketahui adalah UU No. 4 Tahun 1960 yang memuat peta Wawasan Nusantara kita dimana ditarik dengan garis pangkal yang menghubungkan titik terluar dari pulau-pulau terluar yang dimiliki Indonesia, kedua pulau Sipadan dan Ligitan berada diluar peta tersebut. Sementara itu perlu juga dicatat bahwa pihak Malaysia juga tidak memuat kedua pulau tersebut dalam peta-peta mereka hingga tahun 1979. Namun kita berkewajiban untuk menghormati Persetujuan Khusus untuk bersama-sama mengajukan sengketa antara Indonesia dan Malaysia tentang kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan kepada Mahkamah Internasional, yang ditandatangani pada tanggal 31 Mei 1997. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia menerima keputusan Mahkamah Internasional tersebut sebagai final dan mengikat. (Pernyataan Pers Hassan Wirajuda Tentang Keputusan Kasus Sipadan dan Ligitan) Belajar dari masalah Sipadan dan Ligitan maka diperlukan suatu pemahaman mengenai konsep kepulauan Indonesia yang lazim disebut dengan Wawasan Nusantara serta implementasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini penting untuk menjaga keutuhan wilayah Republik Indonesia sebagai satu kesatuan yang utuh yang terbentang dari ujung barat, sabang ke ujung timur, merauke.
I.2. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Teori Tentang Subjek Hukum ?
2. Bagaimana Solusi Kasus Ambalat dan Kaitannya dengan Implementasi Wawasan Nusantara ?
I.3. TUJUAN DAN MANFAAT
1. Untuk Mengetahui Bagaimana Teori Tentang Subjek Hukum.
2. Untuk Mengetahui Bagaimana Solusi Kasus Ambalat dan Kaitannya dengan Implementasi Wawasan Nusantara.
BAB II
PEMBAHASAN
II.1. TEORI TENTANG SUBJEK HUKUM PIDANA INTERNASIONAL.
Ada dua teori tentang subjek hukum pidana internasional memang berbeda-beda satu samalainnya. Yang satu menyatakan bahwa yang merupakan subjek hukum pidana internasional hanyalah negara, yang lain menyatakan bahwa yang merupakan subjek hukum pidana internasional hanyalah individu.
Teori yang menyatakan bahwa subjek hukum pidana internasional hanyalah negara karena hak dan kewajiban yang diatur hukum pidana internasional adalah hak dan kewajiban negara. Adanya ketentuan hukum pidana internasional yang mengatur individu tidak berarti mendudukan individu tersebut sebagai subjek hukum pidana internasional. Ketentuan hukum pidana internasional itu mengatur individu sebagai objek hukum pidana internasional. Ketentuan hukum pidana internasional mengenai bajaklaut “jure gentium”misalnya adalah ketentuan hukum pidana internasional yang mengatur hak negara untuk menghukum bajak laut tersebut. Demikian juga ketentuan hukum pidana internasional tentang budak belian adalah ketentuan hukum pidana internasional yang mengatur kewajiban negara untuk melindungi budak belian itu.
Teori yang menyakan bahwa subjek hukum pidana internasional hanyalah negara di kemukakan oleh Kelsen. Menurut teori ini negara merupakan pengertian abstrak. Negara merupakan konsep hukum teknis untuk menunjuk sekumpulan ketentuan hukum yang berlaku pada sekelompok orang yang ada disuatu wilayah tertentu. Negara adalah sama dengan hukum. Hak dan kewajiban negara dengan demikian sebenarnya merupakan hak kewajiban orang-orang yang membentuknya. Hukum pidana internasional mengikat individu secara tidak langsung.
Starke menyatakan bahwa dari segi teori murni, teori Kelsen adalah benar. Namun dari segi praktik, sebagian besar ketentuan hukum pidana internasional mengatur hak kewajiban negara. Sebagai pengecualian beberapa perjanjian internasional juga megatur hak kewajiban individu, misalnya konvensi Jenewa tahun 1949 tentang tawanan perang. Konvensi ini mengikat individu secara langsung.
Pemberian konsesi eksplorasi pertambangan di Blok ND7 dan ND6 dalam wilayah perairan Indonesia. Tepatnya di Laut Sulawesi, perairan sebelah timur Kalimantan oleh perusahaan minyak malaysia, petronas kepada PT Shell, pada tanggal16 Februari 2005. Padahal Pertamina dan Petronas sudah lama saling mengklaim hak atas sumber minyak dan gas di Laut Sulawesi dekat Tawau, Sabah yang dikenal dengan East Ambalat. Kedua perusahaan minyak dan gas itu sama-sama menawarkan hak eksplorasi ke perusahaan asing. Blok Ambalat diperkirakan memiliki kandungan 421,61 juta barel minyak dan gas 3,3 triliun kaki kubik. Pemberian konsesi minyak oleh Malaysia tersebut menimbulkan reaksi dari berbagai pihak di Indonesia. Klaim tersebut dilakukan Malaysia dengan argumentasi peta tahun 1979 yang diterbitkan secara sepihak oleh Malaysia. Dan menurut Marty Natalegawa "Jangankan Indonesia, negara lain saja sudah protes atas penerbitan peta itu, karena mengubah wilayah perairan di Asia Tenggara,". Protes terhadap peta itu sudah dilakukan sejak Tahun 1980 dan tetap dilakukan secara berkala. Indonesia sendiri telah memberikan konsesi minyak kepada beberapa perusahaan minyak dunia di lokasi ini sejak tahun 1960-an tanpa ada keberatan dan protes dari negara lain. "Karena memang dilakukan di wilayah Indonesia.
Malaysia semula mengklaim memiliki wilayah perairan Indonesia lebih dari 70 mil dari batas pantai Pulau Sipadan dan Ligitan. Belakangan Malaysia memperluas wilayahnya sampai sejauh dua mil. Dengan demikian, total luas wilayah Indonesia yang telah "dicaplok" Malaysia adalah 15.235 kilometer persegi. Adapun titik awal penarikan garis batas pengakuan dimulai dari garis pantai Pulau Sebatik, Kaltim. Salah satu bukti kesewenang-wenangan Malaysia yang lain adalah mencantumkan kawasan Karang Unarang ke dalam wilayah perairan Malaysia pada peta terbaru yang dikeluarkan pemerintahan pimpinan Perdana Menteri Datuk Seri Abdullah Ahmad Badawi. Padahal selama ini Karang Unarang berada di kawasan Indonesia. Pengakuan tersebut kontan ditolak Indonesia. Alasannya, Malaysia bukan negara kepulauan dan hanya berhak atas 12 mil dari garis batas pantai Pulau Sipadan dan Ligitan. Patut diketahui, konsep Wawasan Nusantara atau status Indonesia sebagai negara kepulauan telah diakui dalam Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1982. Kontan saja, tindakan sepihak ini menuai tanggapan yang beragam dari seluruh lapisan masyarakat Indonesia, dari mulai demo, sikap untuk melakukan diplomasi, hingga sikap keras untuk melakukan perang terbuka.
Ada beberapa sikap masyarakat di dalam negeri Indonesia yang merespons kasus Ambalat. Pertama, sikap anti-Malaysia dalam pengertian politik. Sikap ini ditunjukkan oleh kalangan nasionalis dan masyarakat awam yang sebenarnya memiliki perasaan sakit hati atas kebijakan politik pemerintah Malaysia dalam kasus TKI. Sikap ini ditunjukkan dalam berbagai demonstrasi dengan isu "Ganyang Malaysia". Kedua, sikap kritis dan rasional. Sikap ini mencoba mengkritisi kasus Ambalat sebagai bentuk sengketa kewilayahan antardua negara tetangga karena perbedaan sudut pandang politik kemaritiman dan juga kepentingan ekonomi-politik. Sikap ini ditunjukkan oleh kalangan cerdik pandai di Indonesia yang memposisikan kasus Ambalat setara dengan kasus-kasus sengketa batas wilayah atau klaim teritorial seperti Kepulauan Spratly, yang diperebutkan lima negara asia. Ketiga, sikap kritis-progresif. Sikap ini ditunjukkan oleh berbagai komponen gerakan mahasiswa yang mencoba membaca kasus Ambalat sebagai bentuk pertaruhan harga diri bangsa dan negara dari deraan kepentingan ekonomi-politik neo-imperalisme.Sikap kritis-progresif kalangan gerakan mahasiswa -- yang terekspresi dalam berbagai aksi, demonstrasi, pernyataan sikap -- tersebut dilandasi oleh kerangka berpikir bahwa kasus konflik Ambalat sebenarnya merupakan konflik kepentingan rezim neo-liberalisme dan neo-imperalisme yang terwakili berbagai serikat perusahaan minyak global yang ingin mengeksploitasi sumber daya minyak di gugus perairan Ambalat (East Ambalat). Yakni antara perusahaan minyak UNOCAL (AS) dan ENI (Italia) yang telah menjalin kontrak dengan pemerintah Indonesia, diwakili Pertamina melawan perusahaan SHELL (Inggris-Belanda) yang telah menjalin kontrak kerja sama dengan pemerintah Malaysia,yang telah menjalin kontrak kerja sama dengan pemerintah Malaysia, yang diwakili "mitra bisnisnya'', yakni Petronas.Dalam catatan pengamat politik Riswanda Imawan, sengketa perairan Ambalat merupakan medan "pertempuran'' kepentingan antarperusahaan kapitalis minyak di atas untuk memperebutkan sumber daya minyak dan gas yang ada di dasar perairan Ambalat. Dalam konteks demikian sebenarnya konflik Ambalat adalah pertentangan kepentingan antarperusahaan minyak global dengan memanfaatkan politik intervensi pemerintah Malaysia yang mungkin memiliki sikap berani berkonflik melawan pemerintah Indonesia, yang saat ini lemah secara politik, ekonomi dan kekuatan persenjataan karena deraan praktik korupsi serta krisis ekonomi sejak akhir kekuasaan Orde Baru.
Perjuangan Indonesia untuk memperoleh pengakuan sebagai negara kepulauan merupakan sebuah perjalanan panjang yang sangat melelahkan. Hal ini dikarenakan usaha-usaha untuk memasukkan rezim kepulauan selama diadakan Konferensi Kodifikasi Den Haag tahun 1930 dan Konferensi Hukum Laut di Jenewa tahun 1958 selalu mengalami kegagalan. Di samping tidak adanya kesepakatan mengenai pengertian negara kepulauan, kegagalan tersebut dipengaruhi oleh berbagai kepentingan antarnegara, khususnya negara-negara maritim besar yang ingin terus menancapkan hegemoninya di wilayah laut. Sementara itu jauh sebelum bergabungnya Indonesia, Filipina, Fiji, dan Mauritus sebagai negara pendukung asas-asas kepulauan pada akhir tahun 1972, Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 13 Desember 1957 mengeluarkan suatu deklarasi tentang wilayah Perairan Indonesia yang dikenal dengan istilah Deklarasi Djuanda. Deklarasi ini mengubah batas laut teritorial Indonesia dari 3 mil berdasarkan Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonnantie (TZMKO) 1939 menjadi 12 mil. Artinya, bagian laut yang sebelumnya termasuk laut lepas (high seas), sekarang menjadi laut teritorial Indonesia, seperti Laut Jawa yang terletak antara Pulau Kalimantan dan Pulau Jawa. Untuk memperkuat Deklarasi Djuanda 1957 dan melaksanakan konsepsi Wawasan Nusantara, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkan Perpu Nomor 4 Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia yang kemudian diganti oleh UndangUndang No 6/1996. Dalam perkembangan selanjutnya, konsepsi negara kepulauan akhirnya mendapat pengakuan pada Konvensi Hukum Laut 1982. Dimasukannya poin-poin negara kepulauan dalam Bab IV UNCLOS 1982 yang berisi 9 pasal, bagi seluruh rakyat Indonesia hal ini memiliki arti penting karena selama 25 tahun secara terus-menerus Pemerintah Indonesia memperjuangkan asas-asas negara kepulauan. Pengakuan resmi asas negara kepulauan ini merupakan hal yang penting dalam rangka mewujudkan satu kesatuan wilayah yang utuh sesuai dengan Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957 dan Wawasan Nusantara sebagaimana termaktub dalam TAP MPR tentang Garis-garis Besar Haluan Negara yang menjadi dasar bagi perwujudan kepulauan Indonesia sebagai satu kesatuan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan. Berdasarkan informasi yang berkembang, mencuatnya konflik Malaysia-Indonesia di Perairan Sulawesi disebabkan salah satunya oleh kesalahan Malaysia dalam melakukan penarikan garis pangkal (base line) pascasidang kasus Sipadan-Ligitan. Sejak beralihnya kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan, pihak Pemerintah Malaysia menempatkan dirinya sebagai negara kepulauan (archipelagis state), yang kemudian menggunakan garis pangkal lurus kepulauan (straight archipelagic baseline) dalam penentuan batas wilayahnya sehingga wilayah perairannya menjorok jauh ke selatan, mengambil wilayah perairan Indonesia.
II.2. SOLUSI KASUS AMBALAT DAN KAITANNYA DENGAN IMPLEMENTASI WAWASAN NUSANTARA.
Lepasnya Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia, dan kini Blok Ambalat dalam klaimnya juga, secara hukum sebenarnya akibat kelalaian Indonesia yang tidak segera menetapkan batas terluar kepulauan Indonesia, terutama sejak rezim hukum negara kepulauan mendapat pengakuan dari masyarakat internasional melalui Konvensi Hukum Laut (KLH) 1982. Bab IV KLH, 1982 (Pasal 46 hingga Pasal 54) mengatur tentang Negara Kapulauan (Archipelagic States) Indonesia telah meratifikasi KLH 1982 melalui UU No. 17 Tahun 1985. Namun, ratifikasi KLH 1982 ternyata dalam perkembangannya tidak segera diikuti dengan langkah-langkah tindak lanjut sebagai penjabarannya ke dalam peraturan perundang-undangan nasional. Kondisi tersebut sebenarnya kurang menguntungkan bagi Indonesia, karena berarti Indonesia belum dapat mengambil manfaat dari adanya perubahan dan atau pembaruan di bidang pengaturan atas laut khususnya yang diatur dalam Bab IV KLH 1982 tentang Negara Kapulauan. Rezim hukum "negara kepulauan" Indonesia yang telah diperjuangkan dengan susah payah sejak deklarasi Juanda 1957, harus dijaga keutuhannya dan dipertahankan eksistensinya, bila perlu dengan mengerahkan kekuatan bersenjata dan seluruh rakyat Indonesia. Aksi Malaysia dengan klaimnya atas Blok Ambalat merupakan tamparan nyata terhadap kedaulatan teritorial "negara kepulauan" Indonesia. Aksi tersebut tidak boleh dibiarkan menjadi kenyataan. Tunjukkan dan tegaskan baik secara "faktual" maupun "yuridis" bahwa Blok Ambalat adalah milik Indonesia. Pengaturan masalah kelautan bagi pemerintah Republik Indonesia merupakan hal yang penting dan mendesak mengingat bentuk geografi Republik Indonesia sebagai suatu negara kepulauan yang terdiri dari 17.508 pulau dengan sifat dan corak tersendiri. Hal tersebut sesuai dengan amanat pembukaan UUD 1945 bahwa, "Pemerintah Republik Indonesia berkewajiban melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia".
Penetapan batas-batas laut teritorial selebar 3 mil dari pantai sebagaimana terdapat dalam Territiriale Zee en Maritieme Kringen-Ordonnantie 1939 (TZMKO 1939)Pasal 1 ayat 1 tidak sesuai lagi dengan kepentingan keselamatan dan keamanan negara Republik Indonesia. Demi kesatuan wilayah negara Republik Indonesia, semua pulau-pulau serta laut yang terletak di antaranya harus dianggap sebagai satu kesatuan yang bulat. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, pada tanggal 13 Desember 1957, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan suatu pernyataan mengenai wilayah perairan Indonesia (deklarasi Juanda). Deklarasi tersebut yang di dalamnya mengandung konsepsi nusantara menimbulkan konsekuensi bagi pemerintah dan bangsa Indonsia untuk memperjuangkan dan mempertahankannya hingga mendapat pengakuan dari masyarakat internasional. Deklarasi Juanda 1957 mendapat tantangan dari negara-negara yang saat itu merasa kepentingannya terganggu seperti Amerika Serikat, Australia, Inggris, Belanda dan New Zealand dengan menyatakan tidak mengakui klain Indonesia atas konsepsi nusantara. Negara yang mendukung pernyataan Indonesia mengenai konsepsi nusantara hanya Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina. Tapi dalam visi dan orientasi pembangunan, khususnya sejak Orba, kita melupakan visi dan orientasi negara kepulauan ini dan lebih berorientasi tanah daratan (land based oriented) yang mengakibatkan kita bersifat inward looking. Tanpa orientasi kepulauan, seperti dikatakan Dimyati Hartono, kita tidak punya national security belt, yakni titik-titik kawasan strategis bagi mengamankan kewilayahan dan kedaulatan negara. Setiap titik itu bukan saja menjadi pos pertahanan tetapi juga dikembangkan ekonomi dan sarana-prasarana pendidikannya sehingga kawasan-kawasan titik ini dengan sendirinya akan terbangun sistem peringatan dini (early warning system). Dengan orientasi kepulauan, Indonesia akan membangun dengan pandangan integratif darat, laut dan udara. Dan orientasi ini akan membuat kita lebih outward looking.
Dalam menghadapi sengketa dan konflik daerah perbatasan ada beberapa model dan pola yang pernah dan dapat dilakukan untuk mengatasinya seperti dijelaskan dalam Pasal 33 Piagam PBB tentang Hukum Laut Internasional bahwa bila tak bisa diselesaikan secara bilateral, ada pelbagai alternatif, misalnya mediator, arbitrator dan mekanisme regional. Dalam kasus Ambalat, Malaysia pasti tak akan menggunakan mekanisme regional di ASEAN, karena dia punya persoalan dengan semua negara tetangganya seperti Singapura, Vietnam, Brunei Darusalam, Filipina dan Thailand mengenai batas laut. Malaysia takut semua anggota ASEAN berpihak ke Indonesia. Bila perundingan bilateral menemui jalan buntu, bisa dipilih solusi joint development, di mana Indonesia termasuk pelopor dalam penggunaan mekanisme itu. Pada 1989, setelah bertahun-tahun menemui jalan buntu, kita sepakat tak membuat garis batas dengan Australia di Celah Timor. Kita menyepakati membuat joint development dengan melakukan kerja sama ekonomi di wilayah yang disengketakan. Model joint development banyak mendapat pujian dari dunia dan konsep ini akhirnya ditiru negara-negata lain. Sebagai negara kepulauan, kita mempunyai persoalan dalam menjaganya karena saat kemerdekaan, laut kita cuma 3 mil dari pantai. Jadi luas laut kita tak lebih dari 100 ribu kilometer persegi. Setelah konsep wawasan nusantara diterima dunia, dan mendapat tambahan ZEE 200 mil, total laut kita menjadi 6 juta kilometer persegi.
Dengan demikian, dengan alasan apa pun, klaim wilayah di Blok Ambalat dan Blok East Ambalat tidak dibenarkan oleh hukum laut internasional. Apalagi Indonesia diperkuat oleh serentetan sejarah yang mencatat bahwa perairan di Ambalat masuk ke dalam wilayah pengaturan Kerajaan Bulungan. Namun, langkah yang juga harus segera ditempuh oleh Pemerintah Indonesia adalah segera perbaiki dan depositkan PP No 38/2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia ke Sekjen PBB untuk dicatatkan sebagai bukti dalam penguasaan wilayah. Semoga usaha diplomasi yang kuat dan terukur dapat mempertahankan kedaulatan keutuhan Negeri Bahari yang kita cintai. Persengketaan atas wilayah Ambalat membutuhkan penyelesaian yang logis, relevan, tanpa merugikan pihak manapun apalagi sampai menimbulkan peperangan. Jika terjadi kontak senjata antar Angkatan Laut maka masing-masing negara bersengketa RI-Malaysia mengalami kerugian. Diusahakan sedapat mungkin persengketaan atas wilayah Ambalat dapat diselesaikan secara damai. Sebuah sentilan mengenai kasus sipadan, ligitan, dan yang terakhir adalah ambalat, harusnya menyadarkan kita bahwa kita telah jauh dari konsep wawasan nasional yang merupakan landasan visional bangsa dan Negara Indonesia. Berkaitan dengan masalah perbatasan ini kaitannya dengan Wawasan Nusantara, penulis menawarkan solusi untuk menilik kembali kepada diri kita masing-masing harusnya setiap warga Negara Indonesia perlu memiliki kesadaran untuk:
1. Mengerti, memahami, dan menghayati hak dan kewajiban warga Negara serta hubungan warga Negara dan Negara, sehingga sadar sebagai bangsa Indonesia yang cinta tanah air berdasarkan pancasila, UUD 1945, dan Wawasan Nuasantara
2. Mengerti, memahami, dan menghahayati bahwa di dalam menyelenggarakan kehidupannya Negara memerlukan konsepsi wawasan nusantara, sehingga sadar sebagai earga Negara memiliki wawasan nusantara guna mencapai cita-cita dan tujuan nasional
Indonesia harus lebih jeli dalam melihat setiap wilayahnya yang berbatasan dengan Negara lain, dan tentu apapun yang berkaitan dengan hal ini dibutuhkan bukti autentik. Indonesia harus belajar dari kasus Sipadan Ligitan agar wilayah Indonesia tetap merupakan satu kesatuan utuh yang berlandaskan kebhineka.
BAB III
PENUTUP
III. 1. KESIMPULAN
1. Mengenai sengketa indonesia-malaysia atas wilayah amabalat dikaitkan dengan konsep wawasan nusantara. Berbagai ancaman, hambatan, tantangan dan gangguan baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri dapat mengancam keutuhan bangsa dan Negara Indonesia. Hal yang berkaitan dengan konsep wawasan nusantara serta implementasinya salah satunya mengenai persengketaan berkaitan dengan daerah perbatasan antar Negara. Seperti hal yang sangat marak baru-baru ini yaitu sengketa antar dua negara serumpun, Indonesia-Malaysia mengenai daerah perbatasan di wilayah Ambalat. Malaysia semula mengklaim memiliki wilayah perairan Indonesia lebih dari 70 mil dari batas pantai Pulau Sipadan dan Ligitan. Belakangan Malaysia memperluas wilayahnya sampai sejauh dua mil. Dengan demikian, total luas wilayah Indonesia yang telah "dicaplok" Malaysia adalah 15.235 kilometer persegi.
2. Solusi mengenai kasus Indonesia-Malaysia atas wilayah perbatasan ambalat dikaitkan dengan konsep wawasan nusatara. Dalam menghadapi sengketa dan konflik daerah perbatasan ada beberapa model dan pola yang pernah dan dapat dilakukan untuk mengatasinya seperti dijelaskan dalam Pasal 33 Piagam PBB tentang Hukum Laut Internasional bahwa bila tak bisa diselesaikan secara bilateral, ada pelbagai alternatif, misalnya mediator, arbitrator dan mekanisme regional. Dalam kasus Ambalat, Malaysia pasti tak akan menggunakan mekanisme regional di ASEAN, karena dia punya persoalan dengan semua negara tetangganya seperti Singapura, Vietnam, Brunei Darusalam, Filipina dan Thailand mengenai batas laut. Malaysia takut semua anggota ASEAN berpihak ke Indonesia. Bila perundingan bilateral menemui jalan buntu, bisa dipilih solusi joint development, di mana Indonesia termasuk pelopor dalam penggunaan mekanisme itu. Pada 1989, setelah bertahun-tahun menemui jalan buntu, kita sepakat tak membuat garis batas dengan Australia di Celah Timor
DAFTAR PUSTAKA
Kusumastanto, Tridoyo. Ambalat dan Diplomasi Negara Kepulauan Republik Indonesia. CV. Chitra Delima, Jakarta.
http://en.wikipedia.org/wiki/world_wawasan nusantara (di akses tanggal 26 desember 2010)
http://en.wikipedia.org/wiki/sengketa Indonesia-Malaysia (di akses tanggal 26 desember 2010)
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. LATAR BELAKANG MASALAH
Selain hukum pidana yang membahas tentang yuridiksi Negara lain (unsur asing) juga ada bagian hukum pidan yang membahas tentang implementasi sanksi norma-norma perjanjian internasional yang dikatakan Remmelink sebagai hukum supranasional atau bagian hukum pidana internasional substantif.
Hukum pidana internasional dalam konteks hukum tentang Hak Asasi Manusia memiliki peranan strategis dan signifikan untuk melakukan analisis hukum terhadap suatu pelanggaran hak asasi manusia tertentu dan kejahatan transnasional dan internasional tertentu yang bersifat universal atau melibatkan kepentingan nasional maupun kepentingan internasional, Hukum pidana internasional dalam konteks praktis, tidak akan sepenuhnya menggunakan pisau analisa hukum, melainkan juga menggabungkan dengan pisau analisa diplomatik (politik) karena hukum pidana internasional dalam teoritik dan praktik berfungsi sebagai ilmu terapan yang dapat membedah kompleksitas masalah yang menyentuh kepentingan dua Negara atau lebih baik kepentingan hukum, politik, ekonomi, sosial dan budaya.
I.2. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana aspek hukum pidana nasional terhadap hukum internasional?
2. Bagaimana hukum pidana internasional dan hukum hak asasi manusia?
3. Bagaimana fungsi hukum pidana internasional dihubungkan dengan kejahatan transnasional khususnya terhadap tindak pidana korupsi?
I.3. TUJUAN DAN MANFAAT
1. Untuk mengetahui bagaimana aspek hukum pidana nasional terhadap hukum internasional?
2. Untuk mengetahui bagaimana hukum pidana internasional dan hukum hak asasi manusia?
3. Untuk mengetahui bagaimana fungsi hukum pidana internasional dihubungkan dengan kejahatan transnasional khususnya terhadap tindak pidana korupsi?
BAB II
PEMBAHASAN
II.1. ASPEK HUKUM PIDANA NASIONAL TERHADAP HUKUM INTERNASIONAL
Aspek hukum pidana nasional terhadap hukum internasional merujuk kepada konvensi-konvensi internasional tentang kejahatan, aspek hukum internasional terhadap hukum pidana nasional merujuk kepada prosedur penerapan konvensi internasional ke dalam hukum nasional atau penegakan hukum pidana internasional.
Keterkaitan dua aspek tersebut di atas dalam pembahasan objek yang sama menyebabkan Bassiouni mengatakan bahwa, hukum pidana internasional sebagai, “ a complex legal discipline” yang terdiri dari beberapa komponen yang terikat oleh hubungan fungsional masing-masing disiplin tersebut di dalam mencapai satu nilai bersama. Selanjutnya disebutkan oleh Bassiouni, disiplin hukum tersebut adalah, hukum pidana internasional.
Aspek pidana dari hukum internasional bersumber pada kebiasaan internasional dan prinsip-prinsip umum hukum internasional sebagaimana dimuat dalam Pasal 38 International Court of Justice (ICJ) termasuk kejahatan internasional, unsur-unsur pertanggungjawaban pidana internasional, aspek prosedur penegakan hukum langsung (direct enforcement system), dan aspek prosedur penegakan hukum tidak langsung (indirect enforcement system).
Aspek internasional dari hukum pidana nasional meliputi:
a) Norma-norma yurisdiksi ekstrateritorial,
b) Konflik yurisdiksi kriminal baik antar negara maupun antara negara dan badan-badan internasional di bawah naungan PBB dan,
c) Penegakan hukum tidak langsung.
Bassiouni mennyimpulkan karena begitu kompleknya karakter hukum pidana internasional maka disiplin hukum ini pada intinya merupakan “cross fertilization” aspek pidana dari hukum internasional dan aspek internasional dari hukum pidana nasional.
Remmelink mengemukakan pendapat yang berbeda dengan Bassiouni dengan mengatakan sebagai berikut:
“Karena dalam hal seperti ini (pemberlakuan hukum pidana atau yurisdiksi berurusan dengan pemberlakuan hukum pada persoalan yang mengandung unsur asing, bagian hukum ini kita dapat kualifikasikan sebagai hukum pidana internasional, sekalipun tidak berurusan dengan penjatuhan pidana dan secara substansial sebenarnya bagian dari hukum nasional, Hanya objek kajiannya yang bersifat internasional”.
Selain hukum pidana yang membahas tentang yuridiksi Negara lain (unsur asing) juga ada bagian hukum pidan yang membahas tentang implementasi sanksi norma-norma perjanjian internasional yang dikatakan Remmelink sebagai hukum supranasional atau bagian hukum pidana internasional substantif.
Bassiouni berpendapat bahwa, aspek substantif dari hukum pidana internasional adalah mengkaji konvensi-konvensi internasional tentang kejahatan transnasional dan internasional.
II.2. HUKUM PIDANA INTERNASIONAL DAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA
Hukum pidana internasional sebagai cabang ilmu baru dalam sejarah perkembangannya tidak terlepas dan bahkan berkaitan erat dengan sejarah perkembangan Hak Asasi Manusia (HAM). Keterkaitan erat tersebut dapat digambarkan sebagai dua saudara kembar, memiliki ketergantungan yang kuat (interdependency), sinergis, dan berkesinambungan.
Penegakan Hak Asasi Manusia dalam internasional tidak seefektif yang diperkirakan banyak pihak sekalipun sudah ada Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Dewan Keamanan serta Komisi Hak Asasi Manusia di dalamnya. Tidak efektifnya perangkat organisasi di bawah naungan PBB menunjukkan kelemahan mendasar dalam mewujdukan kehendak masyarakat internasional untuk memperjuangkan perlindungan HAM. Bahkan sebaliknya, telah terjadi, di mana negara-negara miskin dan berkembang menjadi ajang objek eksperimen untuk suatu proses peradilan HAM yang dituntut oleh negara maju.
Hukum pidana internasional dalam konteks hukum tentang Hak Asasi Manusia memiliki peranan strategis dan signifikan untuk melakukan analisis hukum terhadap suatu pelanggaran hak asasi manusia tertentu dan kejahatan transnasional dan internasional tertentu yang bersifat universal atau melibatkan kepentingan nasional maupun kepentingan internasional, Hukum pidana internasional dalam konteks praktis, tidak akan sepenuhnya menggunakan pisau analisa hukum, melainkan juga menggabungkan dengan pisau analisa diplomatik (politik) karena hukum pidana internasional dalam teoritik dan praktik berfungsi sebagai ilmu terapan yang dapat membedah kompleksitas masalah yang menyentuh kepentingan dua Negara atau lebih baik kepentingan hukum, politik, ekonomi, sosial dan budaya.
II.3. FUNGSI HUKUM PIDANA INTERNASIONAL DIHUBUNGKAN DENGAN KEJAHATAN TRANSNASIONAL KHUSUSNYA TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI
Sebagaimana apa yang telah diterangkan di atas maka eksistensi Hukum Pidana Internasional hakikatnya teramat penting khususnya apabila dihubungkan dengan kejahatan transnasional.
Apabila dijabarkan lebih lanjut maka pada pokoknya sebenarnya ada 4 (empat) fungsi dari Hukum Pidana Internasional.
Adapun keempat fungsi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Agar hukum nasional di masing-masing Negara dipandang dari sudut hukum pidana internasional sama derajatnya. Dari aspek ini, maka menempatkan negara-negara di dunia ini tanpa memandang besar atau kecil, kuat atau lemah, maju atau tidaknya, memiliki kedudukan yang sama antara satu dengan lainnya. Oleh karena itu, maka hukum masing-masing diantara negara-negara mempunyai kedudukan yang sama.
2. Agar tidak ada intervensi hukum antara negara satu dengan yang lain. Tegasnya, agar negara besar tidak melakukan intervensi hukum terhadap negara yang lebih kecil. Apabila dijabarkan lebih jauh maka fungsi kedua dari Hukum Pidana Internasional ini merupakan penjabaran dari asas non intervensi. Menurut asas ini, maka suatu negara tidak boleh campur tangan atas masalah dalam negeri Negara lain, kecuali negara itu sendiri menyetujui secara tegas. Jika suatu negara, misalnya dengan menggunakan kekuatan bersenjata berusaha memadamkan ataupun mendukung pemberontakan bersenjata yang terjadi di dalam suatu negara lain tanpa persetujuan negara yang bersangkutan, tindakan ini jelas melanggar asas non intervensi.
3. Hukum Pidana Internasional juga mempunyai fungsi sebagai “jembatan” atau “jalan keluar” bagi negara-negara yang berkonflik untuk menjadikan Mahkamah Internasional sebagai jalan keluar. Pada dasarnya, Mahkamah Internasional merupakan sebuah lembaga peradilan yang bersifat independen dan tidak memihak yang memutus serta mengadili suatu perkara yang dipersengketakan oleh negara-negara yang berkonflik. Oleh karena itu maka Hukum Pidana Internasional inilah yang merupakan “jembatan” atau “jalan keluar” bagi negara-negara yang berkonflik.
4. Hukum Pidana Internasional juga berfungsi untuk dijadikan landasan agar penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional relative menjadi lebih baik. Dari perspektif Hukum Pidana Internasional maka asas ini lazim disebut sebagai Asas “penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia”. Asas ini membebani kewajiban kepada negara-negara bahkan kepada siapapun untuk menghormati dan melindungi hak asasi manusia dalam situasi dan kondisi apapun juga. Berdasarkan asas ini, tindakan apapun yang dilakukan oleh Keempat fungsi Hukum Pidana Internasional tersebut merupakan fungsi yang bersifat elementer dan krusial.
Apabila dijabarkan, maka keempat fungsi tersebut berhubungan erat dan dapat diaplikasikan terhadap kejahatan transnasional khususnya terhadap tindak pidan korupsi.
Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian dari hukum pidana khusus. Apabila dijabarkan, tindak pidana korupsi mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana umum, seperti penyimpangan hukum acara dan materi yang diatur dimaksud menekan seminimal mungkin terjadinya kebocoran serta penyimpangan terhadap keuangan dan perekonomian negara.
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Anti Korupsi 2003 (United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) ),2003 mendiskripsikan masalah korupsi sudah merupakan ancaman serius terhadap stabilitas, keamanan masyarakat nasional dan internasional, telah melemahkan institusi, nilai-nilai demokrasi dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan maupun penegakan hukum.
Selain itu, dikaji dari perspektif internasional pada dasarnya korupsi merupakan salah satu kejahatan dalam klasifikasi White Collar Crime dan mempunyai akibat kompleksitas serta menjadi atensi masyarakat internasional. Konggres Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-8 mengenai “Prevention of Crime and Treatment of Offenders” yang mengesahkan resolusi “Corruption in Goverment” di Havana tahun 1990 merumuskan tentang akibat korupsi, berupa:
Korupsi dikalangan pejabat publik (corrupt activities of public official):
a) Dapat menghancurkan efektivitas potensial dari semua jenis program pemerintah(“can destroy the potential effectiveeness of all types of govermental programmes”)
b) Dapat menghambat pembangunan (“hinder development”)
c) Menimbulkan korban individual kelompok masyarakat (“victimize individuals and groups”).
Asumsi di atas menyebutkan tindak pidana korupsi bersifat sistemik, terorganisasi, transnasional dan multidimensional dalam arti berkorelasi dengan aspek sistem, yurisdis, sosiologis, budaya, ekonomi antar Negara dan lain sebagainya.
Dikaji dari perspektif yurisdis, maka tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crimes) sebagaimana dikemukakan Romli Atmasasmita, bahwa:“Dengan memperhatikan perkembangan tindak pidana korupsi, baik dari sisi kuantitas maupun dari sisi kualitas, dan setelah mengkajinya secara mendalam, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa korupsi di Indonesia bukan merupakan kejahatan biasa (ordinary crimes) melainkan sudah merupakan kejahatan yang sangat luar biasa (extra-ordinary crimes)”.
Selanjutnya jika dikaji dari sisi akibat atau dampak negatif yang sangat merusak tatanan kehidupan bangsa Indonesia sejak pemerintahan Orde Baru sampai saat ini, jelas bahwa perbuatan korupsi merupakan perampasan hak ekonomi dan hak sosial rakyat Indonesia. Selain itu, dari dimensi lain maka Penjelasan Umum UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menegaskan pula:
“Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitupun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa. Penegakan hokum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan.”
Tindak pidana korupsi merupakan extra ordinary crimes sehingga diperlukan penanggulangan yang bersifat luar biasa (extra ordinary enforcement) dan tindakan-tindakan yang luar biasa pula (extra ordinary measures).
Dari dimensi ini maka fungsi Hukum Pidana Internasional adalah sangat penting. Sebagai kejahatan yang bersifat transnasional maka kebijakan legislasi di Indonesia haruslah mengacu kepada tindak pidana korupsi yang terdapat di negara lain sepanjang hal tersebut relatif sesuai dengan kondisi sosial, budaya dan kultur orang Indonesia.
Oleh karena korupsi kejahatan yang bersifat transnasional maka Hukum Pidana Internasional merupakan jembatan yang mempunyai fungsi untuk adanya interaksi antara satu Negara dengan negara lainnya. Dalam praktik hal ini telah dilaksanakan misalnya seperti apa yang telah dilakukan oleh Indonesia dengan menandatangani perjanjian ekstradisi dengan negara Singapura yang salah satu kesepakatannya adalah dalam rangka memulangkan koruptor yang bersembunyi di negara tersebut. Selain itu, dengan dilakukannya perjanjian ekstradiksi tersebut membawa dampak terhadap fungsi Hukum Pidana Internasional yang kedua yaitu tidak adanya intervensi hukum antara satu negara dengan Negara lainnya. Aspek ini disebabkan, oleh karena antara negara satu dan Negara lainnya telah melakukan perjanjian yang dilakukan secara sukarela dan saling menguntungkan kedua belah pihak. Negara pihak atau negara korban korupsi dapat meminta secara baik-baik dengan melalui saluran hukum ekstradiksi kepada negara ketempatan tempat koruptor maupun asetnyadisembunyikan.
Oleh karena itu, melalui saluran ekstradiksi ini relatif dapat lebih memulangkan koruptor maupun asetnya kembali kepada Negara korban. Kebalikan dari apa yang telah diuraikan di atas maka apabila Negara korban maupun negara ketempatan tidak ada penjanjian ekstradiksi maka para koruptor maupun aset relatif tidak dapat dilakukan negosiasi untukmemulangkan koruptor beserta asetnya. Atau dapat juga apabila Negara korban maupun negara ketempatan terjadi konflik terhadap para koruptor maupun asetnya. Maka terhadap aspek ini, fungsi Hukum Pidana Internasional sangat berperan di dalamnya. Para negara korban melalui jalur hukum internasional dapat meminta kepada Mahkamah Internasional untuk mengadili negara yang bersangkutan agar dapat memberi jalan keluar baik kepada negara korban maupun kepada negara ketempatan agar memutus secara adil perkara yang bersangkutan. Oleh karena yang memutus adalah Mahkamah Internsional yang bersifat independen maka diharapkan konflik yang terjadi diharapkan selesai serta diputus berdasarkan asas keadilan yang relatif dapat diterima baik oleh negara korban maupun negara ketempatan.
Berhubungan dengan apa yang telah diuraikan di atas yaitu fungsi Hukum Pidana Internasional sebagai jembatan agar hukum nasional di masing-masing negara dipandang dari sudut hukum pidana internasional sama derajatnya, kemudian fungsi kedua sebagai mencegah tidak ada intervensi hukum antara negara satu dengan yang lain (asas non-intervensi), dan fungsi ketiga yaitu Hukum Pidana Internasional juga mempunyai fungsi sebagai “jembatan” atau “jalan keluar” bagi negara-negara yang berkonflik untuk menjadikan Mahkamah Internasional sebagai jalan keluar maka semua itu bermuara kepada fungsi keempat yaitu Hukum Pidana Internasional juga berfungsi untuk dijadikan landasan agar penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional relatif menjadi lebih baik. Fungsi keempat ini merupakan “kunci” bagi penegakan hukum khususnya terhadap Tindak Pidana Korupsi. Pada asasnya, Hak Asasi Manusia menurut Bab I Pasal I angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia disebutkan merupakan seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Oleh karena itu maka pada dasarnya menurut Paul Sieghart secara global HAM terdiri dari tiga generasi, yaitu generasi pertama (Sipil dan Politik), generasi kedua (Ekonomi, Sosial dan Budaya), generasi ketiga (Hak Kelompok) yang kesemuanya itu sesungguhnya merupakan hak individu.
Oleh karena tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang bersifat extra ordinary crimes sehingga diperlukan penanggulangan yang bersifat luar biasa (extra ordinary enforcement) dan tindakan-tindakan yang luar biasa pula (extra ordinarymeasures) maka Hukum Pidana Internasional merupakan katalisator dan pengaman yang dapat berfungsi agar penindakan dan penegakan hukum tindak pidana korupsi sesuai dengan koridor hukum dan dengan demikian diharapkan penegakan Hak Asasi Manusia Internasional relatif menjadi lebih baik sebagaimana fungsi keempat dari Hukum Pidana Internasional.
BAB III
PENUTUP
III. 1. KESIMPULAN
1. Selain hukum pidana yang membahas tentang yuridiksi Negara lain (unsur asing) juga ada bagian hukum pidan yang membahas tentang implementasi sanksi norma-norma perjanjian internasional yang dikatakan Remmelink sebagai hukum supranasional atau bagian hukum pidana internasional substantif. Bassiouni berpendapat bahwa, aspek substantif dari hukum pidana internasional adalah mengkaji konvensi-konvensi internasional tentang kejahatan transnasional dan internasional.
2. Hukum pidana internasional dalam konteks praktis, tidak akan sepenuhnya menggunakan pisau analisa hukum, melainkan juga menggabungkan dengan pisau analisa diplomatik (politik) karena hukum pidana internasional dalam teoritik dan praktik berfungsi sebagai ilmu terapan yang dapat membedah kompleksitas masalah yang menyentuh kepentingan dua Negara atau lebih baik kepentingan hukum, politik, ekonomi, sosial dan budaya.
3. Dari dimensi ini maka fungsi Hukum Pidana Internasional adalah sangat penting. Sebagai kejahatan yang bersifat transnasional maka kebijakan legislasi di Indonesia haruslah mengacu kepada tindak pidana korupsi yang terdapat di negara lain sepanjang hal tersebut relatif sesuai dengan kondisi sosial, budaya dan kultur orang Indonesia.
III. 2. SARAN
Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang bersifat extra ordinary crimes sehingga diperlukan penanggulangan yang bersifat luar biasa (extra ordinary enforcement) dan tindakan-tindakan yang luar biasa pula (extra ordinarymeasures) maka Hukum Pidana Internasional merupakan katalisator dan pengaman yang dapat berfungsi agar penindakan dan penegakan hukum tindak pidana korupsi sesuai dengan koridor hukum dan dengan demikian diharapkan penegakan Hak Asasi Manusia Internasional relatif menjadi lebih baik sebagaimana fungsi keempat dari Hukum Pidana Internasional.
DAFTAR PUSTAKA
Atmasasmita, Romli. 2010. Hukum Pidana Internasional, Jakarta: PT Fikahati Aneska.
Atmasasmita, Romli. 2003. Pengantar Hukum Pidana Internasional, Bandung: RefikaAditama.
Parthiana,I Wayan. 2006. Hukum Pidana Internasional, Bandung: CV Yrama Widya.
Sosrokusumo, Sumaryo. 2007. Studi Kasus Hukum Internasional, Jakarta: PT Tata Nusa Jakarta.
---------------------------------------------
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Anti Korupsi 2003 (United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) )
UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Bab I Pasal I angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
TANGGUNG JAWAB KONSULTAN DALAM PEMBUATAN ANALISIS
MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN DAN AKIBAT HUKUMNYA
Abstrak
Penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup dalam rangka pembengunan berkelanjutan yang berwawasan hidup harus didasarkan pada norma hukum dengan memperhatikan tingkat kesadaran masyarakat dan perkembangan lingkungan global serta perangkat hukum internasional yang berkaitan dengan lingkungan hidup.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, maka terhadap usaha yang menimbulkan dampak penting, wajib dilengkapi dengan analisis mengenai dampak lingkungan. Oleh sebab itu bagi proyek yang mempunyai dampak penting banyak sekali yang meminta pembuatan analisis mengenai dampak lingkungan sehingga mendorong munculnya pihak-pihak yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, akibatnya studi analisis mengenai dampak lingkungan hanya formalitas saja, yang tidak dilaksanakan berdasarkan prosedur yang telah ditentukan oleh Undang-undang.
PENDAHULUAN
Pembangunan merupakan upaya sadar dan terencana dalam rangka mengelola dan memanfaatkan sumber daya, guna mencapai tujuan pembangunan yakni meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia. Pembangunan tersebut dari masa ke masa terus berlanjut dan berkesinambungan serta selalu ditingkatkan pelaksanaannya, guna memenuhi dan meningkatkan kebutuhan penduduk tersebut berjalan seiring dengan semakin meningkatnya jumlah pertumbuhan penduduk.
Pelaksanaan pembangunan sebagai kegiatan yang berkesinambungan dan selalu meningkat seiring dengan baik dan meningkaatnya jumlah dan kebutuhan penduduk, menarik serta mengundang resiko pencemaran dan perusakan yang disebabkan oleh tekanan kebutuhan pembangunan terhadap sumber daya alam, tekanan yang semakin besar tersebut ada dan dapat mengganggu, merusak struktur dan fungsi dasar ekosistem yang menjadi penunjang kehidupan. Menurut Husin (1992:1) menyatakan sebagai berikut
Untuk mencegah kemerosotan lingkungan dan sumber daya alam dengan maksud agar lingkungan dan sumber daya alam tersebut tetap terpelihara keberadaan dan kemampuan dalam mendukung berlanjutnya pembangunan, maka setiap aktivitas pembangunan haruslah dilandasi oleh dasar-dasar pertimbangan pelestarian dan sumber daya alam tersebut.
Keinginan untuk mempengaruhi pengaruh negatif dan resiko pada tingkat yang mungkin (Risk Assesment) dan mengelola resikonya (Risk Management) melalui mekanisme dan system hukum lingkungan dalam apa yang disebut sebagai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Silalahi (1995 : 1) seperti dikutip berikut
Analisis Dampak lingkungan yang sering disebut AMDAL, lahir dengan diundangkannya lingkungan hidup di Amerika Serikat yaitu National Environmental Policy Act (NEPA) pada tahun 1969 dan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1970.
Kurang dipahaminya proses AMDAL dalam system perizinan menyebabkan studi AMDAL sering kali dianggap memperlambat diperolehnya izin kegiatan.
Oleh karena itu, penguasaan hukum yang mengatur dan menerbitkan masalah lingkungan dalam pembangunan wajib kita menguasai pula ilmu-ilmu lain yang relevan, misalnya ekonomi, sosial budaya, planologi, hidrologi, kimia dan biologi. Pendekatan interdisipliner ilmu demikian dapat dan berkembang. Meningkatkan kegiatan pembangunan, akan membawa perkembangan baru atas pengertian bahaya, kerugian dan lingkungan tercemar terhadap aspek kesehatan dan lingkunga salah satu “Instrumen Hukum” yang dikembangkan dan mengatasi ini adalah AMDAL.
AMDAL sebagai studi ilmiah dianggap mempunyai kemampuan untuk melakuka prediksi dan identifikasi itu terhadap kemungkinan timbulnya dampak lingkungan. Dalam proses AMDAL ini analisis mengenai masalah dilakukan yang berdasarkan pendekatan antar berbagai disiplin ilmu dengan menggunakan prinsip-prinsip ilmiah pula untuk menerangkan hubungaan kausal masalah lingkungan dan cara pemecahaannya. Dengan demikian, dalam perkembangan baru ini, hukum disamping untuk menjaga ketertiban, sarana pembaharuan masyarakat juga dianggap mampu mengidentifikasi dan menginterpretasikan masalah-masalah lingkungan yang mungkin timbul dan tata cara memecahkannya. Suatu perkembangan hukum yang dipengaruhinya oleh metode dan prinsip ilmu. Untuk melakukan analisis secara demikian, Undang-undang Lingkungan Hidup Tahun 1982 dan peraturan Pemerintah tentang AMDAL akan dijadikan acuan utama dalam keseluruhan proses pengujiaan masalah dan sarana pemecahaannya.
Oleh karena itu pembangunan yang memungkinkan timbulnya dampak penting terhadap lingkungan harus dibuat analisis mengenai dampak lingkungan, misalnya pembangunan pabrik pupuk, pembangunan pabrik tapioka, dan lain-lain. Kewajiban membuat analisis mengenai dampak lingkungan dapat kita lihat pada Pasal 15 Undang-undang No. 23 Tahun 1997 yang isinya “Setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan”.
Untuk itu Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup telah mengeluarkan beberapa keputusan sebagai realisasi dari pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 yang isinya merupakan pedoman bagi para konsultan yang akan membuat analisis mengenai dampak lingkungan. Oleh karena itu seorang konsultan tidak boleh menyimpang dari ketentuan diatas.
Dalam membuat data, seorang pemrakarsa proyek harus mengetahui apakah proyek yang akan didirikannya itu wajib dilengkapi dengan analisis mengenai dampak lingkungan, jadi disini keadaan dari lokasi proyek harus jelas. Secara yuridis, analisis mengenai dampak lingkungan dibutuhkan hanya terhadap kegiatan pembangunan yang berdampak penting, mengenai ada atau tidaknya dampak penting itu tidak mudah diukur dengan barometer tertentu. Sebab formulasi hukum tidak secara jelas memberikan batas baik secara kuantitatif maupun kualitatif tentang apa yang merupakan dampak yang penting. Secara yuridis hanya menyatakan dampak penting itu berupa perubahan lingkungan yaitu yang sangat mendasar bersumber dari suatu kegiatan. Contoh dampak itu paling tidak menyangkut hidup orang banyak antara lain menyangkut alam, flora dan fauna dan sebagainya yang dapat terganggu akibat langsung terhadap polusi udara, air dan darat.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, maka terhadap usaha yang menimbulkan dampak penting, wajib dilengkapi dengan analisis mengenai dampak lingkungan. Oleh sebab itu bagi proyek yang mempunyai dampak penting banyak sekali yang meminta pembuatan analisis mengenai dampak lingkungan sehingga mendorong munculnya pihak pihak yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, akibatnya studi analisi mengenai dampak lingkungan hanya formalitas saja, yang tidak dilaksanakan berdasarkan prosedur yang telah ditentukan oleh Undang-undang.
Berdasarkan uraian di atas, maka akibat mengenai analisis mengenai dampak lingkungan dianggap formalitas saja, banyak sekali terdapat data fiktif yaitu data yang diperolehdari hasil data konsultan saja atau bisa juga dari hasil pemikiran yang dibuat oleh konssultan itu dapat saja karena kesengajaan atau karena kelalaiannya sehingga data yang sebenarnya harus dicantumkan ke dalam analisi mengenai dampak lingkungan tidak dibuatnya secar tepat, akibatnya setelah terjadi dampak penting terhadap lingkungan maka diketahui segala kesalahanya.
PEMBAHASAN
Pada dasarnya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan adalah keseluruhan dokumen studi kelayakan lingkungan yang terdiri dari kerangka acuan (KA), Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL), Rencana Pengelolaan Lingkungan (RPL). Dari pengertian tersebut Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) hanya merupakan salah satu dokumen dari Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).”Untuk menghilangkan kemungkinan pencemaran, keseluruhan yang terdapat dalam AMDAL harus dilaksanakan secara cermat sesuai dengan situasi dan kondisi yang sebenarnya” (Soemartono, 1996).
Jadi istilah AMDAL dibedakan dengan ANDAL, yaitu AMDAL merupakan keseluruhan proses yang meliputi kelima buah dokumen, yaitu Penyajian Informasi Lingkungan (PIL), Kerangka Acuan (KA), Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL), Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL), Rencana Pengelolaan Lingkungan (RPL). Sedangkan ANDAL yaitu Analisis Dampak Lingkungan merupakan salah satu dokumen yang dibuat dalam proses tersebut.
1. PIHAK-PIHAK YANG BERKEPENTINGAN YANG MENENTUKAN PELAKSANAAN AMDAL
Pihak-pihak yang berkepentingan atau terkait dalam analisis mengenai dampak lingkungan sangat penting sekali. Sebab para pihak inilah yang akan menentukan pelaksanaan dari Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Oleh karena itu peranan para pihak sangat berpengaruh berhasil tidaknya pelaksanaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Ada tiga Aspek yang berkepentingan didalam Analisis Mengenai Dampak Lingkungan yaitu:
1. Pemrakarsa
2. Aparatur Pemerintah
3. Masyarakat
1. Pemrakarsa
Menurut Peraturan pemerintah No. 27 Tahun 1999 Pasal 1 angka 7, menentukan pemrakarsa adalah orang atau badan hukum yang bertanggung jawab atas suatu rencana usaha atau kegiatan yang akan dilaksanakan. Adapun yang dimaksudkan dengan orang adalah adalah orang seorang , kelompok orang, atau badan-badan hukum, sedangkan yang dimaksud dengan badan yaitu meliputi badan-badan pemerintahan dan badan usaha milik negara. Rumusan pengertian yang demikian memberikan penegasan bahwa Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 berlaku terhadap rencana kegiatan yang diperkirakan mempunyai dampak penting terhadaap negara maupun swasta.
2. Aparatur Pemerintah
Aparatur pemerintah yang berkepentingan dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dapat dibedakan antara instansi yang bertanggung jawab dan instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan. Yang dimaksudkan dengan instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang berwenang memberikan keputusan kelayakan lingkungan hidup dengan pengertian bahwa kewenangan ditingkat pusat berada pada kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan dan ditingkat daerah pada Gubernur (Pasal 1 angka 9 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999).
Sedangkan instansi yang membidangi usaha dana atau kegiatan adalah instansi yang membina secara teknis usaha dan atau kegiatan dimaksud.
Untuk menilai dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dibentuk komisi, yaitu komisi pusat dan komisi daerah. Komisi pusat dibentuk oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah non departemen yang membidangi usaha atau kegiatan yang bersangkutan, sedangkan komisi daerah dibentuk oleh gubernur Kepala Daerah Tingkat I (Pasal 8 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999). Tugas menilai yang dilakukan oleh komisi pusat meliputi dan menetapkan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dari rencana kegiatan yang dibiayai oleh :
1. Anggaran Pendapat dan Belanja Negara sejauh mengenai kegiatan yang bersangkutan.
2. Swasta, yang izin usaha dikeluarkan oleh instansi yang berwenang di tingkat pusat.
Sedangkan tugas menilai yang dilakukan oleh komisi daerah meliputi menilai dan menetapkan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan rencana kegiatan yang dibiayai oleh :
1. Angaran Pendapat dan Belanja Negara
2. Angaran Pendapat dan Belanja Negara, apabila penyelenggaraan rencana kegiatan tersebut diserahkan kepada daerah.
3. Swasta, yang izin usahanya dikeluarkan oleh instansi yang berwenang di tingkat daerah.
Dalam penyelenggaraan tugasnya, baik komisi pusat maupun daerah masing-masing dibantu oleh tim teknis yang terdiri dari lulisan kursur atau pakar pembantuan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.
3. Masyarakat
Dilaksanakannya suatu rencana kegiatan dapat menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan biofisik dan lingkungan sosial. Adanya dampak sosial yang ditimbulkan oleh pelaksanaan suatu kegiatan mempunyai arti semakin pentingnya peran serta masyarakat, dalam kaitannya dengan pelaksanaan keggiatan tersebut. Karena itu warga masyarakat yang mempunyai hak dan kewajiban perlu diikutsertakan dalam proses penelitian AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). Diikutsertakannya warga masyarakat dalam menyampaikan pendapat dan saran, maka dapat dicapai suatu keputusan yang optimal. Diikutsertakannya warga masyarakat akan memperbesar kesediaan masyarakat menerima keputusan dan pada gilirannya akan memperkecil kemungkinan timbulnya sengketa lingkungan. Diikutsertakannya warga masyarakat hendaknya dilakukan sejak awal perencanaan suatu kegiatan proyek tertentu.
2. TANGGUNG JAWAB KONSULTAN TERHADAP AMDAL
Seperti kita ketahui bahwa adanya pembuatan analisis dampak lingkungan karena adanya perjanjian antara konsultan dengan pemrakarsa atau pemilik proyek. Disini pihak konsultan bertugas untuk membuat atau menyusun analisis dampak lingkungan, sedangkan pemilik proyek sebagai pihak yang mempunyai rencana kegiatan pembuatan analisis dampak lingkungan sehubungan dengan proyek tersebut mempunyai dampak penting terhadap lingkungan.
Dalam membuat analisis dampak lingkungan seorang konsultan harus bertanggung jawab atas semua data yang dibuatnya, baik karena kesengajaan atau kelalaiannya.
(Pasal 1830 BW) “Apabhila seorang konsultan telah melakukan kesalahan di atas maka dikatakan konsultan telah melakukan prestasi yang bukan seharusnya ia lakukan”.
Hal ini di dalam hukum perjanjian dinamakan ingkar janji (wanprestasi). Disini konsultan tidak membuat data yang sebanarnya akibatnya akan menimbulakan data fiktif. Terhadap data yang sedemikian seorang konsultan harus bertanggung jawab dan memikul atas semua kerugian dari pemilik proyek.
Berdasarkan uraian kerugian atas seorang konsultan harus mengganti semua kerugian atas perbuatan baik itu karena kesengajaan atau karena kelalaian sehungga pemilik proyek dapat dibenarkan menurut hukum yang berlaku atas tuntutan ganti ruginya.
SIMPULAN
Para pihak seperti Pemrakarsa, Aparatur Pemerintah, dan Masyarakat sangat penting dalam analisis mengenai dampak lingkungan. Para pihak tersebut yang mempengaruhi berhasil atau tidaknya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.
Tugas pihak konsultan adalah membuat atau menyusun analisis dampak lingkungan dan harus bertanggungjawab atas semua data yang dibuatnya. Apabila data yang dibuat tidak sesuai dengan kebenarannya, maka pihak konsultan harus bertanggungjawab dan memikul atas semua kerugian dari pemilik proyek menurut hukum yang berlaku atas tuntutan ganti ruginya.
DAFTAR PUSTAKA
Husin,1992.Pengelolaan Lingkungan Hidup.Jakarta:Sinar Grafika.
Pasal 15 UU No. 23 Tahun 1997
Pasal 1830 BW KUH Perdata
Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999
Silalahi,1995.Tindak Pidana Lingkungan Hidup dan Masalah Prevensinya.Jakarta:Sinar Grafika.
Soemartono,1996.Pengantar Hukum Lingkungan Hidup.Bandung:Citra Aditya Bakti.
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. LATAR BELAKANG MASALAH
Pasir besi sebagai salah satu bahan baku utama dalam industri baja dan industri alat berat lainnya di Indonesia, keberadaannya akhir-akhir ini memiliki peranan yang sangat penting. Berbagai permintaan dari berbagai pihak meningkat cukup tajam. Salah satu daerah yang memiliki potensi tersebut adalah pantai selatan Tasikmalaya, khususnya dari daerah pantai Cipatujah sampai ke daerah Cikalong.
Daerah-daerah tersebut kaya akan pasir besi tersebut, salah satu yang menjadi bahan penelitian di dalam makalah ini adalah pertambangan pasir besi yang ada di Desa Ciheras Kecamatan Cipatujah Kabupaten Tasikmalaya. Dimana disana terdapat pertambangan pasir besi yang merupakan daya serap tenaga kerja bagi masyarakat, tetapi disamping itu ada banyak dampak pula yang dirasakan oleh masyarakat hal tersebut masih menjadi kontroversi ditengah-tengah masyarakat luas. Dan diharapkan ada penyelesaian untuk mengatasinya.
I.2. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana profil Desa Ciheras Kecamatan Cipatujah Kabupaten Tasikmalaya ?
2. Bagaimana kegiatan pertambangan pasir besi di Desa Ciheras ?
3. Bagaimana kontroversi masyarakat terhadap tambang pasir besi di Desa Ciheras ?
4. Bagaimana aspek hukum terhadap pencemaran lingkungan ?
I.3. TUJUAN DAN MANFAAT
1. Untuk mengetahui bagaimana profil Desa Ciheras Kecamatan Cipatujah Kabupaten Tasikmalaya.
2. Untuk mengetahui bagaimana kegiatan pertambangan pasir besi di Desa Ciheras.
3. Untuk mengetahui bagaimana kontroversi masyarakat terhadap tambang pasir besi di Desa Ciheras.
4. Untuk mengetahui bagaimana aspek hukum terhadap pencemaran lingkungan.
BAB II
PEMBAHASAN
II.1. PROFIL DESA CIHERAS KECAMATAN CIPATUJAH KABUPATEN TASIKMALAYA
Desa Ciheras merupakan salah satu desa yang berada dalam wilayah pemerintahan Kecamatan Cipatujah Kabupaten Tasikmalaya. Menurut letaknya, koordinat lokasi Desa Ciheras berada pada 107 54’34,61”E – 7 44,18’74” dan 107 58’6,1” – 7 40’15,99” S. Desa Ciheras memiliki batas wilayah sebagai berikut:
Utara : Desa Cipanas (Kabupaten Tasikmalaya)
Selatan : Samudera Indonesia
Barat : Desa Sancang, Kecamatan Pameungpeuk (Kabupaten Tasikmalaya)
Timur : Desa Ciandum (Kabupaten Tasikmalaya)
Pemerintahan
Ditinjau dari tata pemerintahannya, desa Ciheras terdiri dari 7 kedusunan, yaitu dusun Ciheras, dusun Cibalanak, dusun Cipari, dusun Cihanura, dusun Cisanggar 1, dusun Cisanggar 2, dan dusun Lembur Tengah. Pemerintahan desa dikepalai oleh kepala desa, sedangkan untuk kedusunan diketuai oleh kepala dusun. Setiap dusun terbagi lagi menjadi beberapa rukun tetangga. Lembaga tertinggi desa adalah Badan Perwakilan Desa yang merupakan badan eksekutif ditingkat desa. Dalam menjalankan tugasnya, seorang kepala desa dibantu oleh sekretaris desa yang membawahi kepala urusan pemerintahan, kepala urusan ekonomi dan pembangunan, dan kepala urusan umum. Selain itu, kepala desa juga membawahi polisi desa, amil, PTD, dan ulu-ulu.
Topografi
Secara topografi, Desa Ciheras terdiri dari 2 bagian, yaitu dataran sepanjang daerah timur hingga selatan dan perbukitan landai tinggi sepanjang daerah utara hingga barat. Keadaan tanah umumnya berupa pasir yang mengandung pasir besi, terutama dibagian garis pantai selatan. Sedangkan untuk daerah utara, tanahnya merupakan tanah biasa. Kondisi geografis yang beragam memunculkan pemanfaatan yang beragam pula. Didaerah dataran, terdapat banyak pohon kelapa, albasiah, dan sawah tadah hujan. Pada daerah tepi pantai, terdapat kegiatan pengerukan pasir besi dibagian barat desa Ciheras dan beberapa usaha tambak udang dan ikan.
Transportasi
Akses menuju desa Ciheras cukup mudah. Dari Kota Tasikmalaya, terdapat bis jurusan Tasik-Ciheras dan Tasik-Pameungpeuk untuk mencapai desa ini dengan tarif Rp 25.000. Kondisi jalan utama tergolong baik, berupa aspal yang dibangun dari dana PNPM. Namun, akses dari dusun ke dusun tidak sebaik jalan utama. Masih ada jalan berupa bebatuan, tetapi masih bisa dilalui kendaraan dengan baik.
Kondisi jalan terparah adalah jalur menuju desa Cisanggar yang biasa ditempuh selama 1,5 hingga 2 jam dengan menggunakan motor trail dari kantor desa. Jika hujan, medan lebih sulit lagi dan nyaris tak bisa dijangkau karena kondisi jalan semakin memburuk karena hujan. Hal ini diakibatkan oleh seringnya keluar masuk truk dengan muatan yang melebihi kapasitas badan jalan (menurut informasi yang kami dapat, kondisi jalan sempat bagus setelah pembangunan dari dana PNPM, tetapi sekarang kondisinya sangat parah).
Secara umum alat yang sering digunakan oleh warga adalah kendaraan pribadi beroda dua karena bis hanya datang setiap satu hingga dua jam.
Pendidikan
Dibidang pendidikan, institusi pendidikan yang berada di desa Ciheras terdiri dari jenjang TK hingga SMP. Pendidikan lain yang terselenggara adalah sekolah diniyah untuk anak sekolah dasar. Terdapat empat SD negeri, satu MI, dan satu SMP, yaitu SDN Ciheras, SDN Datarkihiang, SDN Cisanggar, SDN Cipari, MI Al-Hasanah, dan SMPN 3 Cipatujah.
Pendidikan yang ditempuh oleh masyarakat umumnya hanya sampai tingkat SMP, tetapi sejak 3 tahun yang lalu, terdapat peningkatan minat diantara murid SMP untuk meneruskan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Akses terhadap lembaga pendidikan terkendala sarana transportasi. Karena jarak antar dusun relatif jauh dan tidak semua dusun terdapat lembaga pendidikan.
Kesehatan
Sarana dan prasarana kesehatan bagi masyarakat adalah puskesmas pembantu, poliklinik desa, posyandu.
Ekonomi
Sumber daya alam desa ini sangat melimpah. Komoditas pertanian yang biasa ditemukan adalah gula merah, pisang, kelapa, kayu albasiah. Pola tanam tanaman tidak beraturan dan tidak ada irigasi sehingga pengairan untuk sawah adalah tadah hujan. Sedangkan untuk perikanan terdapat tambak dan untuk peternakan jenis ternak yang dipelihara adalah sapi, kambing, dan bebek. Pola melaut para nelayan adalah menjala dengan pemanfaatan hasil berupa ikan asin dan usaha warung makan. Jangkauan pemasaran hasil perikanan ke daerah Tasikmalaya dan Cirebon. Pola ternak para peternak adalah cara konvensional, yaitu ternak dibiarkan merumput di lapang atau diberi makan di kandangnya. Pakan bagi ternak berupa rumput alami, ampas tahu, dan konsentrat. Tingkat produksi sangat baik, apalagi kelompok peternak mendapatkan bantuan dana untuk penggemukan sapi dari pemerintah. Calon pembeli biasanya datang langsung kepada peternak.
Potensi Wisata
Seperti daerah pantai pada umumnya, pantai desa Ciheras memiliki keindahan tersendiri yang bisa dijadikan potensi wisata. Salah satu daerah pantai yang indah berada di daerah bubujung yang masih alami dan memiliki pantai karang dibagian selatan serta ngarai yang indah dibagian utara. Hanya saja keindahan pantai ini belum dieksplorasi secara optimal. Kedepannya diharapkan potensinya bisa lebih maksimal, ditambah lagi dengan sarana transportasi jalur selatan yang sedang dalam proses penyempurnaan.
II.2. KEGIATAN PERTAMBANGAN PASIR BESI DI DESA CIHERAS
Kegiatan penambangan pasir besi di daerah ini sehari-hari dikerjakan oleh kelompok, dimana setiap kelompok beranggotakan 5 orang yang bekerja secara bersama-sama dimulai dari menggali pasir, kemudian dimuat ke dalam truk lalu kemudian dipindahkan ke tempat penampungan sementara atau (pool). Setiap kelompok menghasilkan pasir besi yang berbeda-beda tergantung kemampuan kelompoknya masing-masing, mulai dari 3 truk sampai 10 truk (berisi 3 meter kubik atau lebih, tergantung dari jenis truknya).
Para penambang di pertambangan ini kebanyakan menggunakan alat-alat modern, untuk mengeruk pasir besi atau sejenis becko (escapator). Tapi ada juga yang masih menggunakan alat-alat tradisional seperti sekop dan cangkul. Sebenarnya kedua alat yang digunakan para penambang ini sama-sama punya kelebihan dan kelemahan, alat tradisional memungkinkan para penambang untuk bekerja lebih lama (menyerap tenaga kerja) dan tidak merusak lingkungan, sedangkan alat modern tidak menyerap tenaga kerja karena hanya mengoperasikan seorang operator dan cenderung merusak lingkungan, karena alat modern tersebut mengangkutnya kesana kemari dan cenderung merusak jalan dan infrastruktur lainnya.
Gambar II.4.1. Tempat galian pasir besi
Gambar II.4.2. Aktifitas para penambang pasir besi
II.3. KONTROVERSI MASYARAKAT TERHADAP TAMBANG PASIR BESI DI DESA CIHERAS
Dalam kurun waktu beberapa tahun ini masyarakat di Ciheras khususnya di daerah sekitar penambangan pasir besi banyak memberikan respon terhadap aktivitas penambangan tersebut, baik respon positif maupun respon negatif. Kebanyakan diantaranya memberikan respon negatif atau kurang setuju dengan kegiatan penambangan tersebut karena dirasakan merusak lingkungan.
Dampak positif yang dirasakan yaitu salah satunya adalah dapat Menyerap tenaga kerja, Masyarakat disekitar penambangan memang merasa terbantu dengan adanya penambangan pasir ini karena mereka bisa ikut bekerja menjadi buruh disana, bagi sebagian masyarakat memang menyadarinya karena pertambangan tersebut memberikan sedikit keringanan beban perekonomian. Disamping itu tambang pasir besi memiliki daya tarik tersendiri keberadaannya, dimana pada awal keberadaannya menjadi daya tarik bagi Ciheras untuk menarik masyarakat luar, karena masyarakat lain ingin mengetahui keberadaan dan keadaan tambang besi tersebut.
Sementara itu dampak yang paling negatif adalah:
1. Merusak pantai dan vegetasinya
Keadaan pantai sebelum adanya penambangan pasir besi di daerah Cikawungading menunjukan kondisi pantai yang begitu alami dan indah, berbagai jenis vegetasi pantai tumbuh di sepanjang jalur pantai. Tapi kini sudah mulai tergerus oleh kegiatan penambangan.
2. Rusaknya jalan raya
Kerusakan yang paling parah akibat dari kegiatan pertambangan pasir besi ini adalah rusaknya jalan raya yang menjadi penghubung jalur pantai selatan, keadaan ini menyebabkan arus transportasi barang dan manusia menjadi terhambat. Sejak awal kondisi jalan raya yang menjadi penghubung Cipatujah dan Cikalong sudah rusak dan kini diperparah dengan adanya kegiatan pengangkutan pasir besi, dengan hilir mudiknya truk-truk besar yang mengangkut pasir besi tersebut. Masyarakat menyayangkan keadaan tersebut dimana keadaan ini membuat mereka tidak nyaman.
3. Tingkat polusi udara yang meningkat
Hal ini disebabkan oleh hilir mudiknya truk-truk pengangkut pasir besi yang melintas, yang membawa pasir tersebut dari daerah cipatujah ke daerah lain, khususnya daerah ciamis dan sekitarnya.
4. Rusaknya area pesawahan atau pertanian warga
Lahan pertanian warga menjadi rusak akibat kegiatan pertambangan ini, diduga aliran air yang ke persawahan menjadi terganggu, akibatnya sawah warga menjadi cepat kering. Disamping itu area perkebunan yang tadinya rindang oleh kelapa kini menjadi tandus dan kering.
Dari keadaan tersebut dapat dilihat bahwa keberadaan tambang pasir besi masih menjadi kontroversi di tengah-tengah masyarakat luas. Dimana masyarakat lebih merasakan dampak negaif dari pada dampak positifnya, masyarakat menyayangkan keadaan tersebut dimana pengelolaan sumber daya alam haruslah lebih mengutamakan kepentingan luas, disinilah peran berbagai pihak dibutuhkan untuk memperbaiki keadaan semua.
II.4. ASPEK HUKUM TERHADAP PENCEMARAN LINGKUNGAN
Pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Sedangkan perusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan.
Pengembangan pembangunan saat ini mencakup semua sektor seperti pemukiman, industri dan transportasi. Pengembangan pembangunan sektor-sektor tersebut dan juga adanya kemajuan teknologi, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi kondisi lingkungan hidup. Pengaruh tersebut dapat berupa pengaruh positif maupun pengaruh negatif. Pengaruh negatif pengembangan pembangunan adalah kerusakan lingkungan hidup yang salah satunya adalah pencemaran lingkungan hidup.
Pengembangan pembangunan secara umum adalah suatu kegiatan manusia sehingga secara umum pula pencemaran lingkungan diakibatkan kegiatan manusia yang kesemuanya tercakup dalam pertambahan penduduk, perkembangan pemukiman, industri dan transportasi.
Pasal 16 Undang-Undang Lingkungan Hidup (UULH) berbunyi: “ Setiap rencana yang diperkirakan mempunyai dampak penting terhadap lingkungan wajib dilengkapi dengan analisis mengenai dampak lingkungan yang pelaksanaannya diatur dengan peraturan pemerintah”. Pada dasarnya semua usaha dan kegiatan pembangunan menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup. Perencanaan awal suatu usaha atau kegiatan pembangunan sudah harus memuat perkiraan dampaknya yang penting terhadap lingkungan hidup, guna dijadikan pertimbangan apakah untuk rencana tersebut perlu dibuat analisis mengenai dampak lingkungan.
Berdasarkan analisis ini dapat diketahui secara lebih terinci dampak negatif dan positif yang akan timbul dari usaha atau kegiatan tersebut, sehingga sejak dini telah dapat mempersiapkan langkah untuk menanggulangi dampak negatif dan mengembangkan dampak positifnya. Dampak yang penting ditentukan antara lain:
a) Besar jumlah manusia yang akan terkena dampak;
b) Luas wilayah penyebaran dampak;
c) Lamanya dampak berlangsung;
d) Intensitas dampak;
e) Banyaknya komponen lingkungan lainnya yang akan terkena dampak;
f) Sifat kumulatif dampak tersebut;
g) Berbalik (reversible) atau tidak berbaliknya (irreversible) dampak.
Namun tidak semua rencana kegiatan wajib dilengkapi dengan analisis mengenai dampak lingkungan, karena hanya beberapa kegiatan tertentu saja yang menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan. Dampak penting itu sendiri adalah perubahan lingkungan yang sangat mendasar yang diakibatkan oleh suatu kegiatan. Analisis mengenai dampak lingkungan merupakan bagian dari proses perencanaan kegiatan yang menjadi pangkal tolak pengaturan dalam prosedur perizinan lingkungan. Analisis terhadap dampak lingkungan bertujuan untuk menjaga agar kondisi lingkungan tetap berada pada suatu derajat mutu tertentu demi menjamin kesinambungan pembangunan.
Dengan Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No. 04/P/M/Pertamb/1977 tertanggal 28 September 1977 telah ditetapkan Pencegahan dan Penanggulangan terhadap Gangguan dan Pencemaran sebagai Akibat Usaha Pertambangan Umum. Dalam pasal 3 Peraturan tersebut menyatakan dalam ayat (1) bahwa pengusaha wajib memasukkan rencana kerja mengenai cara pencegahan dan penanggulangan gangguan dan pencemaran tata lingkungan hidup dalam rencana kerja kegiatan usaha pertambangannya. Rencana tersebut harus terlebih dahulu mendapat persetujuan Direktur Jenderal (ayat (2)) dan dalam memberiikan persetujuan tersebut Direktur Jenderal terlebih dahulu mendengar pendapat-pendapat instansi dan pihak-pihak yang berkepentingan dengan masalah tersebut (ayat (3)).
Dalam pasal 4 disebutkan bahwa dalam hal terjadi gangguan dan pencemaran tata lingkungan hidup, pengusaha diharuskan segera menanggulangi dan memberiikan laporan kepada Direktur Jenderal. Dalam pasal 5 menegaskan bahwa biaya-biaya untuk pelaksanaan pencegahan dan penanggulangan dibebankan kepada pengusaha yang bersangkutan. Dan dalam pasal 9 ditetapkan sanksi-sanksi sebagai berikut:
a) Diperlakukan sanksi sebagaimana tertera dalam Pasal 22 ayat (1) dan pasal 33 UU No. 11 tahun 1967, masing-masing menjadi sanksi Pembatalan Kuasa Pertambangan dan hukuman kurungan dan/atau denda;
b) Penghentian sementara sebagian ataupun seluruh kegiatan usaha pertambangan yang jelas-jelas menimbulkan gangguan dan pencemaran tata lingkungan hidup.
Penghentian tersebut akan dicabut apabila gangguan dan pencemaran tata lingkungan hidup itu sudah ditanggulangi seluruhnya dan telah diadakan pencegahan dan penanggulangan terhadap kemungkinan timbulnya kembali gangguan dan pencemaran apabila usaha pertambangan umum itu dijalankan lagi. Sehubungan dengan masalah pencemaran oleh industri, perlu diperhatikan dua hal yaitu:
a) Pencemaran lingkungan kerja/ruang kerja;
b) Pencemaran lingkungan pabrik kawasan industri dan pencemaran pada daerah sekitarnya.
Lingkungan kerja/ruang kerja dikaitkan dengan tenaga kerja atau pengusaha yang ada ditempat tersebut, yang akan menghirup udara yang tercemar yang biasanya disebabkan oleh bahan-bahan bakar yang digunakan, proses pengolahan, mesin-mesin yang digunakan dan lain sebagainya.
Usaha Pencegahan pencemaran industri dapat berupa:
a) Peningkatan kesadaran lingkungan di antara karyawan dan pengusaha khususnya, masyarakat umumnya, tentang akibat-akibat buruk suatu pencemaran;
b) Pembentukan organisasi penanggulangan pencemaran untuk antara lain mengadakan monitoring berkala guna mengumpulkan data selengkap mungkin yang dapat dijadikan dasar menentukan kriteria tentang kualitas udara, air, dan sebagainya;
c) Penanganan atau penerapan kriteria tentang kualitas tersebut dalam peraturan perundang-undangan;
d) Penentuan daerah industri yang terencana dengan baik, dikaitkan dengan planologi kota, pedesaan, dengan memperhitungkan berbagai segi. Penentuan daerah industri ini mempermudah usaha pencegahan dengan perlengkapan instalasi pembuangan, baik melalui air ataupun udara;
e) Penyempurnaan alat produksi melalui kemajuan teknologi, di antaranya melalui modifikasi alat produksi sedemikian rupa sehingga bahan-bahan pencemaran yang bersumber pada proses produksi dapat dihilangkan, setidak-tidaknya dapat dikurangi.
BAB III
PENUTUP
III. 1. KESIMPULAN
1. Desa Ciheras merupakan salah satu desa yang berada dalam wilayah pemerintahan Kecamatan Cipatujah Kabupaten Tasikmalaya. Menurut letaknya, koordinat lokasi Desa Ciheras berada pada 107 54’34,61”E – 7 44,18’74” dan 107 58’6,1” – 7 40’15,99” S. Desa Ciheras memiliki batas wilayah sebagai berikut:
Utara : Desa Cipanas (Kabupaten Tasikmalaya)
Selatan : Samudera Indonesia
Barat : Desa Sancang, Kecamatan Pameungpeuk (Kabupaten Tasikmalaya)
Timur : Desa Ciandum (Kabupaten Tasikmalaya)
2. Kegiatan penambangan pasir besi di daerah ini sehari-hari dikerjakan oleh kelompok, dimana setiap kelompok beranggotakan 5 orang yang bekerja secara bersama-sama dimulai dari menggali pasir, kemudian dimuat ke dalam truk lalu kemudian dipindahkan ke tempat penampungan sementara atau (pool). Setiap kelompok menghasilkan pasir besi yang berbeda-beda tergantung kemampuan kelompoknya masing-masing, mulai dari 3 truk sampai 10 truk (berisi 3 meter kubik atau lebih, tergantung dari jenis truknya).
3. Keberadaan tambang pasir besi masih menjadi kontroversi di tengah-tengah masyarakat luas. Dimana masyarakat lebih merasakan dampak negaif dari pada dampak positifnya, masyarakat menyayangkan keadaan tersebut dimana pengelolaan sumber daya alam haruslah lebih mengutamakan kepentingan luas, disinilah peran berbagai pihak dibutuhkan untuk memperbaiki keadaan semua.
4. Dalam pasal 5 UULH menegaskan bahwa biaya-biaya untuk pelaksanaan pencegahan dan penanggulangan dibebankan kepada pengusaha yang bersangkutan. Dan dalam pasal 9 ditetapkan sanksi-sanksi sebagai berikut:
a) Diperlakukan sanksi sebagaimana tertera dalam Pasal 22 ayat (1) dan pasal 33 UU No. 11 tahun 1967, masing-masing menjadi sanksi Pembatalan Kuasa Pertambangan dan hukuman kurungan dan/atau denda;
b) Penghentian sementara sebagian ataupun seluruh kegiatan usaha pertambangan yang jelas-jelas menimbulkan gangguan dan pencemaran tata lingkungan hidup.
III. 2. SARAN
Usaha Pencegahan pencemaran industri dapat berupa:
a) Peningkatan kesadaran lingkungan di antara karyawan dan pengusaha khususnya, masyarakat umumnya, tentang akibat-akibat buruk suatu pencemaran;
b) Pembentukan organisasi penanggulangan pencemaran untuk antara lain mengadakan monitoring berkala guna mengumpulkan data selengkap mungkin yang dapat dijadikan dasar menentukan kriteria tentang kualitas udara, air, dan sebagainya;
c) Penanganan atau penerapan kriteria tentang kualitas tersebut dalam peraturan perundang-undangan;
d) Penentuan daerah industri yang terencana dengan baik, dikaitkan dengan planologi kota, pedesaan, dengan memperhitungkan berbagai segi. Penentuan daerah industri ini mempermudah usaha pencegahan dengan perlengkapan instalasi pembuangan, baik melalui air ataupun udara;
e) Penyempurnaan alat produksi melalui kemajuan teknologi, di antaranya melalui modifikasi alat produksi sedemikian rupa sehingga bahan-bahan pencemaran yang bersumber pada proses produksi dapat dihilangkan, setidak-tidaknya dapat dikurangi.
DAFTAR PUSTAKA
Sukandarrumidi, 2009. Bahan Galian Industri. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Arsif Desa Ciheras Kecamatan Cipatujah Kabupaten Tasikamalaya
Narasumber Kepala Desa Ciheras : Bapak Badru Salam
Narasumber Humas Desa Ciheras
Narasumber Sekretaris Desa Ciheras : Ibu Yati RE.
Narasumber Tokoh Masyarakat Desa Ciheras
-------------------------------------------------------
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33
Undang-undang Lingkungan Hidup
Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No. 04/P/M/Pertamb/1977 tertanggal 28 September 1977
UU No. 11 tahun 1967
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. LATAR BELAKANG MASALAH
Pasir besi sebagai salah satu bahan baku utama dalam industri baja dan industri alat berat lainnya di Indonesia, keberadaannya akhir-akhir ini memiliki peranan yang sangat penting. Berbagai permintaan dari berbagai pihak meningkat cukup tajam. Salah satu daerah yang memiliki potensi tersebut adalah pantai selatan Tasikmalaya, khususnya dari daerah pantai Cipatujah sampai ke daerah Cikalong.
Daerah-daerah tersebut kaya akan pasir besi tersebut, salah satu yang menjadi bahan penelitian di dalam makalah ini adalah pertambangan pasir besi yang ada di Desa Ciheras Kecamatan Cipatujah Kabupaten Tasikmalaya. Dimana disana terdapat pertambangan pasir besi yang merupakan daya serap tenaga kerja bagi masyarakat, tetapi disamping itu ada banyak dampak pula yang dirasakan oleh masyarakat hal tersebut masih menjadi kontroversi ditengah-tengah masyarakat luas. Dan diharapkan ada penyelesaian untuk mengatasinya.
Pada hakikatnya sumber daya alam merupakan sesuatu yang amat berharga dan harus disyukuri keberadaannya di muka bumi ini, dimana hal tersebut merupakan titipan yang amat berharga dari yang maha kuasa agar dapat dimanfaatkan dengan sebaik mungkin oleh manusia. Seperti yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ,dimana dalam pasal ini disebutkan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat”. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Seperti yang telah kita ketahui bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam, salah satunya adalah sumber daya mineral yang lebih banyak dipergunakan sebagai bahan baku industri. Pemerintah Republik Indonesia sendiri membagi bahan galian menjadi 3 golongan, antara lain: Bahan galian golongan A (bahan galian strategis), Bahan galian golongan B (bahan galian vital), bahan galian golongan C (bahan galian non strategis dan non vital). Penggolongan tersebut membuktikan bahwa begitu banyak sumber daya mineral yang ada di Indonesia.
Salah satu sumber daya tersebut adalah pasir besi yang ada di sepanjang jalur pantai selatan Tasikmalya, yaitu dari daerah pantai Cipatujah sampai pantai Cikalong. Dengan potensi yang ada di daerah tersebut penulis akan mencoba untuk meneliti lebih lanjut mengenai keberadaan pasir besi tersebut, salah satunya dengan melakukan penelitian ke daerah Desa Ciheras ( Cipatujah). Keberadaan pasir besi tersebut banyak menarik minat para pengusaha yang ingin mengembangkannya, tapi ditengah keberadaannya tersebut malah menjadi kontroversi di tengah masyarakat, dimana yang menjadi perhatian adalah dampaknya terhadap sekitar, oleh sebabnya penulis akan mencoba menuangkannya dalam sebuah makalah yang berjudul ’’ Dampak Keberadaan Tambang Pasir Besi Di Desa Ciheras Kecamatan Cipatujah Kabupaten Tasikmalaya”.
I.2. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana profil Desa Ciheras Kecamatan Cipatujah Kabupaten Tasikmalaya ?
2. Bagaimana pengertian pertambangan dan pasir besi ?
3. Bagaimana potensi pertambangan pasir besi di Desa Ciheras ?
4. Bagaimana kegiatan pertambangan pasir besi di Desa Ciheras ?
5. Bagaimana dampak dari keberadaan tambang pasir besi di Desa Ciheras ?
6. Bagaimana aspek hukum terhadap pencemaran lingkungan ?
I.3. TUJUAN DAN MANFAAT
1. Untuk mengetahui bagaimana profil Desa Ciheras Kecamatan Cipatujah Kabupaten Tasikmalaya.
2. Untuk mengetahui bagaimana pengertian pertambangan dan pasir besi.
3. Untuk mengetahui bagaimana potensi pertambangan pasir besi di Desa Ciheras.
4. Untuk mengetahui bagaimana kegiatan pertambangan pasir besi di Desa Ciheras.
5. Untuk mengetahui bagaimana dampak dari keberadaan tambang pasir besi di Desa Ciheras.
6. Untuk mengetahui bagaimana aspek hukum terhadap pencemaran lingkungan.
BAB II
PEMBAHASAN
II.1. PROFIL DESA CIHERAS KECAMATAN CIPATUJAH KABUPATEN TASIKMALAYA
Desa Ciheras merupakan salah satu desa yang berada dalam wilayah pemerintahan Kecamatan Cipatujah Kabupaten Tasikmalaya. Menurut letaknya, koordinat lokasi Desa Ciheras berada pada 107 54’34,61”E – 7 44,18’74” dan 107 58’6,1” – 7 40’15,99” S. Desa Ciheras memiliki batas wilayah sebagai berikut:
Utara : Desa Cipanas (Kabupaten Tasikmalaya)
Selatan : Samudera Indonesia
Barat : Desa Sancang, Kecamatan Pameungpeuk (Kabupaten Tasikmalaya)
Timur : Desa Ciandum (Kabupaten Tasikmalaya)
Pemerintahan
Ditinjau dari tata pemerintahannya, desa Ciheras terdiri dari 7 kedusunan, yaitu dusun Ciheras, dusun Cibalanak, dusun Cipari, dusun Cihanura, dusun Cisanggar 1, dusun Cisanggar 2, dan dusun Lembur Tengah. Pemerintahan desa dikepalai oleh kepala desa, sedangkan untuk kedusunan diketuai oleh kepala dusun. Setiap dusun terbagi lagi menjadi beberapa rukun tetangga. Lembaga tertinggi desa adalah Badan Perwakilan Desa yang merupakan badan eksekutif ditingkat desa. Dalam menjalankan tugasnya, seorang kepala desa dibantu oleh sekretaris desa yang membawahi kepala urusan pemerintahan, kepala urusan ekonomi dan pembangunan, dan kepala urusan umum. Selain itu, kepala desa juga membawahi polisi desa, amil, PTD, dan ulu-ulu.
Topografi
Secara topografi, Desa Ciheras terdiri dari 2 bagian, yaitu dataran sepanjang daerah timur hingga selatan dan perbukitan landai tinggi sepanjang daerah utara hingga barat. Keadaan tanah umumnya berupa pasir yang mengandung pasir besi, terutama dibagian garis pantai selatan. Sedangkan untuk daerah utara, tanahnya merupakan tanah biasa. Kondisi geografis yang beragam memunculkan pemanfaatan yang beragam pula. Didaerah dataran, terdapat banyak pohon kelapa, albasiah, dan sawah tadah hujan. Pada daerah tepi pantai, terdapat kegiatan pengerukan pasir besi dibagian barat desa Ciheras dan beberapa usaha tambak udang dan ikan.
Transportasi
Akses menuju desa Ciheras cukup mudah. Dari Kota Tasikmalaya, terdapat bis jurusan Tasik-Ciheras dan Tasik-Pameungpeuk untuk mencapai desa ini dengan tarif Rp 25.000. Kondisi jalan utama tergolong baik, berupa aspal yang dibangun dari dana PNPM. Namun, akses dari dusun ke dusun tidak sebaik jalan utama. Masih ada jalan berupa bebatuan, tetapi masih bisa dilalui kendaraan dengan baik.
Kondisi jalan terparah adalah jalur menuju desa Cisanggar yang biasa ditempuh selama 1,5 hingga 2 jam dengan menggunakan motor trail dari kantor desa. Jika hujan, medan lebih sulit lagi dan nyaris tak bisa dijangkau karena kondisi jalan semakin memburuk karena hujan. Hal ini diakibatkan oleh seringnya keluar masuk truk dengan muatan yang melebihi kapasitas badan jalan (menurut informasi yang kami dapat, kondisi jalan sempat bagus setelah pembangunan dari dana PNPM, tetapi sekarang kondisinya sangat parah).
Secara umum alat yang sering digunakan oleh warga adalah kendaraan pribadi beroda dua karena bis hanya datang setiap satu hingga dua jam.
Pendidikan
Dibidang pendidikan, institusi pendidikan yang berada di desa Ciheras terdiri dari jenjang TK hingga SMP. Pendidikan lain yang terselenggara adalah sekolah diniyah untuk anak sekolah dasar. Terdapat empat SD negeri, satu MI, dan satu SMP, yaitu SDN Ciheras, SDN Datarkihiang, SDN Cisanggar, SDN Cipari, MI Al-Hasanah, dan SMPN 3 Cipatujah.
Pendidikan yang ditempuh oleh masyarakat umumnya hanya sampai tingkat SMP, tetapi sejak 3 tahun yang lalu, terdapat peningkatan minat diantara murid SMP untuk meneruskan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Akses terhadap lembaga pendidikan terkendala sarana transportasi. Karena jarak antar dusun relatif jauh dan tidak semua dusun terdapat lembaga pendidikan.
Kesehatan
Sarana dan prasarana kesehatan bagi masyarakat adalah puskesmas pembantu, poliklinik desa, posyandu.
Ekonomi
Sumber daya alam desa ini sangat melimpah. Komoditas pertanian yang biasa ditemukan adalah gula merah, pisang, kelapa, kayu albasiah. Pola tanam tanaman tidak beraturan dan tidak ada irigasi sehingga pengairan untuk sawah adalah tadah hujan. Sedangkan untuk perikanan terdapat tambak dan untuk peternakan jenis ternak yang dipelihara adalah sapi, kambing, dan bebek. Pola melaut para nelayan adalah menjala dengan pemanfaatan hasil berupa ikan asin dan usaha warung makan. Jangkauan pemasaran hasil perikanan ke daerah Tasikmalaya dan Cirebon. Pola ternak para peternak adalah cara konvensional, yaitu ternak dibiarkan merumput di lapang atau diberi makan di kandangnya. Pakan bagi ternak berupa rumput alami, ampas tahu, dan konsentrat. Tingkat produksi sangat baik, apalagi kelompok peternak mendapatkan bantuan dana untuk penggemukan sapi dari pemerintah. Calon pembeli biasanya datang langsung kepada peternak.
Potensi Wisata
Seperti daerah pantai pada umumnya, pantai desa Ciheras memiliki keindahan tersendiri yang bisa dijadikan potensi wisata. Salah satu daerah pantai yang indah berada di daerah bubujung yang masih alami dan memiliki pantai karang dibagian selatan serta ngarai yang indah dibagian utara. Hanya saja keindahan pantai ini belum dieksplorasi secara optimal. Kedepannya diharapkan potensinya bisa lebih maksimal, ditambah lagi dengan sarana transportasi jalur selatan yang sedang dalam proses penyempurnaan.
II.2. PENGERTIAN PERTAMBANGAN DAN PASIR BESI
Pertambangan adalah rangkaian kegiatan dalam rangka upaya pencarian, penambangan (penggalian), pengolahan, pemanfaatan dan penjualan bahan galian (mineral,batubara, panas bumi, migas,dll).
Secara umum pasir besi terdiri dari mineral opak yang bercampur dengan butiran-butiran dari mineral non logam seperti, kuarsa, kalsit, feldspar, ampibol, piroksen, biotit, dan tourmalin. Mineral tersebut terdiri dari magnetit, titaniferous magnetit, ilmenit, limonit, dan hematit. Titaniferous magnetit adalah bagian yang cukup penting merupakan ubahan dari magnetit dan ilmenit. Mineral bijih pasir besi terutama berasal dari batuan basaltik dan andesitik volkanik. Kegunaannya pasir besi ini selain untuk industri logam besi juga telah banyak dimanfaatkan pada industri semen.
Di dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia disebutkan bahwa pasir besi adalah bijih laterit dengan kandungan pokok berupa mineral oksida besi. Pasir besi biasanya mengandung juga beberapa mineral oksida logam lain, seperti vanadium, titanium, dan krominum, dalam jumlah kecil.
Pasir yang mengandung bijih besi ini adalah bahan galian yang mengandung mineral besi, yang dapat digunakan secara ekonomis sebagai bahan baku pembuatan besi logam atau baja. Persyaratan utama yang harus dipenuhi adalah kandungan besinya harus lebih dari 51,5 persen.
II.3. POTENSI PERTAMBANGAN PASIR BESI DI DESA CIHERAS
Pasir besi merupakan salah satu bahan industri yang potensial yang ada di Indonesia, salah satunya yang ada di desa Ciheras, Kecamatan Cipatujah, Tasikmalaya. Potensi yang dimiliki oleh desa Ciheras ini banyak menarik minat para pengusaha yang ingin mengusahakan agar dapat menambang. Menurut penelitian pasir besi di daerah Ciheras tersebut memiliki kandungan unsure besi yang sangat tinggi sekitar 66,58%.
Tabel Kandungan Pasir Pantai di Daerah Cikawungading
No Jenis
Kandungan Persentase %
1 AI2O2 3,27
2 Cr2O4 -
3 Fe2O3 66,58
4 K2O 0,14
5 C2O 1,52
6 MgO 5,20
7 MnO2 0,59
8 NaO2 1,07
9 SiO2 7,45
10 TiO2 14,04
Sumber: Hasil uji lab Sucofindo, 2 April 2002
Begitu kayanya pasir besi di daerah ini, khususnya di daerah pantai selatan Tasikmalaya. Bahkan dalam salah satu surat kabar harian Tasikmalaya disebutkan bahwa ’’Wilayah Tasikmalaya Selatan dikenal dengan kekayaan sumber Daya mineralnya yang melimpah”. Dari seluruh jenis mineral di Kabupaten Tasikmalaya, yang terbesar adalah kandungan pasir besi di sepanjang pantai Tasikmalaya Selatan.
Secara geografis dan administratif, ada 3 wilayah kecamatan yang memiliki pantai. Antara lain, Kecamatan Cipatujah, Karangnunggal dan Kecamatan Cikalong. Di Kecamatan Cipatujah terdapat sekitar 6 perusahaan yang melakukan eksploitasi yaitu PT Jasmass, CV Asam, PDUP, PT Maktal, PT Margos dan PT Mandiri. Lokasi eksploitasi terdapat di kawasan pantai Desa Ciheras, Ciandum, dan Cikawungading.
II.4. KEGIATAN PERTAMBANGAN PASIR BESI DI DESA CIHERAS
Kegiatan penambangan pasir besi di daerah ini sehari-hari dikerjakan oleh kelompok, dimana setiap kelompok beranggotakan 5 orang yang bekerja secara bersama-sama dimulai dari menggali pasir, kemudian dimuat ke dalam truk lalu kemudian dipindahkan ke tempat penampungan sementara atau (pool). Setiap kelompok menghasilkan pasir besi yang berbeda-beda tergantung kemampuan kelompoknya masing-masing, mulai dari 3 truk sampai 10 truk (berisi 3 meter kubik atau lebih, tergantung dari jenis truknya).
Para penambang di pertambangan ini kebanyakan menggunakan alat-alat modern, untuk mengeruk pasir besi atau sejenis becko (escapator). Tapi ada juga yang masih menggunakan alat-alat tradisional seperti sekop dan cangkul. Sebenarnya kedua alat yang digunakan para penambang ini sama-sama punya kelebihan dan kelemahan, alat tradisional memungkinkan para penambang untuk bekerja lebih lama (menyerap tenaga kerja) dan tidak merusak lingkungan, sedangkan alat modern tidak menyerap tenaga kerja karena hanya mengoperasikan seorang operator dan cenderung merusak lingkungan, karena alat modern tersebut mengangkutnya kesana kemari dan cenderung merusak jalan dan infrastruktur lainnya.
Gambar II.4.1. Tempat galian pasir besi
Gambar II.4.2. Aktifitas para penambang pasir besi
Gambar II.4.3. Tempat penyimpanan sementara pasir besi
Gambar II.4.4. Sampel bentuk pasir besi
II.5. DAMPAK DARI KEBERADAAN TAMBANG PASIR BESI DI DESA CIHERAS
Dalam kurun waktu beberapa tahun ini masyarakat di Ciheras khususnya di daerah sekitar penambangan pasir besi banyak memberikan respon terhadap aktivitas penambangan tersebut, baik respon positif maupun respon negatif. Kebanyakan diantaranya memberikan respon negatif atau kurang setuju dengan kegiatan penambangan tersebut karena dirasakan merusak lingkungan.
Dampak positif yang dirasakan yaitu salah satunya adalah dapat Menyerap tenaga kerja, Masyarakat disekitar penambangan memang merasa terbantu dengan adanya penambangan pasir ini karena mereka bisa ikut bekerja menjadi buruh disana, bagi sebagian masyarakat memang menyadarinya karena pertambangan tersebut memberikan sedikit keringanan beban perekonomian. Disamping itu tambang pasir besi memiliki daya tarik tersendiri keberadaannya, dimana pada awal keberadaannya menjadi daya tarik bagi Ciheras untuk menarik masyarakat luar, karena masyarakat lain ingin mengetahui keberadaan dan keadaan tambang besi tersebut.
Sementara itu dampak yang paling negatif adalah:
1. Merusak pantai dan vegetasinya
Keadaan pantai sebelum adanya penambangan pasir besi di daerah Cikawungading menunjukan kondisi pantai yang begitu alami dan indah, berbagai jenis vegetasi pantai tumbuh di sepanjang jalur pantai. Tapi kini sudah mulai tergerus oleh kegiatan penambangan.
Gambar II.5.1. Jalur pantai dan vegetasinya rusak
2. Rusaknya jalan raya
Kerusakan yang paling parah akibat dari kegiatan pertambangan pasir besi ini adalah rusaknya jalan raya yang menjadi penghubung jalur pantai selatan, keadaan ini menyebabkan arus transportasi barang dan manusia menjadi terhambat. Sejak awal kondisi jalan raya yang menjadi penghubung Cipatujah dan Cikalong sudah rusak dan kini diperparah dengan adanya kegiatan pengangkutan pasir besi, dengan hilir mudiknya truk-truk besar yang mengangkut pasir besi tersebut. Masyarakat menyayangkan keadaan tersebut dimana keadaan ini membuat mereka tidak nyaman.
Gambar II.5.2. Jalan raya yang rusak berat
3. Tingkat polusi udara yang meningkat
Hal ini disebabkan oleh hilir mudiknya truk-truk pengangkut pasir besi yang melintas, yang membawa pasir tersebut dari daerah cipatujah ke daerah lain, khususnya daerah ciamis dan sekitarnya.
4. Rusaknya area pesawahan atau pertanian warga
Lahan pertanian warga menjadi rusak akibat kegiatan pertambangan ini, diduga aliran air yang ke persawahan menjadi terganggu, akibatnya sawah warga menjadi cepat kering. Disamping itu area perkebunan yang tadinya rindang oleh kelapa kini menjadi tandus dan kering.
Gambar II.5.3. Lahan warga yang tidak produktif lagi
Gambar II.5.4. Limbah pasir besi
Gambar II.5.5. Bekas galian pasir besi
Dari keadaan tersebut dapat dilihat bahwa keberadaan tambang pasir besi masih menjadi kontroversi di tengah-tengah masyarakat luas. Dimana masyarakat lebih merasakan dampak negaif dari pada dampak positifnya, masyarakat menyayangkan keadaan tersebut dimana pengelolaan sumber daya alam haruslah lebih mengutamakan kepentingan luas, disinilah peran berbagai pihak dibutuhkan untuk memperbaiki keadaan semua.
II.6. ASPEK HUKUM TERHADAP PENCEMARAN LINGKUNGAN
Pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Sedangkan perusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan.
Pengembangan pembangunan saat ini mencakup semua sektor seperti pemukiman, industri dan transportasi. Pengembangan pembangunan sektor-sektor tersebut dan juga adanya kemajuan teknologi, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi kondisi lingkungan hidup. Pengaruh tersebut dapat berupa pengaruh positif maupun pengaruh negatif. Pengaruh negatif pengembangan pembangunan adalah kerusakan lingkungan hidup yang salah satunya adalah pencemaran lingkungan hidup.
Pengembangan pembangunan secara umum adalah suatu kegiatan manusia sehingga secara umum pula pencemaran lingkungan diakibatkan kegiatan manusia yang kesemuanya tercakup dalam pertambahan penduduk, perkembangan pemukiman, industri dan transportasi.
Pasal 16 Undang-Undang Lingkungan Hidup (UULH) berbunyi: “ Setiap rencana yang diperkirakan mempunyai dampak penting terhadap lingkungan wajib dilengkapi dengan analisis mengenai dampak lingkungan yang pelaksanaannya diatur dengan peraturan pemerintah”. Pada dasarnya semua usaha dan kegiatan pembangunan menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup. Perencanaan awal suatu usaha atau kegiatan pembangunan sudah harus memuat perkiraan dampaknya yang penting terhadap lingkungan hidup, guna dijadikan pertimbangan apakah untuk rencana tersebut perlu dibuat analisis mengenai dampak lingkungan.
Berdasarkan analisis ini dapat diketahui secara lebih terinci dampak negatif dan positif yang akan timbul dari usaha atau kegiatan tersebut, sehingga sejak dini telah dapat mempersiapkan langkah untuk menanggulangi dampak negatif dan mengembangkan dampak positifnya. Dampak yang penting ditentukan antara lain:
a) Besar jumlah manusia yang akan terkena dampak;
b) Luas wilayah penyebaran dampak;
c) Lamanya dampak berlangsung;
d) Intensitas dampak;
e) Banyaknya komponen lingkungan lainnya yang akan terkena dampak;
f) Sifat kumulatif dampak tersebut;
g) Berbalik (reversible) atau tidak berbaliknya (irreversible) dampak.
Namun tidak semua rencana kegiatan wajib dilengkapi dengan analisis mengenai dampak lingkungan, karena hanya beberapa kegiatan tertentu saja yang menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan. Dampak penting itu sendiri adalah perubahan lingkungan yang sangat mendasar yang diakibatkan oleh suatu kegiatan. Analisis mengenai dampak lingkungan merupakan bagian dari proses perencanaan kegiatan yang menjadi pangkal tolak pengaturan dalam prosedur perizinan lingkungan. Analisis terhadap dampak lingkungan bertujuan untuk menjaga agar kondisi lingkungan tetap berada pada suatu derajat mutu tertentu demi menjamin kesinambungan pembangunan.
Dengan Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No. 04/P/M/Pertamb/1977 tertanggal 28 September 1977 telah ditetapkan Pencegahan dan Penanggulangan terhadap Gangguan dan Pencemaran sebagai Akibat Usaha Pertambangan Umum. Dalam pasal 3 Peraturan tersebut menyatakan dalam ayat (1) bahwa pengusaha wajib memasukkan rencana kerja mengenai cara pencegahan dan penanggulangan gangguan dan pencemaran tata lingkungan hidup dalam rencana kerja kegiatan usaha pertambangannya. Rencana tersebut harus terlebih dahulu mendapat persetujuan Direktur Jenderal (ayat (2)) dan dalam memberiikan persetujuan tersebut Direktur Jenderal terlebih dahulu mendengar pendapat-pendapat instansi dan pihak-pihak yang berkepentingan dengan masalah tersebut (ayat (3)).
Dalam pasal 4 disebutkan bahwa dalam hal terjadi gangguan dan pencemaran tata lingkungan hidup, pengusaha diharuskan segera menanggulangi dan memberiikan laporan kepada Direktur Jenderal. Dalam pasal 5 menegaskan bahwa biaya-biaya untuk pelaksanaan pencegahan dan penanggulangan dibebankan kepada pengusaha yang bersangkutan. Dan dalam pasal 9 ditetapkan sanksi-sanksi sebagai berikut:
a) Diperlakukan sanksi sebagaimana tertera dalam Pasal 22 ayat (1) dan pasal 33 UU No. 11 tahun 1967, masing-masing menjadi sanksi Pembatalan Kuasa Pertambangan dan hukuman kurungan dan/atau denda;
b) Penghentian sementara sebagian ataupun seluruh kegiatan usaha pertambangan yang jelas-jelas menimbulkan gangguan dan pencemaran tata lingkungan hidup.
Penghentian tersebut akan dicabut apabila gangguan dan pencemaran tata lingkungan hidup itu sudah ditanggulangi seluruhnya dan telah diadakan pencegahan dan penanggulangan terhadap kemungkinan timbulnya kembali gangguan dan pencemaran apabila usaha pertambangan umum itu dijalankan lagi. Sehubungan dengan masalah pencemaran oleh industri, perlu diperhatikan dua hal yaitu:
a) Pencemaran lingkungan kerja/ruang kerja;
b) Pencemaran lingkungan pabrik kawasan industri dan pencemaran pada daerah sekitarnya.
Lingkungan kerja/ruang kerja dikaitkan dengan tenaga kerja atau pengusaha yang ada ditempat tersebut, yang akan menghirup udara yang tercemar yang biasanya disebabkan oleh bahan-bahan bakar yang digunakan, proses pengolahan, mesin-mesin yang digunakan dan lain sebagainya.
Usaha Pencegahan pencemaran industri dapat berupa:
a) Peningkatan kesadaran lingkungan di antara karyawan dan pengusaha khususnya, masyarakat umumnya, tentang akibat-akibat buruk suatu pencemaran;
b) Pembentukan organisasi penanggulangan pencemaran untuk antara lain mengadakan monitoring berkala guna mengumpulkan data selengkap mungkin yang dapat dijadikan dasar menentukan kriteria tentang kualitas udara, air, dan sebagainya;
c) Penanganan atau penerapan kriteria tentang kualitas tersebut dalam peraturan perundang-undangan;
d) Penentuan daerah industri yang terencana dengan baik, dikaitkan dengan planologi kota, pedesaan, dengan memperhitungkan berbagai segi. Penentuan daerah industri ini mempermudah usaha pencegahan dengan perlengkapan instalasi pembuangan, baik melalui air ataupun udara;
e) Penyempurnaan alat produksi melalui kemajuan teknologi, di antaranya melalui modifikasi alat produksi sedemikian rupa sehingga bahan-bahan pencemaran yang bersumber pada proses produksi dapat dihilangkan, setidak-tidaknya dapat dikurangi.
BAB III
PENUTUP
III. 1. KESIMPULAN
1. Desa Ciheras merupakan salah satu desa yang berada dalam wilayah pemerintahan Kecamatan Cipatujah Kabupaten Tasikmalaya. Menurut letaknya, koordinat lokasi Desa Ciheras berada pada 107 54’34,61”E – 7 44,18’74” dan 107 58’6,1” – 7 40’15,99” S. Desa Ciheras memiliki batas wilayah sebagai berikut:
Utara : Desa Cipanas (Kabupaten Tasikmalaya)
Selatan : Samudera Indonesia
Barat : Desa Sancang, Kecamatan Pameungpeuk (Kabupaten Tasikmalaya)
Timur : Desa Ciandum (Kabupaten Tasikmalaya)
2. Pertambangan adalah rangkaian kegiatan dalam rangka upaya pencarian, penambangan (penggalian), pengolahan, pemanfaatan dan penjualan bahan galian (mineral,batubara, panas bumi, migas,dll).
3. Pasir besi merupakan salah satu bahan industri yang potensial yang ada di Indonesia, salah satunya yang ada di desa Ciheras, Kecamatan Cipatujah, Tasikmalaya. Potensi yang dimiliki oleh desa Ciheras ini banyak menarik minat para pengusaha yang ingin mengusahakan agar dapat menambang. Menurut penelitian pasir besi di daerah Ciheras tersebut memiliki kandungan unsure besi yang sangat tinggi sekitar 66,58%.
4. Kegiatan penambangan pasir besi di daerah ini sehari-hari dikerjakan oleh kelompok, dimana setiap kelompok beranggotakan 5 orang yang bekerja secara bersama-sama dimulai dari menggali pasir, kemudian dimuat ke dalam truk lalu kemudian dipindahkan ke tempat penampungan sementara atau (pool). Setiap kelompok menghasilkan pasir besi yang berbeda-beda tergantung kemampuan kelompoknya masing-masing, mulai dari 3 truk sampai 10 truk (berisi 3 meter kubik atau lebih, tergantung dari jenis truknya).
5. Dalam kurun waktu beberapa tahun ini masyarakat di Ciheras khususnya di daerah sekitar penambangan pasir besi banyak memberikan respon terhadap aktivitas penambangan tersebut, baik respon positif maupun respon negatif. Kebanyakan diantaranya memberikan respon negatif atau kurang setuju dengan kegiatan penambangan tersebut karena dirasakan merusak lingkungan.
6. Dalam pasal 5 UULH menegaskan bahwa biaya-biaya untuk pelaksanaan pencegahan dan penanggulangan dibebankan kepada pengusaha yang bersangkutan. Dan dalam pasal 9 ditetapkan sanksi-sanksi sebagai berikut:
a) Diperlakukan sanksi sebagaimana tertera dalam Pasal 22 ayat (1) dan pasal 33 UU No. 11 tahun 1967, masing-masing menjadi sanksi Pembatalan Kuasa Pertambangan dan hukuman kurungan dan/atau denda;
b) Penghentian sementara sebagian ataupun seluruh kegiatan usaha pertambangan yang jelas-jelas menimbulkan gangguan dan pencemaran tata lingkungan hidup.
III. 2. SARAN
Usaha Pencegahan pencemaran industri dapat berupa:
a) Peningkatan kesadaran lingkungan di antara karyawan dan pengusaha khususnya, masyarakat umumnya, tentang akibat-akibat buruk suatu pencemaran;
b) Pembentukan organisasi penanggulangan pencemaran untuk antara lain mengadakan monitoring berkala guna mengumpulkan data selengkap mungkin yang dapat dijadikan dasar menentukan kriteria tentang kualitas udara, air, dan sebagainya;
c) Penanganan atau penerapan kriteria tentang kualitas tersebut dalam peraturan perundang-undangan;
d) Penentuan daerah industri yang terencana dengan baik, dikaitkan dengan planologi kota, pedesaan, dengan memperhitungkan berbagai segi. Penentuan daerah industri ini mempermudah usaha pencegahan dengan perlengkapan instalasi pembuangan, baik melalui air ataupun udara;
e) Penyempurnaan alat produksi melalui kemajuan teknologi, di antaranya melalui modifikasi alat produksi sedemikian rupa sehingga bahan-bahan pencemaran yang bersumber pada proses produksi dapat dihilangkan, setidak-tidaknya dapat dikurangi.
DAFTAR PUSTAKA
Sukandarrumidi, 2009. Bahan Galian Industri. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Arsif Desa Ciheras Kecamatan Cipatujah Kabupaten Tasikamalaya
Narasumber Kepala Desa Ciheras : Bapak Badru Salam
Narasumber Humas Desa Ciheras
Narasumber Sekretaris Desa Ciheras : Ibu Yati RE.
Narasumber Tokoh Masyarakat Desa Ciheras
-------------------------------------------------------
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33
Undang-undang Lingkungan Hidup
Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No. 04/P/M/Pertamb/1977 tertanggal 28 September 1977
UU No. 11 tahun 1967
Langganan:
Postingan (Atom)