Pidana Islam
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. LATAR
BELAKANG MASALAH
Hukum pidana termasuk pada ranah hukum publik. Hukum pidana adalah hukum
yang mengatur hubungan antar subjek hukum dalam hal perbuatan - perbuatan yang
diharuskan dan dilarang oleh peraturan perundang - undangan dan berakibat
diterapkannya sanksi berupa pemidanaan dan/atau denda bagi para pelanggarnya.
Dalam hukum pidana dikenal 2 jenis perbuatan yaitu kejahatan dan pelanggaran.
Kejahatan ialah perbuatan yang tidak hanya bertentangan dengan peraturan perundang
- undangan tetapi juga bertentangan dengan nilai moral, nilai agama dan rasa
keadilan masyarakat. Pelaku pelanggaran berupa kejahatan mendapatkan sanksi
berupa pemidanaan, contohnya mencuri, membunuh, berzina, memperkosa dan
sebagainya. Sedangkan pelanggaran ialah perbuatan yang hanya dilarang oleh
peraturan perundangan namun tidak memberikan efek yang tidak berpengaruh secara
langsung kepada orang lain, seperti tidak menggunakan helm, tidak menggunakan
sabuk pengaman dalam berkendaraan, dan sebagainya. Di Indonesia, hukum pidana
diatur secara umum dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang
merupakan peninggalan dari zaman penjajahan Belanda, sebelumnya bernama Wetboek
van Straafrecht (WvS). KUHP merupakan lex generalis bagi
pengaturan hukum pidana di Indonesia dimana asas-asas umum termuat dan menjadi
dasar bagi semua ketentuan pidana yang diatur di luar KUHP (lex
specialis).
Orang baru menyadari hal tersebut merupakan tindakpidana karena perbuatan
tersebut tercantum dalam undang-undang, istilahnya disebut wetsdelict (delik
undang-undang ). Dimuat dalam buku III KUHP pasal 489 sampai dengan pasal 569.
Contoh pencurian (pasal 362 KUHP), pembunuhan (pasal 338 KUHP), perkosaan
(pasal 285 KUHP). Meskipun perbuatan tersebut tidak dirumuskan dalam undang-undang
menjadi tindak pidana tetapi orang tetap menyadari perbuatan tersebut adalah
kejahatan dan patut dipidana, istilahnya disebut rechtsdelict(delik
hukum). Dimuat didalam buku II KUHP pasal 104 sampai dengan pasal 488. Contoh
mabuk ditempat umum (pasal 492 KUHP/536 KUHP), berjalan diatas tanah yang oleh
pemiliknya dengan cara jelas dilarang memasukinya (pasal 551 KUHP).
I.2. RUMUSAN
MASALAH
1. Bagaimana Pengertian Hukum Pidana dan Pidana Islam ?
2. Bagaimana Pelanggaran dan Kejahatan dalam Hukum Pidana Positif dan Pidana
Islam ?
I.3. TUJUAN
DAN MANFAAT
1. Untuk mengetahui bagaimana Pengertian Hukum Pidana dan Pidana Islam.
2. Untuk mengetahui bagaimana Pelanggaran dan Kejahatan dalam Hukum Pidana
Positif dan Pidana Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
II.1. PENGERTIAN HUKUM PIDANA DAN PIDANA ISLAM.
Pengertian Hukum Pidana
Secara tradisional, defenisi hukum pidana adalah “hukum yang memuat
peraturan-peraturan yang mengandung keharusan dan larangan terhadap pelanggar
yang diancam dengan hukuman berupa siksaan badan.” (Samidjo, 1985: 1). Defenisi
lain adalah, “hukum pidana adalah peraturan hukum mengenai pidana. Kata
“pidana” berarti hal yang dipidanakan, yaitu hal yang dilimpahkan oleh instansi
yang berkuasa kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakan dan
juga hal yang tidak dilimpahkan.
Menurut Sudarsono, pada prinsipnya Hukum Pidana adalah yang mengatur
tentang kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan umum dan perbuatan
tersebut diancam dengan pidana yang merupakan suatu penderitaan.
Pengrertian Hukum Pidana Islam
Kata Jinayat adalah bentuk jamak dari kata jinayah, yang berarti perbuatan
dosa, kejahatan atau pelanggaran. Bab Al-jinayah dalam fiqih Islam membicarakan
bermacam-macam perbuatan pidana (jarimah) dan hukumnya. Hukum had adalah
hukuman yang telah dipastikan ketentuannya dalam nash al-Qur’an atau Sunnah
Rasul. Sedangkan hukum ta’zir adalah hukuman yang tidak dipastikan ketentuannya
dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Hukum ta’zir menjadi wewenang penguasa untuk
menentukannya.
Hukum Pidana Islam sering disebut dalam fiqih dengan istilah jinayat atau jarimah. Jinayat dalam
istilah hukum Islam sering disebut dengan delik atau tindak pidana. Jinahah
merupakan bentuk verbal noun (mashdar) dari kata jana.
Secara etimologi jana berarti berbuat dosa atau salah,
sedangkan jinayah diartikan perbuatan dosa atau perbuatan
salah. Secara terminologi kata jinayat mempunyai beberapa
pengertian, seperti yang diungkapkan oleh Abd al Qodir Awdah bahwajinayat adalah
perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta
benda, atau lainnya.
Yang dimaksud denganjinayat meliputi beberapa hukum,
yaitu membunuh orang, melukai, memotong anggota tubuh, dan meghilangkan manfaat
badan, misalnya menghilangkan salah satu panca indera. Dalam Jinayah (Pidana
Islam) dibicarakan Pula Upaya-upaya prefentif, rehabilitative,
edukatif, serta upaya-upaya represif dalam menanggulangi kejahatan disertai
tentang toeri-teori tentang hukuman.
Menurut A. Jazuli, pada dasarnya pengertian dari istilah Jinayah mengacu
kepada hasil perbuatan seseorang. Biasanya pengertian tersebut terbatas pada
perbuatan yang dilarang. Di kalangan fuqoha’, perkataan Jinayat berarti
perbuatan perbuatan yang dilarang oleh syara’. Meskipun demikian, pada umunya
fuqoha’ menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuatan perbuatan yang
terlarang menurut syara’. Meskipun demikian, pada umumnya fuqoha’ menggunakan
istilah tersebut hanya untuk perbuatan perbuatan yang mengancam keselamatan
jiwa, seperti pemukulan, pembunuhan dan sebagainya. Selain itu, terdapat
fuqoha’ yang membatasi istilah Jinayat kepada perbuatan perbuatan yang diancam
dengan hukuman hudud dan qishash, tidak temasuk perbuatan yang diancam dengan
ta’zir. Istilah lain yang sepadan dengan istilah jinayat adalah jarimah, yaitu
larangan larangan syara’ yang diancam Allah dengan hukuman had atau ta’zir.
Secara umum, pengertian Jinayat sama dengan hukum Pidana pada hukum
positif, yaitu hukum yang mengatur perbuatan yang yang berkaitan dengan jiwa
atau anggota badan, seperti membunuh, melukai dan lain sebagainya.
II.2. PELANGGARAN DAN KEJAHATAN DALAM HUKUM PIDANA POSITIF DAN PIDANA ISLAM.
1. Kejahatan dan
Pelanggaran dalam Hukum Pidana Positif
Istilah kejahatan berasal dari kata “jahat”, yang
artinya sangat tidak baik, sangat buruk, sangat jelek,
yang ditumpukan pada tabiat dan kelakuan orang. Kejahatan berarti
mempunyai sifat yang jahat atau perbuatan yang jahat. Dalam ketentuan pasal 86
KUHP sebagaI berikut:“Apabila disebut kejahatan pada umumnya atau suatu kejahatan
pada khususnya, maka dalam sebutan itu termasuk juga membantu melakukan itu,
jika dikecualikan oleh suatu peraturan lain”.
KUHP menempatkan kejahatan di dalam Buku Kedua dan pelanggaran di dalam
Buku Ketiga. Tetapi tidak penjelasan mengenai apa yang disebut
kejahatan dan pelanggaran. Semuanya diserahkan kepada ilmu pengetahuan untuk
memberikan dasarnya, tetapi tampaknya tidak ada yang sepenuhnya memuaskan.
Dicoba membedakan bahwa kejahatan merupakan rechtsdelictatau
delik hukum dan pelanggaran merupakan westdelict atau delik
undang-undang. Delik hukum adalah pelanggaran hukum yang dirasakan melanggar
rasa keadilan, misalnya perbuatan seperti pembunuhan, melukai orang lain,
mencuri dan sebagainya. Sedangakan delik undang-undang melanggar apa yang
ditentukan oleh undang-undang, misalnya saja keharusan untuk mempunyai SIM bagi
yang mengendarai kendaraan bermotor di jalan umum, atau mengenai helm ketika
mengendarai sepeda motor. Disini tidak tersangkut sama sekali masalah keadilan.[12] Pelanggaran adalah mengenai
hal-hal kecil atau ringan yang diancam dengan hukum
denda sedangkan Kejahatanadalah mengenai hal-hal besar yang
diancam dengan pidana lainnya.
Terdapat dua cara pandang dalam membedakan antara kejahatan dan pelanggaran
(Moeljatno,2002:72), yakni pandangan pertama yang melihat adanya perbedaan
antara kejahatan dan pelanggaran dari perbedaan kualitatif. Dalam pandangan
perbedaan kualitatif antara kejahatan dan pelanggaran dikatakan bahwa kejahatan
adalah “rechtsdeliten”, yaitu perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak
ditentukan dalam undang-undang, sebagai perbuatan pidana, telah dirasakan
sebagai onrecht, sebagai perbuatan yang bertentantangan dengan tata hukum.
Pelanggaran sebaliknya adalah “wetsdeliktern”, yaitu perbuatan-perbuatan yang
sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang menentukan
demikian (Moeljatno,2002:71).Pandangan kedua yakni pandangan yang menyatakan
bahwa hanya ada perbedaan kuantitatif (soal berat atau entengnya ancaman
pidana) antara kejahatan dan pelanggaran.Selain daripada sifat umum bahwa
ancaman pidana bagi kejahatan lebih berat daripada pelanggaran, perbedaan
antara kejahatan dan pelanggaran yaitu (Moeljatno,2002:74) :
1. Pidana penjara hanya diancamkan pada kejahatan saja.
2. Jika menghadapi kejahatan maka bentuk
kesalahan (kesengajaan atau kelapaan) yang diperlukan di situ, harus dibuktikan
oleh jaksa, sedangkan jika menghadapi pelanggaran hal itu tidak usah. Berhubung
dengan itu kejahatan dibedakan pula dalam kejahatan yang dolus dan culpa.
3. Percobaan untuk melakukan pelanggaran
tak dapat dipidana (Pasal 54 KUHP). Juga pembantuan pada pelanggaran tidak
dipidana (Pasal 60 KUHP).
4. Tenggang daluwarsa, baik untuk hak
menentukan maupun hak penjalanan pidana bagi pelanggaran adalah lebih pendek
daripada kejahatan tersebut masing-masing adalah satu tahun dan dua tahun.
5. Dalam hal pembarengan (concursus)
pada pemidanaan berbeda buat pelanggaran dan kejahatan. Kumulasi pidana yang
enteng lebih mudah daripada pidana berat.
Bentuk-bentuk Kejahatan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang
diatur dalam Buku Ke II:
1. Bab - I Kejahatan Terhadap Keamanan Negara
Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau
meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara
paling lama dua puluh tahun. (Pasal 104 KUHP).
2. Bab - II Kejahatan-kejahatan Terhadap
Martabat Presiden dan Wakil Presiden
3. Bab - III Kejahatan-kejahatan Terhadap
Negara Sahabat dan Terhadap Kepala Negara Sahabat Serta Wakilnya
4. Bab - IV Kejahatan Terhadap Melakukan
Kewajiban dan Hak Kenegaraan.
Contoh :membubarkan rapat badan pembentuk
undang-undang, mengusir ketua atau anggota rapat, dll.
5. Bab - V Kejahatan Terhadap Ketertiban
Umum
6. Bab - VI Perkelahian Tanding
Dalam perkelahian tanding merampas nyawa pihak lawan atau melukai tubuhnya,
maka diterapkan ketentuan-ketentuan mengenai pembunuhan berencana, pembunuhan
atau penganiayaan., dll.
7. Bab - VII Kejahatan yang Membahayakan
Keamanan Umum bagi Orang atau Barang
Contoh: menimbulkan kebakaran, ledakan
atau banjir.
8. Bab - VIII Kejahatan Terhadap Penguasa
Umum
Dengan sengaja di muka umum dengan lisan
atau tulisan menghina suatu penguasa atau hadan umum yang ada di Indonesia.
9. Bab - IX Sumpah Palsu dan Keterangan
Palsu
10. Bab - X Pemalsuan Mata Uang dan Uang
Kertas
11. Bab - XI Pemalsuan Meterai dan Merek
12. Bab - XII Pemalsuan Surat
13. Bab - XIII Kejahatan Terhadap
Asal-Usul dan Perkawinan
Contoh: menggelapkan asal-usul orang,
mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau
perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu.,
dll.
14. Bab - XIV Kejahatan Terhadap
Kesusilaan
Contoh; Zina, Pemerkosaan, Video Porno,
dll.
15. Bab - XV Meninggalkan Orang yang Perlu
Ditolong
16. Bab - XVI Penghinaan
17. Bab - XVII Membuka Rahasia
18. Bab - XVIII Kejahatan Terhadap
Kemerdekaan Orang
19. Bab - XIX Kejahatan Terhadap Nyawa
Contoh: Pembunuhan.
20. Bab - XX Penganiayaan
21. Bab - XXI Menyebabkan Mati atau
Luka-luka Karena Kealpaan
22. Bab - XXII Pencurian
23. Bab - XXIII Pemerasan dan Pengancaman
24. Bab - XXIV Penggelapan
25. Bab - XXV Perbuatan Curang
26. Bab - XXVI Perbuatan Merugikan
Pemiutang atau Orang yang Mempunyai Hak
27. Bab - XXVII Menghancurkan atau
Merusakkan Barang
28. Bab - XXVIII Kejahatan Jabatan
29. Bab - XXIX Kejahatan Pelayaran
30. Bab - XXIX A Kejahatan Penerbangan dan
Kejahatan Terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan
31. Bab - XXX Penadahan Penerbitan dan
Percetakan
Bentuk-bentuk Pelanggaran dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
diatur dalam Buku ke- III:
1. Bab I - Tentang Pelanggaran Keamanan
Umum bagi Orang atau Barang dan Kesehatan.
Kenakalan terhadap orang atau barang yang
dapat menimbulkan bahaya, kerugian atau kesusahan. Contoh: memasang ranjau
perangkap, jerat, atau perkakas lain untuk menangkap atau membunuh binatang
buas.
2. Bab II - Pelanggaran Ketertiban Umum
Contoh: Membikin ingar atau riuh pada
malam hari, menarik keuntungan dari perbuatan cabul, dll.
3. Bab III - Pelanggaran Terhadap Penguasa
Umum melanggar ketentuan peraturan penguasa umum yang telah diumumkan mengenai
pemakaian dan pembagian air dari perlengkapan air atau bangunan pengairan guna
keperluan umum,dll.
4. Bab IV - Pelanggaran Mengenai Asal-Usul
dan Perkawinan Tidak melaporkan pada pejabat Catatan Sipil atau tentang
kelahiran dan kematian.
5. Bab V - Pelanggaran Terhadap Orang yang
Memerlukan Pertolongan
6. Bab VI - Pelanggaran Kesusilaan Contoh:
enyanyikan lagu-lagu yang melanggar kesusilaan dimuka umum., dll.
7. Bab VII - Pelanggaran Mengenai Tanah,
Tanaman dan Pekarangan Contoh: membiarkan unggas ternaknya berjalan di kebun,
di tanah yang sudah ditaburi, ditugali atau ditanami., dll.
8. Bab VIII - Pelanggaran Jabatan
9. Bab IX - Pelanggaran Pelayaran Seorang
nakoda kapal Indonesia yang tidak mempunyai di kapalnya kertas-kertas kapal,
buku-buku dan surat-surat yang diharuskan oleh ketentuan undang-undang., dll.
2. Kejahatan dana
Pelanggaran dalam Hukum Pidana Islam
Dalam khazanah hukum positif, hukum menurut isinya dapat dibagi menjadi
Hukum Privat (Hukum Sipil) dan Hukum Publik. Hukum Sipil dalam arti luas
meliputi Hukum Perdata (Burgelijkrecht) dan Hukum Dagang (Handelsrecht),
sedangkan dalam arti sempit meliputi Hukum Perdata saja. Hukum Publik terdiri
dari Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, Hukum Pidana, dan Hukum
Internasional.
Berbeda dengan hukum positif, hukum Islam tidak membedakan dengan tajam
antara hukum perdata dengan hukum publik. Ini disebabkan karena menurut sistem
hukum Islam, pada hukum perdata terdapat segi segi publik dan pada hukum publik
ada segi segi perdatanya. Itulah sebabnya maka dalam hukum Islam tidak
dibedakan kedua bidang hukum itu. Yang disebutkan hanyalah bagian bagiannya
saja, seperti misalnya; Munakahat, Wirosah, Mu’amalat dalam
arti khusus, jinayat atau âl uqubah, al ahkam as
sulthoniyyah, siyar, danmukhosamat.
Jarimah (kejahatan) dalam Hukum Pidana Islam (Jinayat) meliputi, jarimah
hudud, qishash diyat dan ta’zir.
Abd Qodir Awdah membagi jarimah ta’zir menjadi tiga, yaitu:
1.
Jarimah hudud dan qishash diyat yang
mengandung unsur shubhat atau tidak memenuhi syarat, namun hal itu sudah
dianggap sebagai perbuatan maksiyat, seperti pencurian harta syirkah,
pembunuhan ayah terhadap anaknya, dan pencurian yang bukan harta benda.
2.
Jarimah ta’zir yang jenis jarimahnya
ditentukan oleh nas, tetapi sanksinya oleh syari’ah diserahkan kepada penguasa,
seperti sumpah palsu, saksi palsu, mengurangi timbangan, menipu, mengingkari
janji, menghianati amanah, dan menghina agama.
3.
Jarimah ta’zir dimana jenis jarimah dan
sanksinya secara penuh menjadi wewenang penguasa demi terealisasinya
kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi pertimbangan yang paling
utama. Misalnya pelanggaran terhadap peraturan lingkungan hidup, lalu lintas,
dan pelanggaran terhadap pemerintah lainnya.
Dalam menetapkan jarimah ta’zir, prinsip utama uang menjadi acuan penguasa
adalah menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari
kemudharotan (bahaya). Di samping itu, penegakkan jarimah ta’zir harus sesuai
dengan prinsip syar’i.
Dalam Islam, sumber hukum bersumber dari Allah dan Rasul-Nya, serta dari
ijtihad para ulama (ahl ijtihad). Tujuan dari hukum Islam itu adalah
kemaslahatan umat. Islam yang memiliki ajaran yang sempurna dan universal juga
mengandung ajaran tentang hukum pidana yang dalam hal ini dapat diistilahkan
dengan jinayah, atau sebagian Ulama mengistilahkan dengan sebutan jarimah.
Jinayah adalah suatu nama untuk perbuatan atau tindakan pidana yang dilakukan
seseorang yang yang dilarang Syara’, baik itu perbuatan atas jiwa, harta atau
selain jiwa dan harta. Jarimah adalah segala larangan-larangan yang haram
karena dilarang oleh Allah dan diancam dengan hukuman baik had ataupun ta’zir.
Abdul Aziz Amir membagi
jarimah ta’zir secara terperinci kepada bebapa bagian, yaitu:
1. Jarimah ta’zir
yang berkaitan dengan pembunuhan.
Pembunuhan itu diancam dengan hukuman mati. Apabilaqishash dimaafkan
maka hukumannya adalah diyat. Apabila diyatnya dimaafkan maka Ulul Amri berhak
menjatuhkan ta’zir bila hal ini dipandang lebih maslahat.
2. Jarimah ta’zir
yang berhubungan dengan pelukaan.
Menurut Imam Malik, hukuman ta’zir dapat digabungkan dengan qishash dalam
jarimah pelukaan, karena qishash merupakan hak adami, sedangkan ta’zir sebagai
imbalan atas hak masyarakat. Di samping itu, ta’zir juga dapat dikenakan
terhadap jarimah pelukaan apabila qishashnya dimaafkan atau tidak bisa
dilaksanakan karena suatu sebab yang dibenarkan oleh syara’. Hal ini
didasarkan pada penjelasan surat al-Maidah ayat 45 :
Dan kami Telah tetapkan
terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa,
mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan
gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. barangsiapa yang melepaskan (hak kisas)
nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. barangsiapa tidak
memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah
orang-orang yang zalim.
Ayat ini diindikasikan behwa setiap manusia mempunyai hak hidup dan tidak
seorangpun yang boleh mengganggu hak hidup orang lain, sehingga jika terjadi
perbuatan yang menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, meskipun dilakukan
dengan ketidaksengajaan, maka pelakunya tidak dibiarkan begitu saja melainkan
disuruh membayar ganti rugi.
3. Jarimah ta’zir
yang berkaitan dengan kejahatan terhadap kehormatan dan kerusakan akhlak.
Jarimah macam ini berkaitan dengan jarimah zina, menuduh zina, dan
penghinaan. Di antara kasus perzinaan yang diancam dengan ta’zir adalah
perzinaan yang tidak memenuhi syarat yang dikenakan hukum had, atau terhadap
syubhat dalam pelakunya, perbuatannya, atau tempat. Demikian pula kasus
percobaan zina dan perbuatan-perbuatan prazina, seperti meraba-raba, berpelukan
dengan wanita yang bukan istrinya, tidur bersama tanpa hubungan seksual dan
sebagainya. Penuduhan zina yang dikategorikan kepada ta’zir adalah apabila orang
yang dituduh itu bukan muhshan. Tuduhan-tuduhan selain tuduhan zina
digolongkan kepada penghinaan dan statusnya termasuk kepada ta’zir, seperti
tuduhan mencuri, mencaci maki dan sebagainya. Panggilan-panggilan seperti wahai
kafir, wahai munafik, wahai fasik, dan semacamnya termasuk penghinaan yang
dikenakan hukuman ta’zir. Karena panggilan tersebut termasuk perbuatan yang
dilaarang oleh Allah sebagaimana ditegaskan dalam surat al_hujurat ayat 11-12 :
11. Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang
laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu
lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan
kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah
suka mencela dirimu sendiri[1409] dan jangan memanggil dengan gelaran yang
mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk
sesudah iman[1410] dan barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah
orang-orang yang zalim.
12. Hai orang-orang yang
beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), Karena sebagian dari
purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah
menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan
daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.
dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha
Penyayang.
[1409] Jangan
mencela dirimu sendiri maksudnya ialah mencela antara sesama mukmin karana
orang-orang mukmin seperti satu tubuh.
[1410] panggilan
yang buruk ialah gelar yang tidak disukai oleh orang yang digelari, seperti
panggilan kepada orang yang sudah beriman, dengan panggilan seperti: Hai fasik,
Hai kafir dan sebagainya.
4. Jarimah
ta’zir yang berkaitan dengan harta
Jarimah yagn berkaitan dengan harta adalah jarimah pencurian dan
perampokan. Apabila kedua jaarimah tersebut syarat-syaratnya telah terpenuhi
maka pelaku dikenakan hukuman had. Akan tetapi, apabila syarat untuk
dikenakannya hukuman had tidak terpenuhi maka pelakuk tidak dikenakan hukuman
had melainkan hukuman ta’zir. Jarimah yang termasuk jenis ini antara lain
seperti percobaan pencurian, pencopetan, perjudian dan lain-lain.
5. Jarimah ta’zir
yang berkaitan dengan kemaslahatan individu
Termasuk dalam kelompok ini, antara lain seperti saksi palsu, berbohong di
depan sidang pengadilan, menyakiti hewan, melanggar hak privacy orang lain
misalnya masuk rumah orang lain tanpa izin.
6. Jarimah ta’zir
yang berkaitan dengan kemaslahatan umum
Jarimah yang termasuk
dalam kelompok ini adalah :
a.
Jarimah yang mengganggu keamanan
Negara/pemerintah, seperti percobaan kudeta
b.
Suap
c.
Tindakan melampaui batas dari
pegawai/pejabat atau tali dalam menjalankan kewajiban. Seperti penolakan hakim
untuk mengadili suatu perkara
d.
Pelayanan yang buruk dari aparatur
pemerintah terhadap masyarakat
e.
Melawan petugas pemerintah dan membangkang
terhadap peraturan
f.
Melepaskan narapidana dan menyembunyikan
buronan
g.
Pemalsuan tanda tangan dan stempel
h.
Kejahatan yang berkaitan dengan ekonomi.
Klasifikasi jarimah
ta’zir:
Dilihat dari hak yang
dilanggar, ta’zir dapat dibagi menjadi dua bagian:
1.
Jarimah yang berkaitan dengan hak Allah.
2.
Jarimah yang berkaitan dengan hak perseorangan.
Dari segi sifatnya,
jarimah ta’zir dibagi menjadi tiga bagian:
1.
Ta’zir atas perbuatan maksiat.
2.
Ta’zir atas perbuatan yang membahayakan kepentingan umum.
3.
Ta’zir atas pelanggaran (mukhalafah).
BAB III
PENUTUP
III. 1.
KESIMPULAN
Dalam KUHP perbuatan pidana dibagi atas kejahatan dan pelanggaran.
Kejahatan adalah “rechtsdeliten”, yaitu perbuatan-perbuatan yang
meskipun tidak diatur dalam undang-undang sebagai perbuatan pidana, telah
dirasakan sebagai onrecht, sebagai perbuatan yang bertentangan
dengan tata hukum. Sedangkan pelanggaran adalah sebaliknya yaitu “wetsdeliktem” yaitu
perbuatan-perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah
ada wet yang menentukan demikian. Mengenai perbuatan-perbuatan (delik) telah
diatur dalam KUHP beserta sanksi pidananya (pertanggungjawabannya).
Kejahatan merupakan rechtsdelict atau delik hukum dan
pelanggaran merupakan westdelict atau delik undang-undang.
Delik hukum adalah pelanggaran hukum yang dirasakan melanggar rasa keadilan,
misalnya perbuatan seperti pembunuhan, melukai orang lain, mencuri dan
sebagainya. Sedangakan delik undang-undang melanggar apa yang ditentukan oleh
undang-undang, misalnya saja keharusan untuk mempunyai SIM bagi yang
mengendarai kendaraan bermotor di jalan umum, atau mengenai helm ketika mengendarai
sepeda motor. Disini tidak tersangkut sama sekali masalah keadilan.
Dalam Hukum Pidana Positif yang berlaku di Indonesia, kejahatan
dan pelanggaran dibedakan dan diatur secara tegas dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) masing-masing dalam buku kedua dan ketiga KUHP. Sementara
dalam Hukum Pidana Islam juga dikenal istilah kejahan dan pelanggaran seperti
yang dimaksud dengan pelanggaran dalam buku kedua KUHP, semntara dalam Hukum
Pidana Islam tidak ada pemisahan atau aturan secara khusus tentang kejahatan
dan pelanggaran sebagaimana yang terdapat dalam Hukum Pidana Positif. Kejahatan
dalam Hukum Pidana Islam disebut dengan Jarimah (Perbuatan Pidana)
sebagaimana yang telah dijelaskan dalam pokok pembahasan diatas, yang bentuk
perbuatan tidak jauh berbeda dengan Hukum pidana Positif, seperti: Pembunuhan,
pencurian, kesusilaan, kejahatan terhadap kehormatan dan lain-lain sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
A.Djazuli, Prof., Kaidah-kaidah
Fikih. Jakarta: PT. Kencana, 2010.
Gerry Muhammad
Rizky, Kitab Undang-undang Hukum Pidana & Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana. Permata Press, 2007.
“Hukum Pidana Islam”,
diakses dari http://students.sunan-ampel.ac.id,
“Hukum Pidana”, diakses
dari http://catatansipinguin.blogspot.com,
Pipin Syarifin,
SH., Hukum Pidana Di Indonesia. Bandung: PT. Pustaka Setia, 2000.
“Hukum Pidana Islam”,
diakses dari http://rohmadijawi.wordpress.com,
Sulaiman Rasjid, Fiqh
Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2009.
Teguh Prasetyo, Prof.,
Dr., MH., SH., Hukum Pidana. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2011. Cet. Ke 2.
Wikipedia, “Hukum
Pidana”, diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki,
0 komentar: