PERBUDAKAN
TANPA
DISADARI PERBUDAKAN MASIH ADA
Mengingat kembali bagaimana
perbudakan di masa Rasulullah SAW. Ketika perbudakan di depan Rasulullah SAW, penilaian
kasat mata kita Rasulullah SAW mendiamkannya saja masalah perbudakan, sehingga
seolah memperbudak manusia menjadi boleh, tentu saja penilaian itu kurang
tepat. Tidak benar bahwa Rasulullah SAW mendiamkan perbudakan, juga tidak benar
bahwa perbudakan itu dibolehkan oleh agama Islam. Akan tetapi duduk masalahnya
perlu dijelaskan terlebih dahulu.
Pertama, perbudakan sudah ada jauh sebelum adanya agama Islam.
Jauh sebelum nabi Muhammad SAW dilahirkan di Makkah, manusia di berbagai
penjuru peradabannya telah mengenal perbudakan manusia.
Kedua, perbudakan bukan sekedar masalah manusia menindas
manusia, namun perbudakan adalah sebuah sistem hukum, sistem ekonomi dan juga
sistem sosial yang berlaku. Kalau dikatakan 'sistem', berarti terkait dengan
sebuah mata rantai dan keterkaitan dengan banyak hal.
Maka penyelesaian masalah budak itu
bukan dengan teriak-teriak atau kampanye di sana-sini. Penyelesaian masalah
perbudakan manusia itu harus dengan sistem juga.
Karena itu jarang-jarang kita menemukan
kalimat dari beliau SAW yang secara eksplisit menyebutkan keharusan untuk
menghapuskan perbudakan. Walau pun bukan sama sekali tidak ada. Bukankah beliau
bersabda: An-nasu sawasiyatun
ka asnanil mushthi. Manusia itu sejajar seperti sejajarnya gigi pada
sisir?
Bahkan Al-Quran secara tegas
menyebutkan bahwa sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah orang
yang paling taqwa. Yang Rasulullah SAW lakukan bukan sekedar pernyataan atau
kutukan, melainkan tindakan nyata. Tindakan ini bersifat sistematis untuk
secara implemantatif mengakhiri perbudakan.
Ketiga, cara
yang dilakukan itu adalah menutup semua pintu ke arah perbudakan. Kemudian
membuka pintu selebar-lebarnya agar para budak bisa merdeka.
Kenyataan fakta meski sudah sangat
jauh dari masa Rasulullah SAW praktek perbudakan menjadi kasus boming di masa
sekarang. Dengan dalih mendesaknya kebutuhan ekonomi, seseorang dapat melakukan
apa saja untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Pengusaha yang tau dengan keadaan
itu memberi peluang untuk mengefektifkan dan mengefesienkan perusahaannya
dengan menggunakan sumber daya manusia yang pada akhirnya menjadikan sumber daya
manusia tersebut sebagai budak.
Sebagai contoh sebuah
ironi yang sungguh tragis bernama perbudakan terjadi di sebuah pabrik
pengolahan aluminium di Kampung Bayur Opak, RT 03 RW 06, Lebak Wangi, Sepatan
Timur, Kabupaten Tangerang, Banten. Puluhan
buruh yang sebagian masih di bawah umur itu, tidak sepantasnya dipekerjakan
layaknya budak, yakni disekap, diancam, disiksa, dirampas kebebasannya dan
tidak dibayar upah semestinya. UU HAM produk Reformasi telah secara tegas
menentang segala bentuk perbudakan, penyiksaan, perbuatan merendahkan martabat,
dan derajat kemanusiaan. Namun, setelah 14 tahun berlalu, fenomena tersebut
masih terjadi, bahkan di sekitar wilayah Ibukota Jakarta. Informasi
adanya oknum aparat yang terlibat, harus ditindaklanjuti secara tuntas dan
transparan. Kiranya penuntasan masalah ini menjadi pelajaran bagi seluruh pihak
dan menjamin tidak terulangnya kembali praktek perbudakan serupa di tanah air
tercinta.
Untuk itu, proses
penyidikan atas perkara tersebut harus menjadi perhatian pemerintah dan
masyarakat, termasuk para Advokat yang berkomitmen untuk mengawal dan mendorong
proses penyidikan hingga persidangan perkara tersebut bersama-sama dengan elemen
masyarakat lainnya yang peduli terhadap HAM dan penegakan supremasi hukum.
Kiranya keadilan
akan tercipta bagi para korban dengan penghukuman yang setimpal atas perbuatan
pengusaha yang sungguh melampaui batas perikemanusiaan tersebut.
Perusahaan pembuatan kuali di Tanggerang Banten sekali lagi
mengingatkan kita betapa ganasnya praktek perbudakan tersebut. Miris ketika hal
itu terungkap, banyak orang menjadi korban, dengan maksud bekerja tetapi
ternyata bukan pekerjaan yang layak didapat, tetapi justru perbudakan yang
mereka alami.
Jelas miris ketika kita melihat hal tersebut terungkap di
negeri kita. Indonesia sudah merdeka, tetapi tetap saja praktek seperti itu
masih ada, dan yang lebih parahnya adalah itu dilakukan oleh orang-orang
Indonesia sendiri. Sungguh sangat kejam, sampai-sampai presiden pun mengecam
kegiatan tersebut.
0 komentar: