makalah hukum agraria

BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG MASALAH Negara Republik Indonesia yang susunan kehidupan rakyatnya termasuk perekonomianya masih bercorak agraria, sehingga tanah merupakan bagian dari kehidupan manusia yang sangat penting karena seluruh aktifitas kehidupan manusia tergantung pada tanah. Dalam rangka memakmurkan rakyat secara adil dan merata sebagai bagian dari tujuan pembangunan nasional, harus dilaksanakan melalui berbagai bidang, sehingga tercipta sebuah keadaan bahwa melalui penguasaan dan pengunaan tanah yang tersedia, rakyat dapat memenuhi semua kebutuhan dengan memuaskan. Sebagai Negara tropis yang sebagian besar rakyatnya bekerja sebagai petani, sudah tentu tanah merupakan hal yang sangat penting. Untuk itu pengaturan-pengaturan penggunaan tanah harus dibuat secara baik dan teratur agar bermanfaat untuk negara dan rakyat. Masalah tanah tak akan ada habisnya, karena tanah merupakan hal yang sangat dibutuhkan semua lapisan masyarakat, tidak hanya petani, namun orang umum pun sangat butuh tanah untuk tinggal di suatu tempat. Tanah merupakan sumber daya alam yang di karuniai oleh tuhan YME untuk manusia maka dari itu kita wajib untuk menjaga dan membuat bagaimana tanah itu menjadi bermanfaat untuk memakmurkan kita semua, bahkan dalam Undang – Undang No. 5 Tahun 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok–Pokok Agraria yang biasa disebut Undang–Undang Pokok Agraria (UUPA). Mengisyaratkan bahwa tanah itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negarasebagai organisasi seluruh rakyat. Secara konstitusional, UUD 1945 dalam Pasal 33 Ayat (3) menyatakan bahwa: ”Bumi, Air, Ruang Angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar–besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Ketentuan undang-undang dasar tersebut, dapat kita pahami bahwa kemakmuran rakyatlah tujuan utama Negara dalam memanfaatkan bumi, air, ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Rakyat menjadi objek utama demi kesejahteraan semua, pembentukan Undang–Undang Pokok Agraria (UUPA) itulah yang menjadi alasan utama, untuk menjalankan perintah undang-undang dasar. Dengan mulai berlakunya Undang–Undang Pokok Agraria (UUPA) terjadi perubahan fundamental pada hukum Agraria di Indonesia, terutama hukum di bidang pertanahan, yang kita sebut hukum tanah, yang dikalangan pemerintah dan umum juga dikenal sebagai hukum agrarian. Peraturan yang di unifikasi inilah menjadi penting untuk dibahas, ketika kita melihat sejarah pembentukannya. Sejauh mana undang-undang ini telah memberikan kepastian hukum dan memakmurkan rakyat yang lebih kurang sudah berjalan selama 51 tahun ini, dan bagaimana pengaturan tentang agraria sebelum terbentuknya Undang–Undang Pokok Agraria (UUPA) ini. I.2. RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana latar belakang lahirnya dan tujuannya UU No 5 Tahun 1960 ? 2. Bagaimana hal-hal yang penting dalam UU No 5 Tahun 1960 ? 3. Bagaimana hak-hak atas tanah menurut UU No 5 Tahun 1960 ? 4. Bagaimana hak atas tanah sebelum UUPA ? 5. Bagaimana dengan ketentuan konversi ? I.3. TUJUAN DAN MANFAAT 1. Untuk mengetahui bagaimana latar belakang lahirnya dan tujuannya UU No 5 Tahun 1960. 2. Untuk mengetahui bagaimana hal-hal yang penting dalam UU No 5 Tahun 1960. 3. Untuk mengetahui bagaimana hak-hak atas tanah menurut UU No 5 Tahun 1960. 4. Untuk mengetahui bagaimana hak atas tanah sebelum UUPA. 5. Untuk mengetahui bagaimana ketentuan konversi. BAB II PEMBAHASAN II.1. LATAR BELAKANG LAHIRNYA DAN TUJUANNYA UU NO 5 TAHUN 1960 Latar belakang lahirnya UU No 5 Tahun 1960 adalah pada intinya sebagai berikut : 1) Peran hukum agraria yang lama disusun berdasarkan kepentingan penjajah. 2) Hukum agraria lama bersifat feodal. 3) Hukum agraria lama bersifat dualistis/dualisme. 4) Hukum agraria lama tidak menjamin kepastian hukum. Sejarah lahirnya UU No 5 Tahun 1960 Proses penyusunan rancangan UUPA dilakukan oleh panitia-panitia yang berganti-ganti 5 kali selama kurang lebih 12 tahun panitia rancangan, yaitu Panitia Agraria Yogyakarta, Panitia Agraria Jakarta, Panitia Soewahjo, Rancangan Soenaryo dan Rancangan Sadjarwo. Secara garis besar hasil pekerjaan panitia-panitia itu sebagai berikut: A. Panitia Agraria Yogyakarta Usaha yang dilakukan untuk membentuk rancangan hukum nasional, agar terhapusnya hukum colonial belanda, yaitu berdasarkan Penetapan Presiden RI No. 16 Tahun 1948 tanggal 21 Mei 1948 dibentuklah Panitia Agraria Yogyakarta, yang mengusulkan : (1) Meniadakan asas domein dan hak ulayat, yaitu hak masyarakat hukum adat. (2) Mengadakan peraturan mengenai hak perseorangan yang kuat, yaitu hak milik atas tanah. (3) Mengadakan study perbandingan ke negara tetangga sebelum menetukan apakah orang asing dapat pula mempunyai hak milik atas tanah. (4) Mengadakan penetapan luas minimum pemilik tanah agar para petani kecil dapat hidup layak, untuk pulau Jawa diusulkan 2 (dua) hektar. (5) Mengadakan penetapan luas maksimum pemilikan tanah dengan tidak memandang jenis tanahnya, untuk Pulau Jawa diusulkan 10 (sepuluh) hektar. (6) Menganjurkan menerima skema hak-hak atas tanah yang diusulkan oleh Panitia ini oleh Sarimin Reksodiharjo. (7) Mengadakan pendaftaran tanah milik. 2. Panitia Agraria Jakarta Hingga tahun 1951 Panitia Agraria Yogyakarta belum dapat menyelesaikan tugasnya karena terjadi perubahan bentuk pemerintah dari RIS ke Negara Kesatuan RI. Setelah pusat pemerintahan Yogyakarta pindah ke jakarta, disebut Panitia Agraria Jakarta, maka Panitia Agraria Yogyakarta dibubarkan dan dibentuk Panitia baru yang berkedudukan di Jakarta, disebut Panitia Agraria Jakarta. Panitia ini diketuai oleh Sarimini Reksodihardjo. Dalam laporannya kepada pemerintah mengenai tanah pertanian, panitia ini mengusulkan: (1). Mengadakan batas minimum pemilikan tanah, yaitu 2 (dua) hektar. (2). Menentuukan batas maksimum pemilikan tanah, yaitu 25 (dua puluh lima) hektar untuk satu kelarga. (3) Yang dapat memiliki tanah pertanian hanya warga negara Indonesia, sedangkan badan hukum tidak diperkenankan. (4) Untuk pertanian kecil diterima bangunan-bangunan hukum (5) Hak ulayat disetujui untuk diatur 3. Panitia Soewahjo Karena panitia Agraria Jakarta tidak dapat menyelesaikann penysunan rancangan UUPA Nasional dalam waktu singkat, maka dengan Keputusan Presiden No. 1 Tahun 1956 tanggal 14 Januari 1956 Panitia Agraria Jakarta dibubarkan dan dibentuk panitia Negara Urusan Agraria yang diketuai oleh Soewahajo Sumudilogo. Panitia ini berkedudukan di Jakarta. Dalam waktu satu tahun, tepatnya tanggal 1 januari 1957 Panitia ini telah merampungkan penyusunan rancangan UUPA. Karena tugasnya telah selesai, maka dengan Keputusan Presiden No. 97 Tahun 1958 tanggal 6 Mei 1958 Panitia ini dibubarkan. 4. Rancangan Soenarjo Setelah diadakan perubahan sistematika dan rumusan beberapa Pasal, Rancangan Panitia Soewahjo diajukan oleh Menteri Soenarjo ke Dewan Perwakilan Rakyat. Untuk membahas rancangan tersebut, DPR perlu mengumpulkan bahan-bahan yang lebih lengkap. Untuk itu, DPR mintah kepada Universitas Gajhah Mada Yogyakarta untuk menyumbangkan pikirannya mengenai rancangan UUPA. Setelah menerima bahan dari Universitas Gajhah Mada, dibentuklah Panitia Kerja ((Ad Hoc) yang terdiri dari : Ketua merangkap anggota : A. M. Tambunan Wakil Ketua Merangkap anggota : Mr. Memet Tanumidjaja Anggota-anggota : Notosoekardjo, Dr. Sahar glr Sutan Besar, K.H. Muslich, Soepeno adisiwojo, I. J. Kasimo. Selain dari Universitas Gajhah Mada, bahan-bahan diperoleh juga dari Mahkamah Agung RI ayang diketuai oleh Mr. Wirjono Prodjodikoro. 5. Rancangan Sadjarwo Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 diberlakukan kembali UUD 1945. Karena rancangan Soenarjo disusun berdasarkan UUDS 1950, maka pada tanggal 23 Maret 1960 rancangan terbut ditarik kembali. Dalam rangka menyesuiakan rancangan UUPA dengan UUD 1945, perlu diminta saran dari Universitas Gajhah Mada. Untuk itu, pada tanggal 29 Desember 1959, Menteri Agraria Mr. Sadjarwo berserta stafnya Singgih Praptodihardjo, Mr. Boedi Harsono, Mr. Soemitro pergi ke Yogyakarta untuk berbicara dengan pihak Universitas Gajhah Mada yang diwakili oleh Prof. Mr. Drs. Notonagoro dan Drs. Iman Sutignyo. Setelah selesai penyesuaian dengan UUD 1945 dan penyempurnaanya maka rancangan UUPA diajukan kepada DPRGR. Pada hari Sabtu tanggal 24 september 1960 rancangan UUPA disetujui oleh DPRGR dan kemudian disahkan oleh Presiden RI menjadi UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yang lazim disebut Undang-undang Pokok. Tujuan UU No 5 Tahun 1960 Salah satu hasil karya anak bangsa terbaik, paling monumental, sekaligus revolusioner, yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang selanjutnya disebut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) merupakan Undang-Undang yang pertama kalinya memperkenalkan konsep Hak Menguasai Negara. Perumusan pasal 33 dalam UUD 1945: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Dari sinilah mulanya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) terbentuk, ada perintah Undang-Undang Dasar yang menyebutkan “dikuasai Negara”, tetapi UUD 45 tidak merumuskan secara khusus hak mengusai yang bagaimana. Maka Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) merumuskan apa konsep “dikuasai Negara” di UUD 45 tersebut. Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) selain merumuskan konsep hak menguasai juga menegaskan dan menjelaskan lebih rinci tentang maksud memakmurkan rakyat dalam UUD 45, memberikan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum bagi seluruh rakyat Indonesia yang di tuangkan dalam konsideran Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Dalam Penjelasan Umumnya, dinyatakan dengan jelas bahwa tujuan diberlakukannya UUPA adalah: a. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur; b. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan; c. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya. Salah satu konsep penting juga didalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) adalah Hak Menguasai Negara dan fungsi sosial hak atas tanah. Bahwa selain mengkonsep perintah Pasal 33 ayat 3 UUD 45, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) juga mengeksplorasi fungsi sosial yang secara umum dirumuskan sebagai berikut : (a) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa; (b) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; (c) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Dengan lahirnya UU No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA tersebut kebijakan-kebijakan pertanahan di era pemerintahan kolonial belanda mulai ditinggalkan. Undang-undang yang disusun di era pemerintahan Presiden Soekarno ini menggantikan Agrarische Wet 1870 yang terkenal dengan prinsip domein verklaringnya (semua tanah jajahan yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya berdasarkan pembuktian hukum barat, maka tanah tersebut dinyatakan sebagai tanah milik negara/ milik penjajah belanda). Agrariche Wet adalah peraturan pertanahan yang dikeluarkan oleh pemerintahan belanda seperti Eigendom recht, erfacht recht, postal recht dan lain-lain peraturan yang kesemuanya bertujuan untuk lebih menguatkan bangunan hukum pada masa itu, sehingga jelas perbedaan antara hak-hak atas tanah yang berdasarkan hukum adat dan dilain pihak berdasarkan hukum barat. Artinya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dibentuk dalam rangka melakukan perubahan, pembaharuan, dan terpenting adalah supremasi hukum. Agar hak-hak rakyat lebih terjamin dan seperti yang dijelaskan dalam perintah UUD 45 untuk semata-mata kemakmuran rakyat bagi seluruh rakyat Indonesia. II.2. HAL-HAL YANG PENTING DALAM UU NO 5 TAHUN 1960 Tujuan dalam UU No 5 Tahun 1960 1. Dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional (menjadikan kesatuan, menjadikan hukum adat) 2. Kesederhanaan hukum agraria (huk.adat) 3. Kepastian hukum pasal 19 UUPA (hak atas tanah harus didaftarkan) 4. Mencabut beberapa aturan a) dicabut secara tegas (agraris besluit, domein, buku II BW kecuali hipotik) b) dicabut secara tidak tegas (termasuk seluruh peraturan yg bertentangan "larangan pengasingan/dipindahkan tanah") Prinsip-prinsip yang dianut UU No 5 Tahun 1960 1. Asas kesatuan 2. Asas ketuhanan 3. Negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi - mengatur dan menyelenggarakan peruntukan penggunaan pemeliharaan BARA - menentukan dan mengatur hubungan-hubungan antara orang-orang dengan badan hukum - menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dengan perbuatan yangg berhubungan dengan badan hukum 4. Dipertahankannya hak ulayat 5. Adanya macam-macam hak atas permukaan bumi 6. Adanya wewenang kepada pemegang hak untuk menggunakan tanahnya supaya berhubungan langsung 7. Prinsif landreform 8. Fungsi sosial (pemegang hak tidak boleh bertentangan dengan kepentingan hukum) 9. RUTR (rencana umum tata ruang) 10. Pendaftaran tanah 11. Pencabutan hak UU No 20 1960 12. Konversi Hak menguasai negara atas BARA menentukan dan mengatur hak-hak atas BARA sedangkan Domein verjaring hanya menentukna hak menguasai tanah yang hanya ada eigendomnya. II.3. HAK-HAK ATAS TANAH MENURUT UU NO 5 TAHUN 1960 Pengertian Hak Atas Tanah Menurut UUPA Pada pasal 33 ayat (1) UUD 1945, dikatakan bahwa : “bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara”. Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Hak menguasai dari Negara termaksud dalam UUPA (pasal 1 ayat 2) memberi wewenang kepada negara untuk : a) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan memeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; c) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum (UUPA, pasal 4 ayat 1). Pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi. Jenis jenis Hak Atas Tanah 1. Hak Milik 2. Hak Guna Usaha 3. Hak Pakai 4. Hak Sewa 5. Hak Membuka Tanah 6. Hak Memungut Hasil Hutan 1. Hak Milik • Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. • Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. • Hanya warganegara Indonesia dapat mempunyai hak milik. • Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya (bank Negara, perkumpulan koperasi pertanian, badan keagamaan dan badan social) • Terjadinya hak milik, karena hukum adat dan Penetapan Pemerintah, serta karena ketentuan undang-undang • Hak milik, setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak lain, harus didaftarkan di Kantor Pertanahan setempat. Pendaftaran dimaksud merupakan pembuktian yang kuat. 2. Hak Guna Usaha • Adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan dengan jangka waktu 35 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 25 tahun. Sesudah jangka waktu dan perpanjangannya berakhir ke pemegang hak dapat diberikan pembaharuan Hak Guna Usaha di atas tanah yang sama. • Diberikan paling sedikit luasnya 5 hektar, jika lebih dari 25 hektar harus dikelola dengan investasi modal yang layak dnegan teknik perusahaan yang baik sesuai dengan perkembangan zaman. • Hak guna usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. • Hak Guna Usaha dapat dipunyai warga negara Indonesia, dan Badan Hukum yang didirikan berdasarkan Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. • Tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Usaha adalah Tanah Negara. • Hak Guna Usaha terjadi karena penetapan Pemerintah. • Hak Guna Usaha setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak lain, harus didaftarkan di Kantor Pertanahan setempat. Pendaftaran dimaksud merupakan pembuktian yang kuat. • Hak Guna Usaha dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan. 3. Hak Guna Bangunan • Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, yang dapat berupa tanah Negara, tanah hak pengelolaan, tanah hak milik orang lain dengan jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 20 tahun. Setelah berakhir jangka waktu dan perpanjangannya dapat diberikan pembaharuan baru Hak Guna Bangunan di atas tanah yang sama. • Hak guna bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. • Hak Guna Bangunan dapat dipunyai warga negara Indonesia, dan Badan Hukum yang didirikan berdasarkan Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. • Hak Guna Bangunan terjadi karena penetapan Pemerintah. • Hak Guna Bangunan setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak lain, harus didaftarkan di Kantor Pertanahan setempat. Pendaftaran dimaksud merupakan pembuktian yang kuat. • Hak Guna Bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan. 4. Hak Pakai • Hak akai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memeungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikan atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang. • Hak pakai dapat diberikan : 1. Selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang tertentu; 2. Dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun. 3. Pemberian hak pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan. • Yang dapat mempunyai hak pakai ialah : 1. Warga negara Indonesia 2. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia 3. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia 4. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. • Sepanjang mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara maka hak pakai hanya dapat dialihkan kepada pihak lain dengan izin penjabat yang berwenang. • Hak pakai atas tanah milik hanya dapat dialihkan kepada pihak lai, jika hal itu dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan. 5. Hak Sewa • Seseorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia berhak mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa. • Pembayaran uang sewa dapat dilakukan : 1. Satu kali atau pada tiap-tiap waktu tertentu; 2. Sebelum atau sesudah tanahnya dipergunakan. 3. Perjanjian sewa tanah yang dimaksudkan dalam pasal ini tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan. • Yang dapat menjadi pemegang hak sewa ialah : 1. Warganegara Indonesia; 2. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia; 3. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; 4. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. 6. Hak Membuka Tanah Dan Memungut Hasil Hutan • Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan hanya dapat dipunyai oleh warganegara Indonesia dan diatur dengan Peraturan Pemerintah. • Dengan mempergunakan hak memungut hasil hutan secara sah tidak dengan sendirinya diperoleh hak milik atas tanah itu. Peralihan hak atas tanah dapat terjadi karena 1. Jual beli 2. Tukar menukar 3. Penyertaan dalam modal 4. Hibah 5. Pewarisan Hapusnya Hak Atas Tanah 1. Jangka waktu yang berakhir 2. Dibatalkan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat yang tidak dipenuhi 3. Dilepaskan secara sukarela oleh pemegan haknya sebelum jangka waktunya berakhir 4. Dicabut untuk kepentingan umum 5. Diterlantarkan 6. Tanahnya musnah 7. Beralih ke warganegara asing (khusus Hak Milik) atau badan hukum asing (khusus HGU dan HGB) II.4. HAK ATAS TANAH SEBELUM UUPA Sebelum berlaku UUPA No. 5/1960 ada beberapa ketentuan yang mengatur pertanahan yaitu : a. Ketentuan-ketentuan yang tunduk kepada hukum perdata Barat b. Ketentuan-ketentuan yang tunduk kepada hukum adat (a) Ketentuan-ketentuan yang tunduk kepada hukum perdata Barat. Pada masa Pemerintahan Belanda banyak ada peraturan-peraturan yang mengatur masalah pertanahan di Indonesia seperti: 1. Agrarische Wet / Stb. No. 108 tahun 1870 2. Algemeen Domeinverklaring / Stb. 199a tahun 1875 3. Domeinverklaring / Stb. No. 118 tahun 1870 4. Domeinverklaring untuk Sumatera / Stb. No. 94 f tahun 1874 5. Domeinverklaring untuk keresidenan Manado / Stb. No. 55 tahun 1877 6. Koninlijk Besluit tgl. 16 April 1872 No. 29 / Stb. No. 117 tahun 1870 7. Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam buku II KUH Perdata Indonesia sepanjang mengenai hypotheek. Dengan dibentuknya Undang-Undang Pokok Agraria maka dengan tegas menyatakan bahwa peraturan-peratuan diatas tidak berlaku lagi, karena tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat di Indonesia. (b) Ketentuan-ketentuan yang tunduk kepada hukum adat. Negara Republik Indonesia dari Sabang hingga Maruoke berjejer pulau-pulau yang dihuni berbagai suku, adat istiadat dan beragam agamanya hal ini merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, dengan adanya bermacam-macam suku atau adat istiadat memberikan kepada kita untuk menguasai, mengusahai, atau mengerja lahan yang ada disuatu daerah tertentu, sehingga dengan hasil dari lahan atau tanah tersebut memberikan keteraman bagi masyakarat, namun dengan keanekaragam suku bangsa tersebut akan terlihat dengan berlakunya ketentuan UUPA, yang sama sekali tidak akan membedakan antar suku atau adat istiadat didalam mengusai dan memiliki lahan-lahan tersebut. Dengan demikian akan jelas bagi kita bahwa hukum adat tersebut harus dilhilangkan sifat kedaerahannya dan harus bersifat lebih Nasional. II.5. KETENTUAN KONVERSI Konversi berarti peralihan, perubahan (omzetting)/ dipersamakan dari suatu hak kepada suatu hak lain. Pengertian ini lain dengan pengertian hak konversi. Hak konversi menurut Vorstenlandsche Grondhuurreglement diartikan sebagai suatu hak berdasarkan atas suatu conversiebeschikking, yaitu suatu hak dari seorang landbouwoundernemer atas nikmat dari tanah, buruh, dan air yang diperlukan untuk ondernemingnya. Jadi pengertian konversi dengan hak konversi itu lain. Apabila kita membaca bahwa arti konversi itu adalah perubahan suatu hak tertentu kepada suatu hak lain, jadi ada peralihan atau perubahan dari hak-hak atas tanah tertentu kepada hak-hak atas tanah yang lain. Konversi bisa juga diartikan sebagai perubahan hak lama atas tanah menjadi hak baru menurut Undang-Undang Pokok Agraria. Perlu dijelaskan bahwa “hak lama” disini adalah hak-hak atas tanah sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria, sedangkan hak baru memuat Undang-Undang Pokok Agraria adalah hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA khususnya pasal 16 ayat 1, c.q hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai. Konversi ini sendiri terjadi karena berdasarkan ketentuan-ketentuan konversi UUPA, kecuali mengenai Hak Konsensi dan Hak Sewa untuk perusahaan kebun besar yang menjadi Hak Guna Usaha. Sedangkan konversi ini terdiri dari 3 jenis: 1. Konversi hak atas tanah, berasal dari tanah hak Barat 2. Konversi hak atas tanah, berasal dari tanah bekas hak Indonesia 3. Konversi hak atas tanah, berasal dari tanah bekas Swapraja Berbicara dalam hal konversi, maka yang perlu diketahui adalah: 1. Pengetahuan mengenai hak atas tanah mengenai hak lama, baik hak atas tanah, dengan hak barat ataupun hak tanah adat, maupun tanah swapraja. 2. Pengetahuan peraturan tanah yang lama. 3. Macam-macam hak atas tanah menurut hukum yang baru sebagai dimaksud dalam UUPA, termasuk siapa-siapa saja yang boleh mempunyai hak-hak tersebut, karena ketentuan konversi sangat erat dengan ketentuan subjek hak. 4. Tidak semua hak dapat dikonversi UUPA, misalnya: hak erfpacht untuk pertanian kecil dan hak milik adat. Riwayat Singkat Konversi Dengan diundangkannya UUPA, sebagai dimuat dalam UU no. 5 tahun 1960, tentang Peraturan Dasar-Dasar Pokok Agraria, maka sejak berlakunya UUPA tanggal 24 September 1960 itulah berlaku hak-hak atas tanah sebagaimana ditentukan dalam pasal 16, khususnya hak-hak atas tanah primair, seperti hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai. Pelaksanaan dari konversi tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Agraria (PMA) no. 2 tahun 1960 tanggal 10 Oktober 1960 tentang pelaksanaan beberapa ketentuan UUPA bersambung PMA no. 5 tahun 1960 tanggal 24 Desember 1960, tentang penambahan PMA no. 2 tahun 1960. Sedangkan hak-hak atas tanah asal konversi hak barat akan berakhir selambat-lambatnya pada tanggal 24 September 1980. Maka untuk penyelesaian hak tanah dimaksud diatur kembali dengan Kepres no. 32 tahun 1979 tentang pokok-pokok kebijaksanaan dalam rangka pemberian hak baru atas tanah. Asal konversi hak-hak barat dan pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri no. 3 tahun 1979 tanggal 27 Agustus 1979 tentang ketentuan mengenai permohonan dan pemberian hak barat atas tanah asal konversi hak-hak barat. Khusus terhadap tanah-tanah bekas hak Indonesia, yaitu tanah yang tunduk dengan hukum adat yang sifatnya turun temurun seperti Inlandsch Bezit, Yasan, Andarbeni, Pesini, Grant Sultan dan sebagainya yang pemiliknya pada saat berlakunya UUPA adalah WNI, dikonversi menjadi hak milik. Konversi Hak Atas Tanah Bekas Hak Barat Jenis hak atas tanah berasal bekas hak barat: 1. Hak Eigendom a. Pengertian hak eigendom Hak eigendom adalah hak untuk membuat suatu barang secara leluasa dan untuk berbuat terhadap barang itu secara bebas sepenuhnya, asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh kuasa yang berwenang dan asal tidak mengganggu hak-hak orang lain. b. Konversi hak eigendom Mengenai konversinya, hak eigendom dapat diatur sebagai berikut: 1) Hak milik “Apabila hak eigendom atas tanah yang ada sejak berlakunya Undang-undang Pokok Agraria menjadi hak milik setelah memenuhi syarat sebagaimana tersebut dalam pasal 21” 2) Hak guna bangunan “Apabila hak eigendom itu kepunyaan orang asing, seorang warga NEGARA yang disamping kewarganegaraannya asing dan badan hukum yang tidak ditunjuk oleh pemerintah sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 21 ayat 2, sejak berlakunya Undang-undang ini menjadi Hak Guna Bangunan tersebut dalam pasal 35 ayat 1 dengan jangka waktu 20 tahun” 3) Hak Pakai “Apabila hak eigendom itu kepunyaan negeri asing yang dipergunakan untuk keperluan rumah kediaman, Kepala perwakilan dan Gedung Kedutaan sejak mulai berlakunya undang-undang ini menjadi hak pakai tersebut dalam pasal 41 ayat 1 yang akan berlangsung selama tanahnya yang dipergunakan untuk keperluan di atas” 4) Tidak dikonversi/ dihapus “Apabila hak eigendom tersebut dalam ayat 3 pasal 1 ini, dibebani dengan hak opstal atau hak erfpacht, maka hubungan antara yang mempunyai hak eigendom tersebut dan pemegang hak opstal atau hak erfpacht selanjutnya diselesaikan menurut pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Agraria” 2. Hak Opstal a. Pengertian hak opstal Hak opstal adalah suatu hak kebendaan untuk memiliki bangunan dan tanaman-tanaman di atas sebidang tanah orang lain. b. Konversi hak opstal Pasal 1 Indonesia ketentuan konversi UUPA menentukan “Hak opstal dan hak erfpacht untuk perumahan yang ada pada pada mulai berlakunya UUPA, sejak saat tersebut menjadi hak guna bangunan tersebut dalam pasal 35 ayat 1, yang berlangsung selama sisa waktu hak opstal dan erfpacht tersebut, tetapi selama-lamanya 20 tahun” Dengan demikian maka hak opstal itu dikonversi munjadi hak guna bangunan menurut pasal 35 ayat 1 UUPA dalam jangka waktu sisa waktu dari hak opstal sejak tanggal 24 September tersebut, dengan ketentuan maksimum 20 tahun hak opstal yang sudah habis waktunya pada tanggal 24 September 1960 tidak dikonversi. Jadi dengan demikian, maka bekas yang punya hak opstal dapat mengajukan permohonan hak baru. 3. Hak Erfpacht a. Pengertian hak erfpacht Hak erfpacht adalah hak untuk memetik kenikmatan seluas-luasnya dari tanah milik orang lain, mengusahakan untuk waktu yang sangat lama. b. Hak erfpacht untuk perusahaan kebun besar 1) Konversi hak erfpacht untuk perusahaan kebun besar 2) Pelaksanaan konversi bekas hak barat c.2 hak erfpacht untuk perusahaan kebun besar c. Hak erfpacht yang sudah habis waktunya Pasal 15 ayat 2 PMA No. 2 /1960, menentukan: “Hak erfpacht termaksud dalam ayat 1 pasal ini yang sudah habis waktunya dikonversi menjadi hak pakai yang berlaku sementara sampai ada keputusan yang pasti” d. Hak erfpacht untuk pertanian kecil 1) Konversi hak erfpacht untuk pertanian kecil 2) Pelaksanaan konversi hak erfpacht untuk pertanian kecil e. Hak erfpacht untuk perumahan 1) Konversi Hak erfpacht untuk perumahan pasal V UUPA menentukan: “Hak opstal dan hak erfpacht untuk perumahan yang ada pada mulai berlakunya UU ini sejak saat itu menjadi hak guna bangunan tersebut dalam pasal 35 ayat 1 yang berlangsung selama sisa waktu hak opstal dan hak erfpacht tersebut, tetapi selama-lamanya 20 tahun” 2) Pelaksanaan konversi hak erfpacht untuk perumahan 4. Hak Gebruik a. Pengertian hak gebruik Hak gebruik adalah suatu hak kebendaan atas benda orang lain bagi seseorang tertentu untuk mengambil benda sendiri dan memakai apabila ada hasilnya sekedar buat keperluannya sendiri beserta keluarganya. b. Konversi hak gebruik (Pasal VI UUPA) Hak-hak gebruik sejak berlakunya UUPA tanggal 24 September 1960 sesuai dengan pasal VI ketentuan konversi UUPA dikonversi menjadi hak pakai, sebagaimana dimaksud pasal 41 ayat 1 UUPA. 5. Bruikleen a. Pengertian bruikleen Bruikleen adalah suatu perjanjian dalam mana pihak yang satu menyerahkan benda dengan cuma-cuma ke pihak lain untuk dipakainya dengan kewajiban bagi yang meminjam setelah benda itu terpakai untuk mengembalikan dalam waktu tertentu. b. Konversi bruikleen Konversi VI ketentuan konversi UUPA menentukan: “Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam pasal 41 ayat 1, seperti yang disebut dengan nama sebagai dibawah yang ada pada mulai berlakunya UU ini, yaitu hak Vruchtgebruik, genggam bauntuik, anggaduh, bengkak, lungguh, pituwas dan hak-hak lain dengan nama apapun juga”. Konversi Hak Atas Tanah Bekas Hak-Hak Indonesia Jenis hak-hak atas tanah berasal dari tanah bekas hak-hak Indonesia: 1. Hak Erfpacht yang altijddurend (Altyddurende Eefpacht) a. Pengertian hak Erfpacht yang altijddurend Yang dimaksud dengan hak erfacht yang altijddrurend adalah hak erfacht yang diberikan sebagai pengganti hak usaha di atas bekas tanah partikulir menurut S.1913 – 702. (pasal 14 PMA No. 2/1960) b. Konversi hak Erfpacht yang altijddurend Untuk diketahui bahwa sebenarnya hak erfpacht yang altijddurend adalah merupakan hak Indonesia. Tanahnya bisa berupa tanah bangunan, tapi juga bisa berupa tanah pertanian. Altyddurende Eefpacht ini seperti hak-hak Indonesia lainnya yang sejenis hak milik adat diatur dalam pasal II ketentuan-ketentuan konversi UUPA, dan dikonversi sebagai berikut: 1) Hak milik (Pasal II ayat 1 UUPA) 2) Hak guna usaha (Pasal II ayat 2 UUPA) 3) Hak guna bangunan 2. Hak Agrarische Kegindom a. Pengertian hak Agrarische Kegindom Adalah suatu hak buatan semasa Pemerintah Hindia Belanda dengan maksud memberikan kepada orang-orang Indonesia/pribumi suatu hak baru yang kuat atas sebidang tanah. b. Konversi hak Agrarische Kegindom Seperti halnya hak erfpacht yang alsijdurend maka hak agrarische kigendom merupakan hak Indonesia yang tanahnya bisa berupa tanah bangunan tetapi juga berupa tanah pertanian. Hak Agrarische Kegindom ini seperti hak-hak Indonesia lainnya, yang sejenis hak milik, diatur dalam pasal II ketentuan-ketentuan konversi UUPA dapat dikonversi sebagai berikut: 1) Hak milik (pasal II ayat I UUPA) 2) Hak Guna Usaha (Pasal II ayat 2 UUPA) 3) Hak Guna bangunan 3. Hak Gogolan a. Pengertian hak gogolan Hak gogolan adalah hak seorang gogol atas apa yang dalam perundang-undangan agraria dealam zaman Hindia Belanda dahulu, disebut komunal desa. Hak golongan ini sering disebut Hak Sanggao atau hak pekulen. b. Jenis hak gogolan Ada 2 jenis hak gogolan, yaitu: 1) Hak gogolan yang bersifat tetap. Hak gogolan bersifat tetap adalah hak gogolan, apabila para gogol tersebut terus menerus memunyai tanah gogolan yang sama dan apabila si gogol itu meninggal dunia, dapat diwariskan tertentu. 2) Hak gogolan yang bersifat tidak tetap. Hak gogolan yang bersifat tidak tetap adalah hak gogolan, apabila para gogol tersebut tidak terus menerus memegang tanah gogolan yang sama atau apabila si gogol itu meninggal dunia, maka tanah gogolan tersebut kembali pada desa. Konversi Hak Atas Tanah Bekas Hak Swapraja a. Pengertian hak atas tanah bekas hak Swapraja Yang dimaksud dengan daerah-daerah Swapraja yang semasa zaman Hindia Belanda dahulu adalah daerah raja-raja atau zelfbestuurende Landschappen. Istilah swapraja dipakai dalam: • UUD 1945, pasal 18 • UUDS 1950, pasal 132 • UU no. 22 tahun 1948, disebut daerah istimewa b. Jenis-jenis hak tanah berasal dari tanah bekas hak Swapraja 1. Hak Hanggaduh a. Pengertian hak hanggaduh Yang dimaksud dengan hak hanggaduh ialah hak untuk memakai tanah kepunyaan raja. Menurut pernyataan ini, maka semua tanah Yogyakarta adalah kepunyaan raja, sedang rakyat hanya menggaduh saja. b. Konversi hak hanggaduh Dijelaskan dalam pasal VI ketentuan konversi UUPA 2. Hak Grant a. Pengertian hak grant Hak grant adalah hak atas tanah atas pemberian raja-raja kepada bangsa asing. b. Jenis-jenis hak grant: 1) Grant sultan Hak Grant sultan adalah merupakan hak untuk mengusahakan tanah yang diberikan oleh sultan kepada para kaula swapraja. Hak grant sultan ini didaftar di kantor pejabat pamong praja. 2) Grant controleur Hak grant controleur ini diberikan oleh sultan kepada para bukan kaula swapraja. Hak dimaksud disebut controleur, karena pendaftarannya dilakukan di kantor controleur. Hak ini banyak diubah menjadi hak opstal dan hak erfpacht. 3) Grant Deli maatschappy Hak grant deli maatschappy ini diberikan sultan kepada Deli maatschappy. Kepada Deli maatschappy diberi wewenang untuk memberikan bagian bagian-bagian tanah grant kepada pihak ketiga/lain. 3. Hak konsensi dan sewa untuk Perusahaan Kebun Besar a. Pengertian hak konsensi dan sewa untuk perusahaan kebun besar Hak konsensi untuk perusahaan kebun besar adalah hak untuk mengusahakan tanah swapraja yang diberikan oleh kepala swapraja yang bentuknya sebagai yang ditetapkan dalam misal: Byblad 3381, 4350, 4770, 5707. Hak konsensi ini tidak dapat dihipotekkan. Hak sewa untuk perusahaan kebun besar adalah hak sewa atas tanah negara, termasuk tanah bekas swapraja untuk dipergunakan perkebunan yang luasnya 25 Ha, atau lebih, sesuatu dengan batas yang ditentukan dalam pasal 28 ayat 2 UUPA. b. Konversi hak konsensi dan sewa untuk perusahaan kebun besar Pasal IV ketentuan-ketentuan konversi UUPA menentukan: Ayat 1: Pemegang concessie dan sewa untuk perusahaan kebun besar dalam jangka waktu setahun sejak mulai berlakunya undang-undang ini, harus mengajukan permintaan menteri agraria, agar haknya diubah menjadi hak guna usaha. BAB III PENUTUP III. 1. KESIMPULAN 1. Latar belakang lahirnya UU No 5 Tahun 1960 adalah pada intinya sebagai berikut : 1) Peran hukum agraria yang lama disusun berdasarkan kepentingan penjajah. 2) Hukum agraria lama bersifat feodal. 3) Hukum agraria lama bersifat dualistis/dualisme. 4) Hukum agraria lama tidak menjamin kepastian hukum. Tujuan dalam UU No 5 Tahun 1960 5. Dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional (menjadikan kesatuan, menjadikan hukum adat) 6. Kesederhanaan hukum agraria (huk.adat) 7. Kepastian hukum pasal 19 UUPA (hak atas tanah harus didaftarkan) 8. Mencabut beberapa aturan c) dicabut secara tegas (agraris besluit, domein, buku II BW kecuali hipotik) d) dicabut secara tidak tegas (termasuk seluruh peraturan yg bertentangan "larangan pengasingan/dipindahkan tanah") 2. Prinsip-prinsip yang dianut UU No 5 Tahun 1960 : 1. Asas kesatuan 2. Asas ketuhanan 3. Negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi - mengatur dan menyelenggarakan peruntukan penggunaan pemeliharaan BARA - menentukan dan mengatur hubungan-hubungan antara orang-orang dengan badan hukum - menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dengan perbuatan yangg berhubungan dengan badan hukum 4. Dipertahankannya hak ulayat 5. Adanya macam-macam hak atas permukaan bumi 6. Adanya wewenang kepada pemegang hak untuk menggunakan tanahnya supaya berhubungan langsung 7. Prinsif landreform 8. Fungsi sosial (pemegang hak tidak boleh bertentangan dengan kepentingan hukum) 9. RUTR (rencana umum tata ruang) 10. Pendaftaran tanah 11. Pencabutan hak UU No 20 1960 12. Konversi 3. Jenis jenis Hak Atas Tanah 1. Hak Milik 2. Hak Guna Usaha 3. Hak Pakai 4. Hak Sewa 5. Hak Membuka Tanah 6. Hak Memungut Hasil Hutan 4. Sebelum berlaku UUPA No. 5/1960 ada beberapa ketentuan yang mengatur pertanahan yaitu : a. Ketentuan-ketentuan yang tunduk kepada hukum perdata Barat b. Ketentuan-ketentuan yang tunduk kepada hukum adat 5. Dengan diundangkannya UUPA, sebagai dimuat dalam UU no. 5 tahun 1960, tentang Peraturan Dasar-Dasar Pokok Agraria, maka sejak berlakunya UUPA tanggal 24 September 1960 itulah berlaku hak-hak atas tanah sebagaimana ditentukan dalam pasal 16, khususnya hak-hak atas tanah primair, seperti hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai. Pelaksanaan dari konversi tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Agraria (PMA) no. 2 tahun 1960 tanggal 10 Oktober 1960 tentang pelaksanaan beberapa ketentuan UUPA bersambung PMA no. 5 tahun 1960 tanggal 24 Desember 1960, tentang penambahan PMA no. 2 tahun 1960. Konversi berarti peralihan, perubahan (omzetting) dari suatu hak kepada suatu hak lain. Konversi bisa juga diartikan sebagai perubahan hak lama atas tanah menjadi hak baru menurut Undang-Undang Pokok Agraria. Konversi terdiri dari beberapa jenis diantaranya: a. Konversi hak atas tanah, berasal dari tanah hak Barat b. Konversi hak atas tanah, berasal dari tanah bekas hak Indonesia c. Konversi hak atas tanah, berasal dari tanah bekas Swapraja DAFTAR PUSTAKA Boedi Harsono Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan UUPA Isi dan Pelaksanaanya. 1999. Jakarta: djambatan. Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan UUPA Isi dan Pelaksanaanya 2005. Jakarta: djambatan. Saudargo Gautama, Tafsiran Undang-undang Pokok Agraria ,Alumni, Jakarta 1973. AP.Parlindungan , berbagai aspek Pelaksanaan UUPA, penerbit Alumni Bandung, 1973. Chomzah, Ali Achmad. 2004. Hukum Agraria (Pertanahan) Indonesia, jilid I. Jakarta: Prestasi Pustakaraya. Mustafa, Bachsan. 1988. Hukum Agraria dalam Perspektif. Bandung: Penerbit Remadja Karya CV. Perangin, Effendi. 1994. 401 Pertanyaan dan Jawaban tentang Hukum Agraria. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Soimin, Soedharyo. 1994. Status Hak dan Pembebasan Tanah. Jakarta: Sinar Grafika. ------------------------------------------------------- Undang-Undang No. 5 tahun 1960

1 komentar:

Copyright © 2012 Makalah Luarbiasa (Lubis).