RESUME HUKUM INTERNASIONAL BUKU KARYA MOCHTAR KUSUMAATMADJA

BAB I Pengertian, Batasan dan Istilah Hukum Internasional 1. Hukum Internasional (pengertian dan batasan) Yang dimaksudkan dengan istilah hukum internasional dalam pembahasan ini ialah hukum internasional publik, yang harus kita bedakan dari hukum perdata internasional. Hukum perdata internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintasi negara. Hukum internasional publik adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara (hubungan internasional) yang bukan bersifat perdata. Dari uraian diatas tampak persamaan dan perbedaan antara hukum internasional publik dan hukum perdata internasional. Persamaannya ialah bahwa keduanya mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara (internasional). Perbedaannya terletak dalam sifat hukum hubungan atau persoalan diaturnya (objeknya). Yang jelas ialah bahwa hubungan atau persoalan internasional demikian bukan merupakan persoalan perdata, sehingga bukan pula merupakan hubungan atau persoalan yang diatur hukum perdata internasional. Inilah sebabnya mengapa batasan kita yang negative lebih tepat menggambarkan kenyataan hubungan internasional pada dewasa ini. Memang, ada kalanya batas antara hubungan atau persoalan hukum perdata internasional pub suklar ditarik dengan tegas, sehingga ada sarjana yang mengusulkan agar perbedaan itu dihapuskan dan digunakan saja istilah lain. 2. Istilah Hukum Internasional Selain istilah hukum internasional, orang juga mempergunakan istilah hukum bangsa-bangsa, hukum antarbangsa atau hukum antarnegara untuk lapangan hukum yang sedang dibicarakan. Istilah hukum internasional ini tidak mengandung keberatan, karena perkataan internasional walaupun menurut asal katanya searti dengan antarbangsa sudah lazim dipakai orang untuk segala hal atau peristiwa yang melintasi batas wilayah suatu Negara. Hukum bangsa-bangsa akan dipergunakan untuk menunjukan pada kebiasaan atau aturan (hukum) yang berlaku dalam hubungan antara raja-raja zaman dahulu, ketika hubungan demikian baik karena jarangnya maupun karena sifat hubungannya, belum dapat dikatakan merupakan hubungan antara anggota suatu masyarakat bangsa-bangsa. Hukum antarbangsa atau hukum antarnegara akan digunakan untuk menunjuk pada kompleks kaidah dan asas yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa atau negara-negara yang kita kenal sejak munculnya negara dalam bentuknya yang modern sebagai negara nasional. 3. Bentuk perwujudan khusus Hukum Internasional (Hukum Internasional Regional dan hukum Internasional khusus (special)). Dalam mempelajari hukum internasional, kita akan jumpai beberapa bentuk perwujudan atau pola perkembangan yang khusus berlaku disuatu bagian dunia (region) tertentu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa disamping hukum internasional yang berlaku umum (general) terdapat pula hukum internasional regional, yang terbatas daerah lingkungan berlakunya, seperti apa yang lazim dinamakan hukum internasional amerika atau hukum internasional amerika latin. Adanya berbagai lembaga hukum internasional regional demikian disebabkan oleh keadaan yang khusus terdapat dibagian dunia itu. Walaupun menyimpang, hukum internasional regional itu tidak usah bertentangan dengan hukum internasional yang berlaku umum. bahkan ada kalanya suatu lembaga atau konsep hukum yang mula-mula timbul dan tumbuh sebagai suatu konsep atau lembaga hukum internasional regional, kemudian diterima sebagai bagian dari hukum internasional umum. Dengan demikian hukum internasional regional dapat memberikan sumbangan berharga kepada hukum internasional yang benar-benar universal. Bentuk perwujudan lain dari hukum internasional khusus, selain hukum internasional regional, kita jumpai dalam bentuk kompleks kaidah yang khusus berlaku bagi negara-negara tertentu saja, seperti konvensi eropa mengenai hak-hak asasi manusia. Beberapa bentuk hukum internasional khusus yang telah diterangkan diatas merupakan pencerminan keadaan, kebutuhan, taraf perkembangan dan tingkat integrasi yang berbeda-beda dari bagian masyarakat internasional yang berlainan. Karena itu, ketentuan hukum internasional regional dan hukum internasional khusus ini, walaupun dapat dibedakan dari hukum internasional umum karena memiliki cirri-ciri yang khas, merupakan begian yang tak dapat dipisahkan dari hukum internasional umum. 4. Hukum internasional dan hukum dunia Dalam usaha menjelaskan pengertian hukum internasional, perlu juga kiranya dikemukakan perbedaannya dengan pengertian hukum dunia yang akhir-akhir ini mulai dipergunakan orang. Kedua pengertian ini menunjukan pada konsep mengenai tertib hukum masyarakat dunia yang berlainan pangkal tolaknya. Pengertian hukum internasional didasarkan atas pikiran adanya suatu masyarakat internasional yang terdiri atas sejumlah Negara yang berdaulat dan mereka (independent) dalam arti masing-masing berdiri sendiri yang satu tidak dibawah kekuasaan yang lain. Dengan perkataan lain, hukum internasional merupakan suatu tertib hukum koordinasi antara anggota masyarakat internasional yang sederajat. Anggota masyarakat hukum internasional tunduk pada hukum internasional sebagai suatu tertib hukum yang mereka terima sebagai perangkat kaidah dana asas yang mengikat dalam hubungan antarmereka. Pengertian hukum dunia berpangkal pada dasar pikiran yang lain. Menurut konsep ini yang rupanya banyak dipengaruhi analogi dengan hukum tata negara , hukum dunia merupakan semacam negara dunia yang meliputi semua negara didunia ini. Negara dunia secara hirarki berdiri diatas Negara-negara nasional. Tertib hukum dunia menurut konsep ini merupakan suatu tertib hukum subordinasi. BAB II Masyarakat dan Hukum Internasional 1. Adanya masyarakat internasional sebagai landasan sosiologis hukum internasional a. Adanya suatu masyarakat internasional Karena masyarakat internasional berlainan dari suatu negara dunia merupakan kehidupan bersama dari negara-negara yang merdeka dan sederajat, unsur pertama yang harus dibuktikan ialah adanya sejumlah negara didunia ini. Adanya sejumlah besar negara didunia ini merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah lagi dan jelas bagi setiap orang yang memperhatikan kehidupan sehari-hari. Jumlah negara didunia pada dewasa ini melebihi seratus negara. Akan tetapi, adanya sejumlah besar negara belum berarti adanya suatu masyarakat internasional. Pertama-tama harus dapat pula ditunjukan adanya hubungan yang tetap antara anggota masyarakat internasional, apabila Negara itu masing-masing hidup terpencil satu dari yang lainnya. Adanya hubungan yang tetap dan terus-menerus demikian, juga merupakan kenyataan yang tidak dapat dibantah lagi. Saling membutuhkan antar bangsa-bangsa diberbagai lapangan kehidupan yang mengakibatkan timbulnya hubungan yang tetap dan terus-menerus ab=ntara bangsa-bangsa, mengakibatkan pula timbulnya kepentingan untuk memelihara dan mengatur hubungan demikian. Untuk menertibkan, mengatur dan memelihara hubungan internasional ini dibutuhkan hukum guna menjamin unsur kepastian yang diperlukan dalam setiap hubungan yang teratur. Hubungan antara orang atau kelompok orang yang tergabung dalam ikatan kebangsaan atau kenegaraan yang berlainan itu dapat merupakan hubungan taklangsung atau resmi yang dilakukan oleh para pejabat Negara yang mengadakan berbagai perundingan atas nama Negara dan meresmikan persetujuan yang dicapai dalam perjanjian antarnegara. Disamping hubungan antarnegara yang resmi demikian, orang dapat juga mengadakan hubungan langsung secara perseorangan atau gabungan dilapangan perniagaan, keagamaan, ilmu penegetahuan, olahraga atau perburuhan yang melintasi batas negara. Jadi, yang dinamakan masyarakat internasional itu pada hakikatnya ialah hubungan kehidupan antar manusia. Masyarakat internasional sebenarnya merupakan suatu kompleks kehidupan bersama yang terdiri dari aneka ragam masyarakat yang jalin menjalin dengan erat. b. Asas hukum bersamaan sebagai unsur masyarakat hukum internasional Faktor pengikat yang nonmaterial ialah adanya asas kesamaan hukum antara bangsa-bangsa didunia ini, betapapun berlainan wujudnya hukum positif yang berlaku dimasing-masing negara tanpa adanya suatu masyarakat hukum bangsa-bangsa. Asas pokok hukum yang bersamaan inilah yang dalam ajaran mengenai sumber hukum formal dikenal dengan asas hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab merupakan penjelmaan hukum alami. Adanya hukum alami yang mengharuskan bangsa-bangsa didunia ini hidup berdampingan secara damai dapat dikembalikan pada akal manusia dan naluri untuk mempertahakan jenisnya. 2. Kedaulatan Negara (hakikat dan fungsinya dalam masyarakat internasional ) Hakikat dan fungsi kedaulatan dalam masyarakat internasional perlu dijelaskan mengingat pentingnya peran negara dalam masyarakat dan hukum internasional dewasa ini. Kedaulatan merupakan kata yang sulit karena oaring memberikan arti yang berlainan padanya. Menuru sejarah, asal kata kedaulatan yang dalam bahasa inggris dikenal dengan istilah souvereignity berasla dari bahasa latin superanus berarti teratas. Negara dikatakan berdaulat karena kedaulatan merupakan suatu sifat hakiki negara. Bila dikatakan negara itu berdaulat, dimaksudkan bahwa negara itu mempunyai kekuasaan tertinggi. Pengertian kedaulatan negara sebagai kekuasaan tertinggi inilah yang banyak menimbulkan salah paham. Menurut asal katanya, kedaulatan memang berarti kekuasaan tertinggi. Negara berdaulat memang berarti bahwa negara itu tidak mengakui kekuasaan yang lebih tinggi daripada kekuasaannya sendiri. Dengan perkataan lain, Negara memiliki monopoli kekuasaan, suatu sifat khas organisasi masyarakat dan kenegaraan dewasa ini yang tidak lagi membenarkan orang perseorangan mengambil tindakan sendiri apabila ia dirugikan. Walaupun demikian, kekuasaan tertinggi ini mempunyai batas-batasnya. Ruang berlaku kekuasaan tertinggi ini dibatasi oleh batas wilayah negara itu, artinya suatu negara hanya memiliki kekuasaan tertinggi didalam batas wilayahnya. Bahwa kekuasaan suatu negara terbatas dan bahwa batas itu terdapat dalam kedaulatan negara lain merupakan konsekuensi yang logis dari paham kedaulatan sendiri dan mudah sekali dipahami apabila kita mau memikirkan persoalan ini secara konsekuen. Dilihat secara demikian, paham kedaulatan tidak usah bertentangan dengan adanya suatu masyarakat internasional yang terdiri dari negara-negara yang masing-masing berdiri sendiri. Paham demikian juga tidak akan bertentangan dengan hukum internasional yang mengatur masyarakat itu. 3. Masyarakat internasional dalam peralihan (transition) (perubahan-perubahan dalam peta bumi politik, kemajuan teknologi dan struktur masyarakat internasional). Masyarakat internasional kini sedang mengalami berbagai perubahan yang besar dan pokok, yang perlu kita perhatikan untuk dapat benar-benar memahami hakikat masyarakat internasional. Kita yang melihatnya sebgai proses pertumbuhan susunan masyarakat yang tidak wajar, yaitu suatu masyarakat internasional dimana asas pokok pergaulan internasional belum terwujud kearah suatu masyarakat dimana asas pokok masyarakat dan hukum internasional ini mendapat perwujudannya dalam kenyataan, harus menyambut proses ini sebagai suatu proses yang tak dapat dielakkan. Perubahan terhadap konsep lama bukan sesuatu yang mengkhawatirkan melainkan harus kita lihat sebagai kejadian yang tak dapat dielakkan. Dilihat secara demikian, perubahan penting yang terjadi dalam konsep ilmi hukum yang berkenaan dengan perjanjian, kewajiban negara, nasionalisasi, hukum laut publik, tidak perlu dikhawatirkan. Bahkan, harus dilihat sebagai proses pertumbuhan kearah hukum internasional yang wajar, bebas dari berbagai konsep dan lembaga yang menggambarkan atau merupakan akibat dominasi bangsa-bangsa oleh beberapa bangsa didunia ini. Perkembangan kedua yang mempunyai akibat yang besar sekali terhadap perkembangan masyarakat internasional dan hukum internasional yang mengaturnya ialah kemajuan teknologi. Kemajuan teknik dalam berbagai alat perhubungan menambah mudahnya perhubungan yang melintasi batas negara. Kenajuan teknologi persenjataan menimbulkan berbagai masalah baru dan keharusan meninjau kembali ketentuan mengenai hukum perang. Kemajuan dalam teknologi telah dan sedang mengakibatkan berbagai perubahan besar dalam konsep hukum laut dan timbulnya konsep baru untuk mengikuti perkembangan yang pesat ini. Perkembangan teknologi dan akibatnya mau tidak mau harus diikuti dan dilayani oleh para sarjana ilmu hukum internasional apabila cabang ilmi hukum tidak mau ketinggalan. Berbagai perubahan yang terjadi dalam struktur organisasi masyarakat internasional merupakan golongan ketiga yang tidak kurang pentingnya dari kedua golongan yang telah diuraikan diatas. Perubahan dalam struktur organisasi masyarakat internasional ini sangat penting karena berlainan dengan kedua golongan perubahan yang terlebih dahulu, mempunyai akibat langsung terhadap struktur masyarakat internasional yang didasarkan atas negara yang berdaulat. Perkembangan yang penting dalam golongan ini ialah timbulnya berbagai organisasi atau lembaga internasional yang mempunyai eksistensi terlepas dari negara-negara. Dipihak lain, ada perkembangan yang memberikan kompetensi hukum kepada para individu dalam beberapa hal tertentu. Kedua gejala ini menunjukan bahwa disamping mulai terlaksananya suatu masyarakat internasional dalam arti yang benar dan efektif berdasarkan asas kedaulatan, kemerdekaan dan persamaan derajat antarnegara-negara sehingga dengan demikian terjelma hukum internasional sebagai hukum koordinasi, timbul suatu kompleks kaidah yang lebih memperlihatkan cirri-ciri hukum subordinasi. BAB III Sejarah Hukum Internasional dan Perkembangannya Perdamaian Westphalia dianggap sebagai peristiwa penting dalam sejarah hukum internasional modern. Bahkan, dianggap sebagai suatu peristiwa yang meletakkan dasar masyarakat internasional modern yang didasarkan atas negara-negara nasional. Sebabnya ialah karena dengan Perdamaian Westphalia ini telah tercapai hal sebagai berikut : 1. Selain mengakhiri perang 30 tahun, Perjanjian Westphalia telah meneguhkan perubahan dalam peta bumi politik yang telah terjadi karena perang itu di Eropa; 2. Perjanjian perdamaian itu mengakhiri untuk selama-lamanya usaha Kaisar Romawi yang suci untuk menegakkan kembali Imperium Roma yang suci; 3. Hubungan antar negara-negara dilepaskan dari persoalan hubungan kegerejaan dan didasarkan atas kepentingan nasional negara itu masing-masing dan 4. Kemerdekaan negara Nederland, Swiss dan negara-negara kecil di jerman diakui dalam perjanjian Westphalia itu. Dengan demikian, Perjanjian Westphalia telah meletakkan dasar bagi suatu susunan masyarakat internasional yang baru, baik mengenai bentuknya yaitu didasarkan atas negara-negara nasional maupun mengenai hakikat negara-negara itu dan pemerintahan dan pengaruh gereja. Akan tetapi, keliru sekali kalau kita menganggap Perjanjian Westphalia ini sebagai suatu peristiwa yang mencanangkan suatu zaman baru dalam sejarah masyarakat internasional yang tidak ada hubungannya dengan masa lampau. Apakah ciri madyarakat internasional yang terdapat di Eropa Barat yang dasarnya diletakkan oleh Perjanjian Westphalia itu ? Ciri-ciri pokok yang membedakan organisasi atau susunan masyarakat internasional yang baru ini dari susunan masyarakat Kristen eropa pada zaman abad pertengahan yang didasarkan atas sistem feodalisme adalah sebagai berikut : 1. Negara merupakan satuan territorial yang berdaulat, setiap negara dalam bataswilayahnya mempunyai kekuasaan tertinggi yang eksklusif; 2. Hubungan nasional satu dengan yang lainnya didasarkan atas kemerdekaan dan persamaan; 3. Masyarakat negara-negara tidak mengakui kekuasaan diatas mereka seperti seorang kaisar pada zaman abad pertengahan dan Paus sebagai kepala gereja; 4. Hubungan antara negara-negara berdasarkan atas hukum yang banyak mengambil oper pengertian lembaga hukum perdata hukum Romawi; 5. Negara mengakui adanya hukum internasional sebagai hukum yang mengatur hubungan antara negara-negara, tetapi menekankan peranan yang besar yang dimainkan negara dalam kepatuhan terhadap hukum ini; 6. Tidak adanya mahkamah (internasional) dan kekuatan polisi internasional untuk memaksakan ditaatinya ketentuan hukum internasional; 7. Anggapan terhadap perang yang dengan lunturnya segi-segi keagamaan beralih dari anggapan mengenai doktrin belum justum sebagai ajaran perang suci kearah ajaran yang menganggap perang sebagai salah satu cara penggunaan kekerasan dalam penyelesaian sengketa untuk mencapai tujuan kepentingan nasional. Dasar-dasar yang diletakkan dalam Perjanjian Westphalia diatas diperteguh lagi dalam Perjanjian Utreht, yang penting artinya dilihat dari sudut politik internasional pada waktu itu karena menerima asas keseimbangan kekuatan sebagai asas politik internasional. Kejadian yang penting dilihat dari sudut perkembangan hukum internasional ialah konferensi perdamaian tahun 1856 dan konferensi jenewa tahun 1864, yang memelopori konferensi perdamaian Den Haag tahun 1899 yang sangat penting artinya dalam hukum internasional. Dalam masa yang berakhir dengan diadakannya Konferensi Perdamaian Den Haag tahun 1907 diatas tadi, telah terjadi tiga hal yang penting yang dapat kita anggap sebagai cirri konsolidasi masyarakat internasional yang didasarkan atas negara-negara kebangsaan. Pertama, negara sebagai kesatuan politik territorial yang terutama didasarkan atas kebangsaan telah menjadi kenyataan. Dalam tahap pertama pertumbuhan masyarakat internasional, yaitu sesudah terjadinya perjanjian Westphalia, kekuasaan riil dalam negara masih berada dalam tangan raja. Setelah terjadinya Revolusi Perancis dan berbagai pergolakan yang terjado di Eropa yang mengakibatkan berpindahnya kekuasaan dari tangan raja ketangan rakyat dibanyak negara, negara kebangsaan telah benar-benar jadi negara nasional dalam arti yang sebenar-benarnya dan bukan lagi kerajaan dengan wajah baru. Kedua, ialah diadakannya berbagai konferensi internasional yang dimaksudkan sebagai sebagai konferensi untuk mengadakan perjanjian internasional yang bersifat umum dan meletakkan kaidah hukum yang berlaku secara universal. Ketiga, dibentuknya Mahkamah Internasional Arbitrase Permanen yang merupakan suatu kejadian penting dalam mewujudkan suatu masyarakat internasional. Dengan dibentuknya Mahkamah Arbitrase Permanen ini dihidupkan kembali suatu lembaga penyelesaian pertikaian antara bangsa-bangsa yang telah merupakan suatu lembaga yang ampuh dalam masyarakat bangsa-bangsa pada abad pertengahan. BAB IV Hakikat dan Dasar Berlakunya Hukum Internasional Apabila hakikat hukum internasional tidakperlu diragukan lagi, kembali kita menghadapi pertanyaan : apakah yang menjadi dasar kekuatan mengikat hukum internasional itu ? Mengenai hal ini telah banyak dikemukakan banyak teori, teori yang tertua ialah teori hukum alam. Ajaran hukum alam mempunyai pengaruh yang besar atas hukum internasional sejak permulaan pertumbuhannya. Ajaran ini yang mula-mula mempunyai ciri keagamaan yang kuat, untuk pertama kalinya dilepaskan sari hubungannya dengan keagamaan itu oleh Hugo Grotius. Dalam bentuknya yang telah disekularisir, hukum alam diartikan sebagai hukum ideal yang didasarkan atas hakikat manusia sebagai makhluk yang berakal atau kesatuan kaidah yang diilhamkan alam pada akal manusia. Menurut penganut ajaran hukum alam ini, hukum internasional itu mengikat karena hukum internasional itu tidak lain daripada hukum alam yang diterapkan pada kehidupan masyarakat bangsa-bangsa. Dengan lain perkataan negara itu terikat atau tunduk pada hukum internasional dalam hubungan antara mereka satu sama lain karena hukum internasional itu merupakan bagian dari hukum yang lebih tinggi yaitu hukum alam. Khusus dalam hubungannya dengan hukum internasional, keberatan terhadap kesamaran hukum alam bertambah. Perbedaan subjektif antara isi pengertian hukum alam yang digunakan bertalian dengan kaidah moral dan keadilan tidak seberapa besar apabila ada keseragaman pandangan hidup atau filsafat dari orang-orang yang mengemukakannya. Aliran lain mendasarkan kekuatan mengikat hukum internasional itu atas kehendak negara itu sendiri untuk tunduk pada hukum internasional. Menurut mereka, pada dasarnya negara yang merupakan sumber segala hukum dan hukum internasional itu mengikat karena negara itu atas kemauan sendiri mau tunduk pada hukum internasional.aliran ini yang menyandarkan teori mereka pada falsafah Hegel yang dahulu mempunyai pengaruh yang luas di Jerman. Seorang pengemuka lain dari aliran ini ialah Zorn yang berpendapat bahwa hukum internasional itu tidak lain daripada hukum tata negara yang mengatur hubungan luar suatu negara. Kelemahan teori ini ialah bahwa mereka tidak dapat menerangkan dengan memuaskan bagaimana caranya hukum internasional yang bergantung kepada kehendak negara dapat mengikat negara itu. Bagaimana kalau suatu negara secara sepihak membatalkan niatnya unutk mau terikat oleh hukum itu ? hukum internasional lalu tidak lagi mengikat. Masih patutkah ia dinamakan hukum. Berbagai keberatan tersebut coba diatasi oleh aliran alin dari teori kehendak negara yang hendak menyadarkan kekuatan mengikat hukum internasional pada kemauan bersama. Triepel berusaha membuktikan bahwa hukum internasional itu mengikat bagi negara, bukan karena kehendak mereka satu persatu untuk terikat, melainkan karena adanya suatu kehendak bersama yang lebih tinggi dari kehendak masing-masing negara untuk tunduk pada hukum internasional. Triepel mendasarkan kekuatan mengikat hukum internasional pada kehendak negara, tetapi membantah kemungkinan suatu negara melepaskan dirinya dari ikatan itu dengan suatu tindakan sepihak. Teori-teori yang mendasarkan berlakunya hukum internasional itu pada kehendak negara ini merupakan pencerminan dari teori kedaulatan dan aliran positivism yang menguasai alam pikiran dunia ilmu hukum di benua eropa. Kesukaran teori-teori yang hendak menerangkan hakikat hukum berdasarkan kehendak subjek hukum ialah bahwa dasar pikiran ini tidak bisa diterima. Kehendak manusia saja tidak mungkin merupakan dasar kekuatan hukum yang mengatur kehidupan. Sebab kalau demikian ia bisa melepaskan diri dari kekuatan mengikat hukum dengan menarik kembali persetujuannya untuk tunduk pada hukum itu. Dengan perkataan lain, persetujuan negara untuk tunduk pada hukum internasional menghendaki adanya suatu hukum atau norma sebagai sesuatu yang telah ada terlebih dahulu dan berlaku lepas dari kehendak negara. Bukan kehendak negara melainkan suatu norma hukumlah yang merupakan dasar terakhir kekuatan mengikat hukum internasional. Demikianlah pendirian suatu aliran yang terkenal dengan nama Mazhab Wiena. Menurut mazhab ini kekuatan mengikat suatu kaidah hukum internasional didasarkan suatu kaidah yang lebih tinggi yang pada gilirannya didasarkan pula pada suatu kaidah yang lebih tinggi lagi dan demikian seterusnya. Berlainan dengan teori objektivis yang logis tetapi steril seperti ajaran mazhan=b wiena atau idealistis tetapi serba samar dari golongan hukum alam, ada lagi suatu aliran yang berusaha menerangkan kekuatan mengikat hukum internasional itu tidak dengan teori yang spekulatif dan abstrak melainkan menghubungkannya dengan kenyataan hidup manusia. Mazhab Perancis dengan para pengemukakanya mendasarkan kekuatan mengikat hukum internasional seperti juga segala hukum. Menurut mereka persoalannya dapat dikembalikan pada sifat alami manusia sebagai makhluk sosial, hasratnya untuk bergabung dengan manusia lainnya dan kebutuhannya akan solidaritas. Kebutuhan dan naluri sosial manusia sebagai orang-perseorangan menurut mereka juga dimiliki oleh bangsa-bangsa. Jadi, dasar kekuatan mengikat hukum terdapat dalam kenyataan sosial bahwa mengikatnya hukum itu mutlak perlu untuk dapat terpenuhinya kebutuhan manusia (bangsa) untuk hidup bermasyarakat. BAB V Hubungan Antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional 1. Tempat hukum internasional dalam tata hukum secara keseluruhan Seperti juga banyak persoalan lain, jawaban yang dapat diberikan terhadap persoalan hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional banyak bergantung darimana kita memandang persoalan itu atau dengan perkataan lain bergantung dari sudut pandang si pembahas. Kita mengetahui bahwa dalam teori ada dua pandangan tentang hukum internasional yang pandangan yang dinamakan voluntarisme, yang mendasarkan berlakunya hukum internasional ini pada kemauan negara dan pandangan objektivis yang menganggap ada dan berlakunya hukum internasional ini lepas dari kemauan negara. Pandangan yang berbeda ini membawa akibat yang berbeda pula karena sudut pandangan yang pertama akan mengakibatkan adanya hukum internasional dan hukum nasional sebagai dua satuan seperangkat hukum yang hidup berdampingan dan terpisah, sedangkan pandangan objektivis menganggapnya sebagai dua bagian dari satu kesatuan perangkat hukum. Erat hubungannya dengan apa yang diterangkan tadi ialah persoalan hubungan hirarki antara kedua perangkat hukum itu, baik merupakan dua perangkat hukum yang pada hakikatnya merupakan bagian dari satu keseluruhan hukum yang sama. Menurut paham dualism ini yang bersumber pada teori bahwa daya ikat hukum internasional bersumber pada kemauan negara, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah satu dari yang lainnya. Alasan yang diajukan oleh penganut aliran dualisme bagi pandangan tersebut diatas didasarkan pada alasan formal maupun alasan yang berdasarkan kenyataan. Diantara alasan-alasan yang terpenting dikemukakan hal sebgai berikut : 1. Kedua perangkat hukum tersebut yakni hukum nasional dan hukum internasional mempunyai sumber yang berlainan, hukum nasional bersumber pada kemauan negara dan hukum internasional bersumber pada kemauan bersama masyarakat negara. 2. Kedua perangkathukum itu berlainan subjek hukumnya, subjek hukum dari hukum nasional ialah orang perorangan sedangkan subjek hukum dari hukum internasional ialah negara. 3. Sebagai tata hukum, hukum nasional dan hukum internasional menampakkan pula perbedaan dalm strukturnya. 4. Perbedaan daya laku hukumnya. Paham monisme didasarkan atas pemikiran kesatuan dari seluruh hukum yang mengatur hidup manusia. Akibat pandangan monism ini ialah bahwa antara dua perangkat ketententuan hukum ini mungkin ada hubungan hirarki. Ada pihak yang menganggap bahwa dalam hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional yang utama adalah hukum nasional. Paham ini adalah paham monism dengan primat hukum nasional. Paham yang lain berpendapat bahwa dalam hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional yang utama ialah hukum internasional. Pandangan ini disebut dengan paham monsme dengan primat internasional. Menurut teori monism kedua-duanya mungkin. Pandangan yang melihat kesatuan antara hukum nasional dan hukum internasional dengan primat nasional ini pada hakikatnya menganggap bahwa hukum internasional itu bersumber pada hukum nasional. Alasan utama anggapan ini ialah : a. Bahwa tidak ada satu organisasi diatas negara-negara yang mengatur kehidupan negara-negara didunia ini. b. Dasar hukum internasional yang mengatur hubungan internasional terletak dalam wewenang negara untuk mengadakan perjanjian internasional, jadi wewenang konstitusional. Kelemahan dasar ialah bahwa paham ini terlalu memandang hukum itu sebagai hukum yang tertulis semata-mata sehingga sebagai hukum internasional dianggap hanya hukum yang bersumberkan perjanjian internasional, suatu hal sebagaimana diketahui tidak benar. Kelemahan kedua ialah bahwa pada hakikatnya pendirian paham monisme dengan primat hukum nasional ini merupakan penyangkalan terhadap adanya hukum internasional yang mengikat negara. 2. Primat hukum internasional menurut praktik internasional Praktik hukum internasional memberikan cukup bahan atau contoh bagi kesimpulan bahwa pada masa dan tingkat perkembangan masyarakat internasional dewasa ini hukum internasional memiliki wibawa terhadap hukum nasional untuk mengatakan bahwa pada umumnya hukum internasional itu ditaati dan hukum nasional itu pada hakikatnya tunduk pada hukum internasional. Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa pada umumnya negara-negara didunia ini saling menghormati tanpa batas atau garis batas lainnya yang memisahkan wilayah negara yang satu dari yang lainnya. Dengan lain perkataan, negara-negara menaati hukum internasional mengenai batas wilayah negara sebagai suatu hukum yang mengikat dirinya dalam pergaulan dengan negara lain, khususnya dengan negara-negara tetangganya. Usaha mengubah perbatasan negara dengan jalan kekerasan merupakan suatu hal yang dewasa ini hamper tidak lagi dilakukan. Contoh lain kaidah hukum internasional yang umumnya ditaati ialah hukum yang mengatur perjanjian internasional antarnegara. Pada umumnya, negara-negara menaati kewajiban yang bersumber pada perjanjian internasional dengan negara lain. Disini pun sekali-kali hal terjadi penyimpangan dari keadaan umum ini dan seperti juga dalam hal hukum internasional mengenai perbatasan wilayah, pelanggaran demikian sering menarik banyak perhatian sehingga terlupakan kenyataan praktik hukum internasional dibidang ini yang sebenarnya, yaitu bahwa pada umumnya negara-negara didunia menaati perjanjian internasional yang telah diadakannya dengan negara lain. 3. Hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional menurut hukum positif negara Masalah hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional secara umum dan praktik beberapa negara termaksud Indonesia, bagaimanakah kira duduk persoalan hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional itu menurut hukum positif negara. Dalam beberapa hal tertentu terutama dalam keadaan kita turut serta dalam suatu konvensi yang mengandung berbagai perubahan dan pembaharuan, kelalaian demikian memang bisa menimbulkan keadaan yang kurang diinginkan orang, terutama para petugas dilapangan tentu berpegang pada ketentuan perundang-undangan yang ada (dan belum) diubah yang didasarkan atas konvensi yang lama, sedangkan sebagai negara kita sudah resmi terikat pada konvensi yang baru. BAB VI Subjek Hukum Internasional 1. Negara Negara adalah subjek hukum internasional dalam arti klasik dan telah demikian halnya sejak lahirnya hukum internasional. Bahkan, hingga sekarangpun masih ada anggapan bahwa hukum internasional itu pada hakikatnya adalah hukum antarnegara. 2. Takhta suci Takhta suci (vatikan) merupakan suatu contoh dari suatu subjek hukum internasional yang telah ada sejak dahulu disamping negara. Hal ini merupakan peninggalan-peninggalan sejarah sejak zaman dahulu ketika paus bukan hanya merupakan kepala gereja roma, tetapi memiliki pula kekuasaan duniawi.takhta suci merupakan suatu hukum dalam arti yang penuh dan sejajar kedudukannya dengan negara. Hal ini terjadi terutama setelah diadakannya perjanjian antara italia dan takhta suci pada tanggal 11 februari 1929 yang mengembalikan sebidang tanah di roma kepada takhta suci dan memungkinkan didirikannya negara vatikan, yang dengan perjanjian itu sekaligus dibentuk dan diakui. 3. Palang Merah Internasional Palang Merah Internasional yang berkedudukan di Jenewa mempunyai tempat tersendiri dalam sejarah hukum internasional. Boleh dikatakan bahwa organisasi ini sebagai suatu subjek hukum. Lahir karena sejarah walaupun kemudian kedudukannya diperkuat dalam perjanjian dan kemudian konvensi-konvensi Palang Merah. Sekarang Palang Merah Internasional secara umum diakui sebagai organisasi internasional yang memiliki kedudukan sebagai subjek hukum internasional walauoun dengan ruang lingkup yang sangta terbatas. 4. Organisasi Internasional Kedudukan Oragnisasi Internasional sebagai subjek hukum internasional sekarang tidak diragukan lagi, walaupun pada mulanya belum adad kepastian mengenai hal ini. Organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Organisasi Buruh Dunia (ILO) mempunyai hak dan kewajiban yang ditetapkan dalam konvensi-konvensi internasional yang merupakan semacam anggaran dasarnya. Berdasarkan kenyataan ini sebenarnya sudah dapat dikatakan bahwa PBB dan Organisasi Internasional semacamnya merupakan subjek hukum internasional, setidak-tidaknya menurut hukum internasional khusus yang bersumberkan konvensi internasional tadi. 5. Orang perorangan (individu) Dalam arti yang terbatas orang perorangan sudah agak lama dianggap sebagai subjek hukum internasional. Pengadilan penjahat perang di Numberg dan Tokyo telah mengesampingkan beberapa prinsip hukum yang secara umum telah dianut baik dalam hukum nasional maupun internasional antara lain : a. Bahwa seorangpenjahat tidak dapat dihukum karena kebijaksanaan yang dilakukannya. b. Bahwa seorang penjahat tidak dapat dituntut sebgai perorangan terhadap tindakan yang dilakukannya sebagai penjahat negara. c. Bahwa seseorang tidak dapat dituntut melakukan kejahatan yang baru ditentukan sebagai kejahatan setelah perbuatan dilakukan. 6. Pemberontak dan pihak dalam sengketa (belligerent) Menurut hukum perang, pemberontak dapat memperoleh kedudukan dan hak sebagai pihak yang bersengketa dalam beberapa keadaan tertentu. Akhir-akhir ini timbul perkembangan baru yang walaupun mirip dengan pengakuan status pihak yang bersengketa dalam perang, memiliki cirri lain yang khas, yakni pengakuan terhadap gerakan pembebasasn seperti Gerakan Pembebasan Palestina (PLO). BAB VII Sunber Hukum Internasional 1. Perjanjian Internasional Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu. Dari batasan diatas jelaslah bahwa untuk dapat dinamakan perjanjian internasional, perjanjian itu harus diadakan oleh subjek hukum internasional yang menjadi anggota masyarakat internasional. Terdapat enam klasifikasi perjanjian menurut materi yang pengesahannya perlu dilakukan dengan undang-undang, yaitu perjanjian yang berkenaan : a. Masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan negara; b. Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara republik Indonesia; c. Kedaulatan atau hak berdaulat negara; d. Hak asasi manusia dan lingkungan hidup; e. Pembentukan kaidah hukum baru; f. Pinjaman dana/atau hibah luar negeri. Mengingat pentingnya perjanjian internasional sebagai sumber hukum, akan diuraikan lebih lanjut mengenai perjanjian ini dengan membaginya dalam 3 bagian yaitu : a. Tentang hal membuat dan mulai berlakunya perjanjian; b. Tentang hal penaatan perjanjian; dan c. Tentang hal punahnya perjanjian. Uraian ini terbatas pada perjanjian yang diadakan antara negara-negara. a. Tentang hal membuat perjanjian internasional Tentang hal membuat perjanjian internasional dapat dibagi lagi dalam 3 tahap yaitu : a. Perundingan (negotiation); b. Penandatanganan (signature); c. Pengesahan (ratificarion); b. Tentang hal berakhir atau ditangguhkan berlakunya perjanjian. Secara umum suatu perjanjian bisa punah atau berakhir karena beberapa sebab, diantaranya : a. Karena telah tercapai tujuan perjanjian itu; b. Karena habis waktu berlakunya perjanjian itu; c. Karena punahnya salah satu pihak peserta perjanjian atau punahnya objek perjanjian itu; d. Karena adanya persetujuan dari para peserta untuk mengakhiri perjanjian itu; e. Karena diadakannya perjanjian antara para peserta kemudian yang meniadakan perjanjian yang terdahulu; f. Karena dipenuhinya syarat tentang pengakhiran perjanjian sesuai dengan ketentuan perjanjian itu sendiri; dan g. Diakhirinya perjanjian secara sepihak oleh salah satu peserta dan diterimanya pengakhiran itu oleh pihak lain. 2. Kebiasaan Internasional Untuk dapat dikatakan bahwa kebiasaan internasional itu merupakan sumber hukum perlu terdapat unsur-unsur sebagai berikut : 1. Harus terdapat suatu kebiasaan yang bersifat umum. 2. Kebiasaan itu harus diterima sebagai hukum. Pertama, perlu adanya satu kebiasaan, yaitu suatu pola tindak yang berlangsung lama, yang merupakan serangkaian tindakan yang serupa mengenai hal dan keadaan yang serupa pula. Kedua, kebiasaan atau pola tindak yang merupakan serangkaian tindakan yang serupa mengenai hal dan keadaan yang serupa diatas harus bersifat umum dan bertalian dengan hubungan internasional. Dilihat secara praktis suatu kebiasaan internasional dapat dikatakan diterima sebagai hukum apabila negara-negara itu tidak menyatakan keberatan terhadapnya. Keberatan ini dapat dinyatakan dengan berbagai cara misalnya dengan jalan diplomatic atau dengan jalan hukum dengan mengajukan keberatan dihadapan suatu mahkamah. 3. Prinsip hukum umum Sumber hukum yang ketiga menurut pasal 38 ayat 1 Piagam Mahkamah Internasional ialah asas hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab (general principles of law recognized by civilized nation). Yang dimaksud dengan asas hukum ialah asas hukum yang mendasari sistem hukum modern. Yang dimaksudkan dengan sistem hukum modern adalah sistem hukum positif yang didasarkan atas asas dan lembaga hukum negara barat yang untuk sebagian besar didasarkan atas asas dan lembaga hukum romawi. 4. Sumber hukum tambahan (keputusan pengadilan dan pendapat para sarjana terkemuka di dunia) berlainan dengan sumber hukum utama yang telah kami bahas diatas, keputusan pengadilan dan pendapat para sar4jana hanya merupakan sumber subsidier atau sumber tambahan. Artinya keputusan pengadilan dan pendapat para sarjana dapat dikemukakan untuk membuktikan adanya kaidah hukum internasional mengenai suatu persoalan yang didasarkan atau sumber primer yakni perjanjian internasional, kebiasaan dan asas hukum umum. keputusan pengadilan dan pendapat para sarjana itu sendiri tidak mengikat, artinya tidak dapat menimbulkan suatu kaidah hukum. Jika keputusan Mahkamah Internasionalsendiri tidak mengikat selain bagi perkara yang bersangkutan, a fortiori keputusan pengadilan lainnya tidak mungkin mempunyai keputusan mengiktat. Yang dimaksud dengan keputusan pengadilan dalam pasal 38 ayat 1 sub d ialah pengadilan dalam arti yang luas dan meliputi segala macam peradilan internasional maupun nasional termaksud didalamnya mahkamah dan komisi arbitrase. Mengenai sumber hukum tambahan yang kedua yaitu ajaran para sarjana hukum terkemuka dapat dikatakan bahwa penelitian dan tulisan yang dilakukan oleh para sarjana terkemuka sering dapat dipakai sebagai pegangan atau pedoman untuk menemukan apa yang menjadi hukum internasional. Walaupun ajaran para sarjana itu sendiri tidak menimbulkan hukum. Fungsi ajaran atau tulisan sarjana hukum terkemuka tersebut diatas dengan jelas telah digambarkan oleh Hakim Gray dalam putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam perkara Paquete Habana. Pendapat sarjana hukum internasional yang terkemuka bertambah wibawanya sebagai sumber tambahan apabila ia bertindak dalam suatu fungsi yang secara langsung bertalian dengan suatu persoalan hulum internasional yang dicari penyelesaiannya seperti misalnya Panitia Ahli Hukum yang diangkat oleh Liga Bangsa-Bangsa pada tahun 1920 untuk memberikan pendapatnya mengenai masalah kepulauan Aaland. 5. Keputusan badan perlengkapan (organs) organisasi dan lembaga internasional Pertumbuhan lembaga dan organisasi internasional dalm 50 tahun belakangan ini telah mengakibatkan timbulnya berbagai keputusan baik dari badan legislative, eksekutif maupun yudikatif dai lembaga atau organisasi internasional itu yang tidak dapat diabaikan dalam suatu pembahasan tentang sumber hukum internasional, walaupun mungkin keputusan demikian belum dapat dikatakan merupakan sumber hukum internasional dalam arti yang sesungguhnya. Keputusan badan-badan tersebut diatas sedikit-dikitnya dalam lingkungan terbatas yaitu dilingkungan lembaga atau organisasi internasional itu sendiri, melahirkan berbagai kaidah yang mengatur pergaulan antara anggota-anggotanya. Dalam hal ini kepueusan itu mempunyai kekuatan mengikat yang meliputi beberapa negara, sedangkan ada pula keputusan jenis lain yang mempunyai pengaruh yang jauh lebih besar dari semestinya. BAB VIII Wilayah Negara dalam Hukum Internasional Setiap negara memiliki kemungkinan untuk menambah atau memperluas wilayahnya. Dilihat dari praktik negara ada beberapa cara bagi suatu negara untuk dapat memperluas wilayahnya yaitu melalui akresi, cessi, okupasi, preskripsi dan perolehan wilayah secara paksa yang biasanya berupa aneksasi. 1. Akresi Akresi adalah penambahan wilayah yang disebabkan oleh proses alamiah. Sebagai contoh adalah terbentuknya pulau yang disebabkan oleh endapan lumpur dimuara sungai atau mengeringnya bagian sungai disebabkan oleh terjadinya perubahan aliran sungai. Penambahan wilayah dalam bentuk pulau baru dapat juga disebabkan oleh letusan gunung api dilaut. Dalam hal ini apabila pulau baru tersebut berada diperairan wilayah suatu negara maka otomatis akan menjadi bagian dari wilayah negara tersebut. 2. Cessi Salah satu cara yang banyak digunakan untuk memperoleh tambahan wilayah adalah dengan cessi. Dasar pemikiran yang melandasi cessi adalah bahwa penyerahan suatu wilayah atau bagian wilayah adalah hak yang melekat pada kedaulatan negara. Cessi merupakan cara penyerahan wilayah secara damai yang biasanya dilakukan melalui suatu perjanjian perdamaian yang mengakhiri perang. Namun, pada zaman colonial praktik cessi juga banyak dilakukan oleh para penguasa setempat, seperti misalnya yang dilakukan oleh beberapa kesultanan di Asia tenggara kepada para pendatang dari Eropa; atau sebaliknya dilakukan oleh para penguasa colonial kepada kelompok ada setempat. 3. Okupasi Okupasi menunjukan adanya penguasaan terhadap suatu wilayah yang tidak berada dibawah kedaulatan negara manapun, yang dapat berupa suatu terra nullius yang baru ditemukan. Penguasaab tersebut harus dilakukan oleh negara dan bukan oleh orang-perorangan, secara efektif dan harus terbukti adanya kehendak untuk menjadikan wilayah tersebut sebagai bagian dari kedaulatan negara. Hal itu harus ditunjukan misalnya dengan suatu tindakan simbolis yang menunjukan adanya penguasaan terhadap wilayah tersebut, misalnya dengan pemancangan bendera atau melalui suatu proklamasi. Penemuan saja tidak cukup kuat untuk menunjukan kedaulatan negara, karena hal ini dianggap hanya memiliki dampak sebagai suatu pengumuman. Agar penemuan tersebut memiliki arti yuridis harus dilengkapi dengan penguasaan secara efektif untuk suatu jangka waktu tertentu. 4. Preskripsi Berbeda dengan okupasi, preskripsi alah pelaksanaan kedaulatan oleh suatu negara secara de facto dan damai untuk kurun waktu tertentu, bukan terhadap terra nullius melainkan terhadap wilayah yang sebenarnya berada dibawah kedaulatan negara lain. Kesulitan untuk dapat menerima preskripsi sebagai asas hukum internasional dalam perolehan wilayah adalah bahwa tidak banyak praktik negara itu. Dengan demikian, tidak jelas presiden yang menunjukan berapa lama waktu yang diperlukan untuk menunjukan adanya pelaksanaannya harus dilakukan tanpa terputus.hal ini penting untuk menunjukan bahwa bahwa munculnya protes dari negara yang memiliki kedaulatan terdahulu akan menghilangkan klaim berdasarkan preskripsi. 5. Aneksasi Aneksasi adalah cara perolehan wilayah secara paksa berdasarkan pada dua kondisi sebagai berikut : 1. Wilayah yang dianeksasi telah dikuasai oleh negara yang menganeksasinya; 2. Pada waktu suatu negara mengumumkan kehendaknya untuk menganeksasi suatu wilayah, wilayah tersebut telah benar-benar berada dibawah penguasaan negara tadi. Perolehan wilayah dengan cara yang pertama tidak cukup untuk melahirkan hak atau kedaulatan bagi negara yang melakukannya, melainkan harus diikuti dengan pernyataan resmi tentang maksud atau kehendak demikian yang biasanya dilaksanakan dengan pengiriman Nota kepada semua warganegara yang berkepentingan. 6. Perolehan wilayah oleh Negara Baru 1. Wilayah dan Yurisdiksi Negara di Laut a. Status Hukum tentang Pelbagai Zona Maritim b. Perairan pedalaman c. Laut territorial d. Selat yang digunakan untuk pelayaran internasional e. Jalur/zona tambahan f. Negara kepulauan g. Zona ekonomi eksklusif h. Landas kontinen i. Negara-negara yang tidak berpantai dan negara-negara yang secara geografis tidak beruntung j. Kawasan k. Pulau l. Laut tertutup dan setengah tertutup m. Lingkungan laut. 2. Penyelesaian sengketa Sengketa-sengketa juga dapat diselesaikan melalui konsiliasi dan dalam beberap hal tertentu wajib menggunakan penyelesaian melalui konsiliasi. Mahkamah Hukum Laut Internasional memiliki yurisdiksi eksklusif untuk sengketa yang berkaitan dengan penambangan dasar laut samudera dalam. 3. Persetujuan Implementasi Bab XI Konvensi Hukum Laut 1982 Persetujuan Implementasi Bab XI Konvensi Hukum Laut 1982 diterima pada tanggal 28 juli 1994 dan mulai berlaku sejak tanggal 28 juli 1996. Persetujuan ini memuat 10 pasal yang mengatur tentang masalah-masalah procedural seperti misalnya, penandatanganan, mulai berlaku dan penerapan sementara. Pasal 2 persetujuan ini mengatur tentang hubungan antara persetujuan ini dengan ketentuan-ketentuan Bab XI Konvensi Hukum Laut 1982, yang menetapkan bahwa kedua dokumen tersebut harus diinterprestasikan dan diimplementasikan sebagai satu dokumen yang integral. 4. Persetujuan tentang konservasi dan pengelolahan jenis-jenis ikan yang terdapat di dua ZEE (straddling) dan yang bermigrasi jauh (highly migratory) Persetujuan tentang jenis-jenis ikan yang berada di ZEE dari dua negara dan yang bermigrasi jauh menetapkan asas-asas untuk konservasi dan pengelolahan jenis-jenis ikan tersebut. Perjanjian ini ditujukan agar tujuan tersebut dapat dicapai dengan menyediakan suatu kerangka kerjasama dalam konservasi dan pengelolahan sumber daya ikan tersebut. 5. Ruang Udara dan Ruang Angkasa Secara teoritis dengan adanya kedaulatan negara diruang udara diatas wilayahnya, setiap negara dapat melakukan larangan bagi negara-negara lain untuk terbang diatas wilayahnya, kecuali kalau telah diperjanjikan sebelumnya. Sama halnya dengan status hukum dari laut lepas, hukum internasional mengakui status hukun ruang angkasa sebagai res communis, sehingga tidak ada satu bagianpun dari ruang angkasa dapat dijadikan menjadi bagian wilayah kedaulatan negara. Lebih lanjut pengaturan ruang angkasa ditetapkan melalui penandatanganan Treaty on Principles Governing the Activities of States in the Exploration and Use of Outerspace, including the Moon And Other Celestial Bodies pada tahun 1967. Perjanjian internasional ini menguatkan asas-asas yang telah dikemukakan dalam resolusi Majelis Umum PBB, tetapi tidak mengandung satu ketentuan pun yang menetapkan batas antara ruang udara dan ruang angkasa.

0 komentar:

Copyright © 2012 Makalah Luarbiasa (Lubis).