makalah hukum pidana internasional 3

BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG MASALAH Hukum Pidana Internasional dapat didefinisikan sebagai, cabang ilmu hukum yang menguraikan dan menjelaskan persentuhan aspek hukum nasional dan hukum internasional. akan tetapi tidak jelas “karakter” dan “jenis kelamin” sesungguhnya dari hukum pidana internasional. jalinan aspek hukum nasional dan hukum internasional merupakan keunikan hukum pidana internasional. Hukum Pidana Internasional ”International Criminal Law” adalah cabang ilmu hukum baru yang memiliki aspek hukum (pidana) nasional, dan aspek hukum internasional, kedua aspek hukum tersebut bersifat komplementer satu sama lain. Hukum Pidana Internasional telah membuka wawasan baru dalam perkembangan penerapan hukum pidana nasional, tidak ada ancaman kejahatan transnasional dan kejahatan nasional yang tidak memiliki solusi dan antisipasi. selain itu hukum pidana internasional telah membuka pandangan baru mengenai pertanggungjawaban pidana seorang individu dalam hal kejahatan, dan pandangan baru dari hukum pidana internasional adalah berkembangnya pendapat. Hukum Pidana Internasional sebagai cabang disiplin ilmu baru dalam ilmu hukum, merupakan disiplin ilmu yang paling lengkap karena memiliki modal awal (modalities) yaitu: asas-asas hukum maupun kaidah kaidahnya, termasuk ketentuan mengenai prosedur beracara dimuka pengadilan pidana internasional, dan lembaga yang melaksanakan proses peradilan terhadap pelanggaran HAM berat. keseluruhan asas hukum, kaidah dan prosedur penegakan hukum tersebut telah dimuat didalam statuta ICC (International Criminal Court) statuta Roma tahun 1998. Prospek disiplin hukum pidana internasional berkaitan secara langsung dengan prinsip kedaulatan negara dan asas-asas pemberlakuan hukum pidana nasional yang telah diakui secara universal. Didalam sistem peraturan per Undang-undangan Indonesia,Undang-undang Dasar merupakan hukum dasar (grondwet) yang menjadi sumber hukum seluruh peraturan per Undang-undangan yang berlaku di Indonesia. Undang-undang Dasar tidak memuat ketentuan lengkap mengenai bagaimana hubungan internasional dan suatu perjanjian internasional harus dilaksanakan, melainkan hanya memberikan landasan konstitusional presiden selaku kepala negara atas persetujuan DPR RI, untuk membuat perjanjian internasional. ketentuan pasal 9 Undang-undang hukum pidana (KUHP,1946) di Indonesia, merupakan satu-satunya ketentuan hukum pidana Indonesia yang secara eksplisit mengatur bagaimana hukum internasional seharusnya diberlakukan kedalam hukum nasional yang menegaskan bahwa, penerapan pasal 2-5,7 dan 8 dibatasi oleh pengecualian-pengecualian yang diakui dalam hukum internasional. Perkembangan saat ini merujuk pada praktik, hukum pidana internasional memiliki arti yang luas. Otto Triffterer, mengemukakan bahwa: ”Hukum Pidana Internasional termasuk sejumlah ketentuan internasional yang menetapkan suatu perbuatan merupakan kejahatan menurut hukum internasional[3]” .hukum pidana internasional dalam sudut pandang ini merupakan bagian-bagian dari hukum bangsa-bangsa. Terkait dengan definisi Otto tersebut diatas maka dapat dikatakan bahwa, keberadaan hukum pidana internasional, lebih tepat dikatakan, ”The bridging science”yang menghubungkan dua kepentingan, yaitu: kepentingan (hukum) internasional(International Interest) dan kepentingan (hukum) nasional (National Interest) dalam menghadapi satu objek yang sama yaitu ancaman dari kejahatan transnasional dan kejahatan internasional, kedua kepentingan tersebut merupakan “Pasangan Harmonis” dalam praktik penegakan hukum pidana internasional. I.2. RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana perkembangan pembahasan draft teks statuta mahkamah pidana internasional? 2. Bagaimana statuta mahkamah pidana internasional (international criminal court)? 3. Bagaimana makna tiap alinea dalam mukadimah statuta mahkamah pidana internasional? 4. Bagaimana lingkup yurisdiksi mahkamah pidana internasional? I.3. TUJUAN DAN MANFAAT 1. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan pembahasan draft teks statuta mahkamah pidana internasional. 2. Untuk mengetahui bagaimana statuta mahkamah pidana internasional (international criminal court). 3. Untuk mengetahui bagaimana makna tiap alinea dalam mukadimah statuta mahkamah pidana internasional. 4. Untuk mengetahui bagaimana lingkup yurisdiksi mahkamah pidana internasional. BAB II PEMBAHASAN II.1. PERKEMBANGAN PEMBAHASAN DRAFT TEKS STATUTA MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL Draft teks statute ICC yang dibahas dalam Konferensi Diplomatik di Roma, adalah yang diusulkan oleh Komisi Hukum Internasional (International Law Commission) dan pembahasan telah melalui 7 (tujuh) Resolusi Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa / Resolusi SMU berikut: 1. Resolusi SMU PBB 47/33 tanggal 25 November 1992, 2. Resolusi SMU PBB 48/31 tngga 9 Desember 1993, 3. Resolusi SMU PBB 49/53 tnggal 9 Desember 1994, 4. Resolusi SMU PBB 50/46 tanggal 11 Desember 1995, 5. Resolusi SMU PBB 51/207 tanggal 17 Desember 1996, 6. Resolusi SMU PBB 52/160 tanggal 15 Desember 1997. Konferensi Diplomatik untuk melaksanakan pembahasan terakhir dan untuk mengadopsi Statuta ICC berlangsung sejak tanggal 15 Juni 1998 sampai tanggal 17 Juli 1998. Pembukaan Konferensi di pimpin oleh Kofi Annan, Sekretaris Jendral PBB selaku Presiden Tetap Konperensi, Giovanni Conso dari Italia. Di dalam sambutan pembukaan konferensi diplomatik di Roma, Kofi Annan menguraikan tentang peristiwa yang paling kejam sebagai contoh dari kejahatan yang sering disebut dengan kebijakan Negara secara sistematis. Kelanjutan dari hal tersebut, telah dibentuk Mahkamah Adhoc untuk menuntut dan mengadili peristiwa genosida dan kejahatan manusia. II.2. STATUTA MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (INTERNATIONAL CRIMINAL COURT) Mukadimah dalam statuta memiliki arti penting baik secara hukum maupun secara politis. Dari sisi relevansi hukum, keberadaan mukadimah tersebut ditunjukan untuk membantu penafsiran dan penerapan statuta, dan secara khusus mengenai wewenang ICC berdasarkan pasal 35 yang berhubungan dengan isu mengenai “admissibility” atau penerimaan yurisdiksi ICC ke dalam sistem peradilan nasional. Merujuk kepada Konvensi Wina tentang Perjanjian Internasional (1961) Pasal 31 menegaskan bahwa, mukadimah dalam suatu perjanjian merupakan bagian dari substansi yang merupakan rujukan untuk menafsirkan suatu perjanjian[15]. Secara politis, keberadaan suatu mukadimah dalam Statuta Mahkamah Pidana Internasional, karena berkaitan dengan kredibilitas negara peratifikasi untuk menjadi pihak dalam statuta sangat tergantung dari apresiasi dan komitmen negara-nagara tersebut terhadap prinsip-prinsip yang dicantumkan di dalam Mahkamah Statuta. II.3. MAKNA TIAP ALINEA DALAM MUKADIMAH STATUTA MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL Alinea kesatu: “Conscious that all people are united by common bonds, their culture pieced together in a shared heritage, and concerned that this delicate mosaic may be shattered at any time”. Alinea kesatu di atas mencerminkan bahwa pembentukan Mahkamah Pidana Internasional adalah dalam konteks global. Pembentukan Mahkamah bukanlah semata-mata penegakan keadilan internasional melainkan mencerminkan bahwa prinsip dasar dan kepentingan yang meatarbelakangi pembentukan mahkamah ini tidaklah dibentuk dalam keadaan kekosongan hukum akan tetapi memiliki gaungnya di dalam hubungan internasional. Alinea kedua: “Mindful that during this century millions of children, women and men have been victims of unimaginable atrocities that deeply shock the conscience of humanity”. Alinea kedua, mengingatkan masyarakat interbasinal terhadap korban-korban yang diakibatkan oleh peperangan atau kekejaman kekuasaan negara yang seharusnya memperolah perindungan. Pembentukan Mahkamah bukan hanya bertujuan menuntut dan menghukum pelaku kajahatan saja melainkan juga merupakan bentuk perindungan hukum terhadap para korban kejahatan tersebut. Alinea ketiga: “Recognizing that such grave crimes threaten the peace, security and well-being of the world”. Alinea ketiga mecerminkan pengakuan landasan teoritik justifikasi keberadaan hukum pidana internasional dengan menunjukkan apa yang harus diproteksi, yaitu melindungi niai-nilai kemanusiaan universal terhadap kejahatan serius yang mengancam. Alinea keempat; “Affirming that the most serious crimes of concern to the international community as awhole must not go unpunished and their effective prosecution must be ensure by taking measures at the national level and by enchancing international cooperation”. Alinea keempat, menegaskan tujuan praktis dari hukum pidana internasional, yaitu “The most serious crimes” alinea ini juga mencerminkan terhadap perbedaan antara “the serious crime “ yang menjadi perhatian masyarakat internasional, dan “ordinary crimes” yang tidak menjadi perhatian masyarakat internasional. Alinea kelima: “Determined to put an end to impunity for the perpetrators of these crimes and thus to contribute to the prevention if such crimes”. Alinea ini mengandung prinsip “non-impunity”.alinae ini juga menuntut agar penegakan hukum pidana internasional (langsung atau tidak langsung) harus dapat berlaku efektif.agar dapat mencegah terjadinya kejahatan serius di masa yang akan datang. Alinea keenama: “Recalling that it is the duty of every State to exercise its criminal jurisdiction over thos responsible for international crimes”. Aliea ini meminta semua negara untuk melaksanakan kewajibannya menuntut dan menghukum mereka yang bertanggung jawab atas kejahatan serius yang menjadi yurisdiksi ICC. Alinea ketujuh: “Reaffirming the purpose and principles of the Charter of the United Nations, and in particular that all State shall refrain from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistens with the purposes of the United Nations”. Alinea ketujuh ini, mengungatkan agar tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat mengancam terhadap keamanan dan perdamaian internasional. Alinea kedelapan: “Emphasizing in this connection that noting in this Statute shall be taken as authorizing any State Party to intervence in armed conflict or in the internal affairs of any State”. Di dalam alinea ini, mengingatkan semua negara agar di dalam menjalankan yurisdiksinya tidak melakukan interversi dengan alasan melaksanakan Statuta ICC. Alinea kesembilan: “Determinated to these ends and for the sake of present and future generations, to establish an independent permanent International Criminal Court in relationship with the United Nations system, with jurisdictions over the mostserious crimes of concern to the international community as a whole”. Alinea kesembilan mengingatkan bahwa hanya kejahatan-kejahatan serius yang memperoleh perhatian masyarakat internasional yang menjadi yurisdiksi ICC. Alinea kesepuluh: “Emphasizing that the International Criminal Court established under this Statute shall be complementary to national criminal jurisdiction”. Alinea kesepuluh merupakan kualitas karakter yang bersifat esensial dan sistem yurisdiksi ICC. Alinea kesebelas: Menekankan bahwa pembentukan ICC merupakan apresiasi tentang pelaksanaan keadilan internasional. II.4. LINGKUP YURISDIKSI MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL Lingkup yurisdiksi Mahkamah ini meliputi 4 (empat) jenis kejahatan yang termasuk kejahatan serius dan menjadi perhatian masyarakat internasional karena merupakan ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional. Adapun 4(empat) kejahatan itu adalah: • Genosida • Kejahatan kemanusiaan • Kejahatan perang • Agresi Selain kejahatan yang memiliki karakter di atas, dalam kenyataan praktik, masyarakat internasional juga masih diresahkan oleh kejahatan serius lainnya seperti, kejahatan yang telah di atur dalam perjanjian internasional (treaty-based crimes), terorisme, peredaran gelap narkotika, dan penggunaan tentara bayaran (mercenarisem). Merujuk kepada Statuta Mahkamah Pidana Internasional (statuta Roma) Pasal 5, maka yurisdiksi Mahkamah telah disepakati hamya 4 (empat) jenis kejahatan internasional, yaitu: genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang dan agresi. Dimasa yang akan datang masih terbuka kemungkinan memasukan jenis kejahatan internasional lainnya (yang belum menjadi yurisdiksi Mahkamah) menjadi yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. Jenis kejahatan dimaksud antara lain, terorisme, perdagangan orang, kejahatan lingkungan, korupsi. BAB III PENUTUP III. 1. KESIMPULAN Draft teks statute ICC yang dibahas dalam Konferensi Diplomatik di Roma, adalah yang diusulkan oleh Komisi Hukum Internasional (International Law Commission) dan pembahasan telah melalui 7 (tujuh) Resolusi Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa / Resolusi SMU. Lingkup yurisdiksi Mahkamah ini meliputi 4 (empat) jenis kejahatan yang termasuk kejahatan serius dan menjadi perhatian masyarakat internasional karena merupakan ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional. Adapun 4(empat) kejahatan itu adalah: • Genosida • Kejahatan kemanusiaan • Kejahatan perang • Agresi Selain kejahatan yang memiliki karakter di atas, dalam kenyataan praktik, masyarakat internasional juga masih diresahkan oleh kejahatan serius lainnya seperti, kejahatan yang telah di atur dalam perjanjian internasional (treaty-based crimes), terorisme, peredaran gelap narkotika, dan penggunaan tentara bayaran (mercenarisem). DAFTAR PUSTAKA Atmasasmita, Romli. 2010. Hukum Pidana Internasional, Jakarta: PT Fikahati Aneska. Atmasasmita, Romli. 2003. Pengantar Hukum Pidana Internasional, Bandung: RefikaAditama. Parthiana,I Wayan. 2006. Hukum Pidana Internasional, Bandung: CV Yrama Widya. Sosrokusumo, Sumaryo. 2007. Studi Kasus Hukum Internasional, Jakarta: PT Tata Nusa Jakarta. --------------------------------------------- Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Anti Korupsi 2003 (United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) )

0 komentar:

Copyright © 2012 Makalah Luarbiasa (Lubis).