makalah hukum internasional 3

BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG MASALAH Dengan lahirnya Deklarasi HAM Sedunia pada 10 Desember 1948 diharapkan keadilan di dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat di dunia ini dapat ditegakkan. Deklarasi tersebut mempunyai arti penting yang besar karena menjadi dasar untuk mengubah dan membebaskan peradaban manusia yang telah berabad-abad didominasi ketidak-adilan, di mana hak asasi manusia tidak mendapat perlindungan, jutaan manusia sampai abad XIX masih berstatus budak, yang kehilangan hak-hak asasinya dan dianggap sebagai benda yang dapat diperjual belikan. Baru di abad XX dengan meningkatnya kesadaran akan rasa keadilan dan kemanusiaan maka lahirlah Deklarasi HAM Sedunia PBB. Meskipun demikian deklarasi tersebut hanyalah suatu deklarasi semata-mata, yang tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi negara anggota PBB, apalagi bagi negara yang tidak menjadi anggota PBB. Hanya sesudah materi dari deklarasi tersebut diadopsi di dalam perundang-undangan (konstitusi, UU dan lain-lainnya) negara bersangkutan barulah mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Meskipun UUD 1945 (asli) tidak memuat banyak pasal tentang HAM tetapi hal itu tidak berarti bahwa RI tidak menyetujui HAM. Sebab Dasar Negara Pancasila memuat inti dasar dari norma-norma HAM. Di samping itu dalam Pembukaan UUD 1945 memuat suatu pernyataan tentang hak asasi yang lebih agung dan mulia nilainya, sebab sifatnya tidak individualistik, melainkan sifat kolektif besar manusia – bangsa: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Deklarasi yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut lahir 3 tahun lebih awal dari pada Deklarasi HAM Sedunia, dan yang lebih super-penting lagi deklarasi dalam UUD 1945 tersebut adalah deklarasi Hak Asasi mengenai hak dan kedaulatan atas tanah air, atas sumberdaya alam yang berabad-abad telah dirampas oleh kaum kolonialis. Jelas di sini terdapat dikotomi antara penjajah dan yang dijajah, yang tidak mungkin dikaburkan. Sedang HAM dari Deklarasi PBB hanyalah bersifat perorangan – individualistik, meskipun tidak diragukan arti pentingnya dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat, tapi individualisme (nyawa dari ideologi libralisme) ini di era globalisasi bisa mencampur-adukkan atau mengaburkan antara sipenjajah dan yang dijajah dengan selimut hak kebebasan berpendapat dan hak asasi lainnya. Jelasnya, dalam era globalisasi neokolonialisme bisa menggunakan baju HAM. Maka kita harus dengan bijak menggunakan HAM, jangan latah, jangan sampai HAM menelan HAB – hak asasi bangsa Indonesia atas kemerdekaan dan kedaulatan atas kekayaan alamnya. Setelah mencapai kemerdekaan, stadium selanjutnya bagi bangsa Indonesia ialah berjuang menegakkan nilai-nilai HAM. Ketentuan-ketentuaan hak asasi manusia yang tercantum dalam dokumen PBB (Deklarasi HAM Sedunia, Kovenan Hak Sipil dan Politik, Kovenan Hak Ekonomi dan Sosial-budaya, dll) sudah diratifikasi dan diadopsi dalam perundang-undangan Indonesia. UUD 1945 setelah mengalami 4 kali amandemen telah memuat banyak pasal mengenai hak asasi manusia. UU organik juga sudah terbentuk. Dengan telah terbentuknya UU Pengadilan HAM, seharusnya banyak kasus pelanggaran HAM yang sudah bisa dituntaskan. Tapi kenyataannya tidak demikian. Banyak kasus pelanggaran hak asasi manusia tidak mendapat penyelesaian semestinya. Sehingga dapat dikatakan bahwa keadilan tidak ditegakkan. Bisa dihitung dengan jari mengenai berapa kasus HAM yang sudah diselesaikan oleh Pengadilan. Yang sangat menyolok mata dan memprihatinkan adalah belum dijamahnya oleh para penegak hukum kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang terjadi tahun 1965-66 berkaitan dengan peristiwa G30S. Sudah berlalu 42 tahun pelanggaran HAM berat tersebut sepertinya dianggap tidak terjadi apa-apa. Padahal tanpa dibuktikan kesalahannya berdasarkan hukum yang berlaku jutaan manusia telah dibantai, ribuan orang dibuang ke pulau Buru dan dijebloskan di penjara-penjara, ratusan warganegara Indonesia di luar negeri dicabuti paspornya. Sejatinya fakta-fakta tersebut di atas saja sudah merupakan bukti yang cukup dan tak terbantahkan adanya tindak pelanggaran HAM berat. Tambahan pula adanya jutaan sanak saudara mereka yang tak mengerti apa-apa didiskriminasikan hak-hak politik dan sipilnya oleh penguasa Orde Baru, yang praktis, mereka tersebut juga menjadi korban pelanggaran HAM kedua. Nah kasus para korban pelanggaran HAM tersebut di atas semuanya sampai detik ini belum dituntaskan oleh para penegak hukum. kebenaran dan keadilan masih belum ditegakkan di Indonesia, yang dinamakan negara hukum. Dalam usaha penegakan kebenaran dan keadilan, berkaitan dengan pelanggaran HAM berat 1965-66, tampak ada dua jalan: pertama melalui pengadilan HAM dan kedua melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Jalan Pengadilan HAM agaknya sangat sulit dilaksanakan. Sebab terlalu banyak oknum yang berkepentingan agar jalan tersebut tertutup. Mantan rejim Suharto dan pendukungnya yang sampai sekarang masih berperan di mana-mana tidak menghendaki adanya pengadilan terhadap pelanggaran HAM berat 1965-66. Sedang jalan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang merupakan jalan kompromi dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lampau (terutama yang berkaitan dengan tahun 1965-66) ternyata mengalami kegagalan, sebab UU KKR 2004 dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, karena dianggapnya bertentangan dengan UUD 1945. Meskipun UU KKR tersebut jelas tidak akan menghasilkan keadilan sejati, sebab masih menyisakan eksistensi impunity, toh telah dimatikan sebelum sempat berjalan. Kalau kedua jalan tersebut dewasa ini tidak dapat ditembus, berarti para korban pelannggaran HAM berat masa lampau (1965-66) sampai waktu tak tertentu tidak bakal mendapatkan keadilan. Tampaknya masa waktu 42 tahun yang telah dilalui masih harus diperpanjang lagi. Sampai kapan, itulah pertanyaannya. Berhubung dengan Hari Hak Asasi Manusia Sedunia Ifdhal Kasim, Ketua KOMNAS HAM baru mempunyai niat untuk melaksanakan fungsinya sebaik mungkin sebagai penanggung jawab kebijakan institusi penegak HAM. Hal ini perlu didukung dan disokong sepenuhnya. Hanya kepada Ifdhal Kasim diharapkan agar pembelaan terhadap korban pelanggaran HAM masa lampau tidak mengulang atau melanjutkan praktek diskrimnatif (pilih kasih) seperti telah diterangkan di atas. Kami (para korban) melihat penanganan kasus korban pelanggaran HAM berat masa lampau (1965-66) sangat minim sekali, sehingga terasa adanya perlakuan diskriminasi. Padahal pendiskriminasian penanganan kasus pelanggaran HAM tersebut di atas identik dengan membiarkan berlangsungnya ketidak adilan dan eksistensi impunitas. Dan bersamaan dengan itu tersirat arti pembenaran terhadap tindak kejahatan melawan kemanusiaan. Juga di dunia internasional tidak terdengar suara kepedulian para institusi/lembaga hak asasi manusia terhadap jutaan korban pelanggaran HAM berat 1965-66 dibanding dengan kepeduliannya terhadap para korban pelanggaran HAM lain-lainnya. Ini jelas juga merupakan tindakan diskriminasi. Fenomena tentang tindakan diskriminasi di luar negeri dan di dalam negeri yang tampak berjalan seiring tentu menimbulkan pertanyaan logis dan adil: Mengapa demikian terjadi? Apakah donasi dari luar negeri kepada lembaga-lembaga di Indonesia mempunyai pengaruh kuat terhadap timbulnya fenomena tindakan diskriminasi tersebut di atas?. Adalah suatu hal yang positif putusan Mahkamah Konstitusi baru-baru ini, bahwa: “Mantan terpidana kealpaan dan politik dapat menjadi pejabat publik”. Pejabat publik bisa diartikan sebagai presiden, menteri, gubernur, walikota dan lai-lainnya. Sekali lagi kita tidak melihat jamahannya kepada para korban pelanggaran HAM berat 1965-66. Mereka ini bukan orang-orang terpidana politik, sebab tidak pernah diproses berdasar hukum, tetapi orang-orang yang dilanggar hak asasinya. Mereka bukan pelaku kejahatan, tetapi mereka adalah korban tindak kejahatan kemanusiaan. Contoh: ribuan orang yang dibuang ke pulau Buru belasan tahun tidak pernah dibuktikan kesalahannya berdasarkan hukum. Mereka di sana mendapat perlakuan yang biadab dan disiksa dengan kejam. Kalau mantan terpidana politik (jadi ada putusan pengadilan) saja menurut Mahkamah Konstitusi dapat menjadi pejabat publik, maka mantan tapol pulau Buru (korban pelanggaran HAM, bukan mantan terpidana) secara logika mestinya menjadi pejabat publik bukan masalah lagi. Tapi sebaliknya mereka ini bahkan mendapatkan perlakuan-perlakuan yang sangat jelek – bertentangan dengan HAM, misalnya tidak boleh menjadi pegawai negeri, tidak boleh menjadi guru dan larangan-larangan lainnya, bahkan pernah KTPnya ditempeli kata “ET” sehingga di mana-mana mendapatkan kesulitan dalam hidupnya. Dan kalau penegak hukum berkemauan menjalankan fungsinya sebagai penegak keadilan maka mudah saja menunjuk hidung siapa yang melakukan pelanggaran HAM berat 1965-66, yaitu penguasa-penguasa militer rejim Suharto pada waktu itu. Sebab merekalah yang membuang orang-orang tersebut di atas ke pulau Buru dan menjebloskan ke dalam penjara-penjara. Tidak perlu susah-susah njlimet mencari data-data, sebab semuanya ada di arsip kopkamtib (kalau belum keburu dimusnahkan). Bahkan kalau pun dokumen-dokumen tersebut sudah dimusnakan, mestinya fakta pembuangan ke pulau Buru saja sudah merupakan bukti kuat yang tak terbantahkan tentang adanya pelanggaran HAM berat. Sayang sekali hal tersebut di atas tidak mendapat singgungan dari Mahkamah Konstitusi, yang seharusnya dalam memperingati Hari Hak Asasi Manusia Sedunia tahun ini dijadikan bagian tema penting demi transparansi dan sosialisasi penegakan HAM, Keadilan dan Konstitusi di Indonesia. Tampak perjuangan untuk tegaknya Keadilan dan Hak Asasi Manusia di Indonesia masih jauh dari sukses untuk menggeser sasarannya dari titik mati. Sedang diskriminasi dalam penanganan kasus pelanggaran HAM (terutama kasus pelanggaran HAM berat 1965-66) masih terus berjalan. Kalau penyelenggara negara dan lembaga-lembaga HAM menyadari hal-hal tersebut di atas penanganan untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 paling tidak harus berjalan sejajar/paralel dengan penanganan masalah pelanggaran HAM lainnya. Mengingat besarnya korban pelanggaran HAM berat 1965-66 maka penyelesaian hukum secara adil kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 seharusnya mendapat prioritas utama. Semoga masa depan penyelesaian masalah tersebut mempunyai perspektif yang positif bagi penegakan demokrasi, keadilan dan HAM. I.2. RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana pelanggaran HAM di Amerika Serikat ? 2. Bagaimana implikasi pelanggaran HAM Amerika Serikat di Irak ? I.3. TUJUAN DAN MANFAAT 1. Untuk mengetahui bagaimana pelanggaran HAM di Amerika Serikat. 2. Untuk mengetahui bagaimana implikasi pelanggaran HAM Amerika Serikat di Irak. BAB II PEMBAHASAN II.1. PELANGGARAN HAM DI AMERIKA SERIKAT Artikel ini dikutip dari buku “Human Rights Violation by The United States of America” yang dikeluarkan pada 2007 oleh Departemen HAM—Kementerian Politik Luar Negeri, Iran. Ini merupakan buku pertama yang ditulis mengenai pelanggaran HAM berat oleh AS yang terang-terangan berdasarkan sumber-sumber dari berbagai lembaga internasional. Buku ini menggunakan lebih dari 117 referensi sebagai sumber data dan informasi tentang pelanggaran HAM yang dilakukan oleh AS. Ketaatan, promosi dan perlindungan HAM berdasarkan penghormatan pada perbedaan budaya dalam kerangka universalitas merupakan salah satu pilar kehidupan modern saat ini, yang ditandai dengan globalisasi yang sedang tumbuh. Negara-negara bertanggung jawab dalam domain HAM berdasarkan kenyataan mereka memiliki instrumen-instrumen kekuatan yang diperlukan untuk memberi arah dan efektualitas kepada kekuatan aktif globalisasi. Karena itu, perangai HAM para pemain yang lebih berpengaruh di dunia memiliki dampak besar pada semua aspek kehidupan modern, termasuk penetapan standar dan aplikasi HAM di dunia. Kementerian Luar Negeri Republik Islam Iran, Musim Semi 2007 94 halaman Direview oleh Hamid Sultan Saleki (Atase Pres Kedubes Iran di Jakarta) Jelas, pelanggaran hak-hak sipil dan politik oleh Pemerintahan AS terhadap mereka yang ada di dunia dalam apa yang disebut “ perang terhadap teror ” tak dapat disamakan dengan pelanggaran HAM oleh sebuah pemerintahan kecil dalam wilayah yang kecil. Situasi yang mengerikan di tempat-tempat seperti Tanjung Guantanamo dan Bagram dan kisah – kisah tentang pusat-pusat penahanan rahasia di seluruh dunia akan berdampak negatif terhadap struktur konsep hukum internasional tentang HAM dan penerapannya di dunia. Lebih parah lagi, itu akan digunakan sebagai rujukan oleh pihak lain, menemukan interpretasi negatif atas ketentuan hukum internasional terhadap HAM di dalam kultur unilateralisme yang sedang tumbuh. Sejak April 2004, ketika potret pertama muncul mengenai personel militar AS menghina, menyiksa, dan juga memperlakukan dengan buruk tahanan di penjara Abu Ghuraib di Irak, pemerintahan AS berulangkali mencoba memotret pelanggaran HAM itu sebagai insiden yang terpisah, kerja segelintir tentara yang buruk yang bertindak tanpa perinta. Kenyataannya, satu-satunya aspek pengecualian dari pelanggaran di Abu Ghuraib adalah potret. Tetapi kenyataannya pola pelanggaran ini tidak berasal dari aksi beberapa tentara yang melanggar hukum. Kejadian itu berasal dari keputusan yang dibuat oleh Pemerintahann AS untuk membelokkan, mengabaikan, atau mengesampingkan hukum. Kebijakan administrasi yang menciptakan iklim Abu Ghuraib dalam tiga cara fundamental pengelakkan dari hukum intenasional, menerapkan metode interogasi yang bersifat memaksa dan pendekatan tidak melihat kejahatan, tidak mendengar kejahatan pemerintahan Bush. Kendati fakta bahwa AS telah meratifikasi Konvensi PBB yang menentang penyiksaan dan Konvensi Ketiga dan Keempat Geneva, dan bahwa Pemerintahan AS telah mengakui bahwa perjanjian – perjanjian dimaksud mengikat dalam perang untuk pembebasan Irak, terlihat bahwa Pemerintahan Bush mengklaim para tahanan yang diambil dari Abu Ghuraib tidak digolongkan sebagai tahanan perang di bawah hukum internasional. Bagaimanapun, dalam jawaban, beberapa ahli hukum telah mengungkapkan bahwa AS dapat diwajibkan untuk mengadili beberapa prajuritnya untuk kejahatan perang dan dibawah Konvensi Ketiga dan Keempat, tahanan perang orang sipil yang ditahan dalam suatu perang tak dapat diperlakukan dalam perang yang merendahkan, dan pelanggaran dalam seksi itu adalah “pelanggaran berat”. Sejak kejatuhan pemerintahan Taliban di Afganistan, pasukan pimpinan AS telah menangkap dan menahan ribuan orang Afghanistan dan warga negara asing lain di seluruh Afghanistan. Fasilitas penahanan AS yang utama di Afghanistan adalah di pangkalan udara Bagram. CIA juga menahan tahanan yang tak jelas jumlahnya, di pangkalan udara Bagram dan lokasi lain di Afghanistan, termasuk di Kabul. Ada banyak laporan tentang pelanggaran hak asasi manusia oleh personel militer dan intelijen AS di Afghanistan. Menurut Human Rights Watch, personel militer dan intelijen AS di Afghanistan melakukan sistem interogasi yang meliputi penggunaan deprivasi tidur, deprivasi indera, dan memaksa tahanan untuk duduk atau berdiri dalam posisi yang menyakitkan untuk periode waktu yang lama.. Dalam hal ini, AS telah gagal memberi penjelasan yang cukup atas tuduhan perlakukan buruk terhadap tahanan oleh personel militar dan intelijen AS di Afghanistan. Human Rights Committee telah mencatat dengan keprihatinan kekuarangan-kekurangan menyangkut kemerdekaan, ketidak-berpihakan, dan efektivitas investigasi menjadi tuduhan penyiksaan dan kekejian, perlakukan atau hukuman yang tidak manusiawi atau merendahkan yang ditimpakan oleh militer dan personel non militer AS atau pekerja kontrak, di fasilitas penahanan di Guantanmo, Afghanistan, Irak, dan lokasi di luar negeri lainnya, dan pada kasus-kasus kematian yang dicurigai di tempat tahanan di salah satu lokasi-lokasi ini. The Committee menyesal AS tidak memberikan informasi cukup menyangkut penuntutan yang dilontarkan, hukuman-hukuman dan reparasi yang dijamin buat korban. Sejak 2002 Kamp Guantanamo telah menjalankan perannya sebagai penjara militer dan kamp interogasi dan menahan lebih dari 775 tahanan dari 44 negara dan kebanyakan orang-orang yang dicurigai oleh pemerintahan AS sebagai operatif Al-Qaeda dan Taliban, terlebih, penggunaaan Guantanamo sebagai penjara militer telah diserang oleh organisasi-organisasi hak asasi manusia dan para pengritik lain, yang mengutip laporan-laporan bahwa para tahanan telah disiksa atau diperlakukan secara kejam. The Committee Against Torture (CAT) menyuarakan keprihatinannya atas laporan-laporan yang bisa dipercaya mengenai tindakan penyiksaan atau kekejian, tidak manusiawi dan perlakukan yang menghina atau hukuman yang dilakukan oleh anggota militer dan sipil tertentu di Afghanistan dan Irak. Juga menjadi keprihatinan bahwa investigasi dan penuntutan banyak kasus-kasus ini, termasuk suatu hasil dalam kematian tahanan, telah membawa pada hukuman yang lembut, termasuk sifat administratif atau kurang dari satu tahun penjara. Dalam hal ini, AS harus mengambil tindakan cepat untuk menghapus semua bentuk penyiksaan dan perlakukan buruk terhadap tahanan oleh personel militer dan sipil, di teritori mana saja dibawah juridiksinya, dan harus segera serta melakukan tidakan investigasi secara mendalam, menuntut semua yang bertanggung jawab bagi tindakan semacam itu, dan menjamin mereka dihukum secara wajar, menurut keseriusan kejahatan. Jelas, AS telah secara eksplisit dan sistematik melanggar standar internastional menyangkut perlakukan manusiawi terhadap tahanan yang membawa pada keberatan yang dimunculkan oleh organisasi internasional inter alias Human Rights Commission and Committee Against Torture. Selain itu, AS juga di klaim sebagai Negara pelanggar HAM terburuk selama 50 tahun terakhir. Amnesti Internasional (AI) menilai Amerika Serikat sebagai pelaku pelanggaran HAM terburuk selama 50 tahun terakhir, sejak negara adidaya itu mengeluarkan kebijakan perang terhadap terorisme dan invasinya ke Iraq. Dalam laporan tahun 2004-nya, lembaga HAM yang berbasis di London ini menyebutkan, agenda keamanan global yang dipromosikan oleh AS, miskin visi dan tidak punya dasar yang kuat. Apa yang dilakukan AS, menyerang negara lain dengan mengerahkan tentaranya, merupakan pelanggaran hak asasi, mengganggu rasa keadilan dan kebebasan, dan membuat dunia menjadi tempat yang mengerikan. Invasi dan penguasaan wilayah Iraq oleh otoritas yang dibentuk negara-negara koalisi, menyebabkan ribuan orang di Iraq ditahan. Laporan itu juga menyebutkan, ratusan orang dari sekitar 40 negara, di penjarakan AS tanpa proses hukum di Afghanistan. “Lebih dari 600 warga negara asing ditahan tanpa tuduhan yang jelas atau proses hukum, di penjara Guantanamo, Kuba. Mereka tidak diberi akses ke keluarga atau ke penasehat hukum. Orang-orang ini ditahan atas dugaan terkait dengan Al-Qaeda. Selain di Guantanamo, diduga AS menahan sejumlah tawanannya di beberapa lokasi yang tidak diketahui,” papar laporan tersebut. Sekretaris Jenderal Irene Khan menyatakan, perang terhadap terorisme seharusnya dibarengi dengan upaya melindungi hak asasi manusia, tapi pada kenyataannya, kampanye anti terorisme dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, saling bertentangan. Khan mengatakan, dunia telah melihat kenyataan yang sebenarnya, setelah foto-foto penyiksaan dan pelecehan di penjara Abu Graib tersebar di masyarakat luas. Ini adalah konsekuensi logis, dari perburuan yang membabi buta yang dilakukan AS sejak peristiwa 11 September. AS telah mengabaikan dan menempatkan dirinya diluar sistem hukum yang ada. AS telah kehilangan moral dan potensinya untuk melakukan segalanya dengan cara yang damai,” kata Khan dalam keterangan persnya di London. Amnesti Internasional menyatakan, pihak Departemen Kehakiman AS telah mengakui ada problem besar dalam menangani ratusan tahanan warga negara asing sejak peristiwa 11 September. Selain tidak memberikan akses pada keluarganya, AS juga tidak memberi akses agar para tahanan bisa didampingi pengacar agar proses hukumnya bisa segera dilakukan. Selain itu, bukti-bukti menunjukkan adanya pola penyiksaan fisik maupun verbal yang dilakukan oleh para penyidik. Amnesti Internasional juga memaparkan, pelanggaran Ham lainnya yang dilakukan AS, antara lain, penahanan sekitar 6.000 anak-anak migran dengan tuduhan melakukan kenakalan remaja. Anak-anak ini ditahan sampai berbulan-bulan. Disamping itu, polisi dan penjaga penjara di AS, telah menyalahgunakan senjata dan menggunakan bahan kimia terhadap para tahanannya, yang menyebabkan kasus tewasnya sejumlah tahanan di penjara AS. Amnesti Internasional juga mengkritisi penerapan hukuman mati di AS. Sepanjang tahun 2003, sudah 65 orang yang menjalani hukuman mati di AS. Total, sudah ada 885 orang yang menjalani hukuman mati sejak AS menerapkan kembali hukuman itu pada tahun 1976. AS dinilai juga telah melanggar aturan internasional dalam menerapkan hukuman mati ini, karena telah mengenakkannya pada anak dibawah umur 18 tahun. Yang paling hangat, Amnesti Internasional, mengkritik AS karena berupaya mendapatkan kekebalan hukum dari pengadilan internasional bagi tentaranya yang melakukan kejahatan perang. Selain AS, Amnesti Internasional menilai Inggris juga telah melakukan pelanggaran Ham di Iraq. “Pengadilan di Inggris dan AS, kini mulai melakukan evaluasi atas kekuasaan eksekutif yang sudah melanggar hak asasi,” tulis laporan tersebut. Amnesti Internasional menyatakan, kedua negara ini mengklaim Iraq punya senjata pemusnah massal hanya untuk membenarkan tindakannya di negara lain. Ketika AS dan Inggris terobsesi dengan adanya ancaman senjata pemusnah massal, mereka sendiri telah menjadi senjata pemusnah massal yang sesungguhnya. Mereka sudah bertindak tidak adil, semena-mena, penyebab munculnya kemiskinan, diskriminasi, rasis, perdagangan senjata gelap dan melakukan kejahatan terhadap anak-anak dan wanita. Laporan lembaga hak asasi manusia Amnesti Internasional ini, juga menyoroti masalah pendudukan Israel di Palestina. Lembaga ini bahkan menyebut Israel sebagai penjahat perang karena tindakan brutal yang dilakukannya. AS – Inggris ancaman terbesar bagi keamanan dunia. Maksud hati hendak menjadi polisi dunia apa daya jadi teroris dunia. Begitulah ungkapan yang klop bagi AS yang tengah dihantam kutukan dunia internasional atas kasus Abu Gharib. Adalah The International Institute for Strategic Studies (IISS) yang menuduh AS dan Inggris sebagai pemicu utama kian merebaknya rasa tak aman di dunia. Hal ini menurut IISS, terbukti setelah AS-Inggris mencaplok Irak. Selain itu, AS-Inggris juga telah menyebabkan makin bertambahnya pengikut jaringan Al-Qaeda menjadi sekitar 18.000 anggota yang tengah bersiap melakukan aksi penyerangan atas Barat. IISS juga melontarkan kritikan pedas atas AS-Inggris, menurutnya, mereka tak akan mampu membayar harga kegagalannya di Irak, dan hal itu akan menjadi mimpi buruk bagi strategi AS dan Barat. IISS adalah sebuah lembaga studi terkenal yang bermarkas di London Inggris. Setiap tahunnya IISS selalu merilis laporan-laporan yang berkaitan dengan isu-isu internasional strategis dan mengkaitkannya dengan perkembangan paling anyar di berbagai belahan dunia. Menurut IISS, sepanjang tahun 2003-2004 telah terjadi intervensi AS atas Irak dalam masalah-masalah internasional. Laporan itu menilai, keberhasilan demokratisasi di Irak akan menjadi sebuah model bagi reformasi negara-negara Teluk dan Timur Tengah di mana Timteng sebagai kunci bagi keamanan regional dan stabilitas internasional. Namun demikian, jika gagal dan Irak kembali menjadi negara otoriter maka harapan itu akan sirna, akhirnya AS akan dipandang sebagai penjajah bukan sebagai pembebas. Sebelumnya IISS pada tahun 2003 telah memprediksi bahwa, ancaman terorisme anti-Barat akan makin meningkat pasca aneksasi atas Irak. Bahkan menurut IISS, sekarang ini AS tengah menebar benih-benih perpecahan antara dirinya dengan Eropa. Selanjutnya AS mengklaim bahwa Negara kita sebagai pelanggar HAM. Masih ingatkah pendapat Amerika terhadap kita,bangsa Indonesia tentang pelanggaran HAM yang kita lakukan di Aceh,Timor Leste (dulu Timor Timur) dan Papua.Kita dianggap bangsa yang tidak beradab tidak mengerti tentang apa itu hak asasi manusia. Padahal waktu itu kita tidak pernah melakukan genosida,pembunuhan dan pembantaian,mana mungkin? Mereka adalah saudara kita sendiri, mereka adalah satu tanah tumpah darah dengan kita,senasib sepenanggungan dan bahkan pendahulu kita berjanji untuk mengikrarkan Indonesia Raya dari Sabang sampai Merauke,itu bukan keputusan sedikit orang dan tidak main – main ,itu dari lubuk hati kita yang terdalam. Di berbagai media internasional kita dituduh menjajah Timor Leste, memperlakukannya dengan semena mena, dan menelantarkanya,yang terjadi kita justru membantu Timor Timur (sebutan dahulu) membangun sarana infrastruktur dan pemerataan pembangunan,asal diketahui saja setelah merdeka mereka malah hidup jauh lebih susah daripada hidup bersama kita dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.Asal kita tahu saja Timor Timur itu memang daerah miskin tidak punya sumber daya alam yang dapat diandalkan.Amerika menuduh kita sebagai bangsa yang tidak becus mengatur negara kita sendiri, tapi yang terjadi adalah Amerika menyerang Iraq dan Afghanistan, mendukung agresor zionis membantai Palestina dan lain sebagainya.Tidakkah Amerika sadar bahwa setelah genderang perang ditabuh jutaan orang menderita akibat ulahnya, ratusan ribu orang tewas di Iraq dan Aghanistan dan rakyat Palestina juga menderita akibat senjata buatan Amerika yang diberikan kepada majikanya,Israel. II.2. IMPLIKASI PELANGGARAN HAM AMERIKA SERIKAT DI IRAK Sangat tepat, pernyataan Departemen Luar Negeri RI melalui juru bicaranya, Marty Natalegawa, 21 Mei lalu, bahwa Amerika Serikat secara moral tak lagi memiliki hak untuk menilai pelaksanaan hak-hak asasi manusia di negara lain.Pernyataan Departemen Luar Negeri itu mengacu pada mencuatnya skandal penyiksaan dan pelecehan seksual yang dilakukan tentara AS di penjara Abu Ghraib, Irak. Presiden AS George Walker Bush dengan susah payah membela diri dengan mengatakan, apa yang dilakukan tentaranya di Irak tidak mewakili perilaku bangsa AS secara keseluruhan.Bagaimana AS dapat mengklaim diri sedang memerangi terorisme jika tentaranya di Irak dan Afghanistan membunuh warga sipil dan merusak tempat-tempat suci keagamaan? AS mendukung penguasa Israel yang tak henti membantai warga Palestina. Terbunuhnya 40 warga sipil Irak (yang sedang merayakan pesta pernikahan) oleh pasukan pendudukan AS dan terbunuhnya 45 warga sipil Palestina oleh tentara pendudukan Israel baru-baru ini hanya merupakan bagian bentuk terorisme negara yang secara sistematis dilakukan AS dan Israel. Begitu pula jika AS benar-benar hendak memerangi terorisme, seharusnya mereka tidak mempraktikkan politik teror dan teror politik atas warga sipil Irak serta tak lagi mendukung penuh terorisme negara Israel di bawah PM Ariel Sharon. Apa yang dilakukan penguasa Israel terhadap warga Palestina serta yang dilakukan tentara pendudukan AS terhadap warga sipil Irak pada hakikatnya tak lebih dari menanamkan benih-benih terorisme, bahkan mengembang-biakkan terorisme. Setelah Spanyol (salah satu sekutu AS di Eropa) menarik dukungannya atas pendudukan AS di Irak, Pemerintah Inggris di bawah PM Tony Blair-yang selama ini dikenal pendukung setia Bush-menghadapi tekanan dari dalam negeri agar menjaga jarak dengan AS. Tak hanya dari sejumlah pemimpin negara lain yang sebelumnya mendukung politik AS di Irak, tetapi juga dari kalangan tokoh-tokoh Irak sendiri yang sebelumnya mendukung penggulingan rezim Saddam Hussein. Begitu pula popularitas Bush di dalam negeri AS sendiri yang cenderung merosot. Jajak pendapat terakhir menunjukkan hanya 42 persen warga AS yang masih mendukung politik Bush di Irak. Terjalinnya persekutuan antara kaum Syiah dan Sunni Irak serta pembangkangan yang dilakukan tokoh penting Irak pro-AS, Ahmad Chalabi, atas pasukan pendudukan AS menunjukkan betapa makin meningkatnya ketidakpuasan rakyat Irak terhadap kebijakan Bush di Irak. Apalagi keganasan tentara AS kian membabi buta, mengabaikan tempat- tempat suci agama Islam Syiah di Irak, seperti serangan yang dilakukan terhadap sejumlah masjid di kota-kota suci Najaf dan Karbala serta makam Imam Ali. Invasi AS ke Irak yang semula bertujuan “mulia” (menghancurkan senjata pemusnah massal, membebaskan rakyat Irak dari rezim tiran, membasmi terorisme, dan membangun sistem demokrasi di Irak) dalam realitasnya justru terbalik. Setelah invasi dan pendudukan AS berkepanjangan, bangsa dan rakyat Irak kini dihadapkan kehancuran infrastruktur sosial-ekonomi yang luar biasa. Idealnya, penyelesaian tuntas atas tragedi Irak harus dilakukan melalui sebuah konferensi internasional yang disponsori PBB dengan melibatkan seluruh elemen di dalam negeri Irak, negara-negara tetangga Irak, anggota tetap dan tidak tetap Dewan Keamanan PBB, serta pihak-pihak yang berkepentingan dengan stabilitas dan pembangunan politik, sosial, dan ekonomi di Irak, seperti Liga Arab, G-7, OKI, dan Gerakan Nonblok. Bush tak punya banyak pilihan, kecuali jika sekadar meraih kemenangan dalam pemilu AS, 4 November mendatang. BAB III PENUTUP III. 1. KESIMPULAN Bagaimanapun, dalam jawaban, beberapa ahli hukum telah mengungkapkan bahwa AS dapat diwajibkan untuk mengadili beberapa prajuritnya untuk kejahatan perang dan dibawah Konvensi Ketiga dan Keempat, tahanan perang orang sipil yang ditahan dalam suatu perang tak dapat diperlakukan dalam perang yang merendahkan, dan pelanggaran dalam seksi itu adalah “pelanggaran berat”. Invasi AS ke Irak yang semula bertujuan “mulia” (menghancurkan senjata pemusnah massal, membebaskan rakyat Irak dari rezim tiran, membasmi terorisme, dan membangun sistem demokrasi di Irak) dalam realitasnya justru terbalik. Setelah invasi dan pendudukan AS berkepanjangan, bangsa dan rakyat Irak kini dihadapkan kehancuran infrastruktur sosial-ekonomi yang luar biasa. Idealnya, penyelesaian tuntas atas tragedi Irak harus dilakukan melalui sebuah konferensi internasional yang disponsori PBB dengan melibatkan seluruh elemen di dalam negeri Irak, negara-negara tetangga Irak, anggota tetap dan tidak tetap Dewan Keamanan PBB, serta pihak-pihak yang berkepentingan dengan stabilitas dan pembangunan politik, sosial, dan ekonomi di Irak, seperti Liga Arab, G-7, OKI, dan Gerakan Nonblok. Bush tak punya banyak pilihan, kecuali jika sekadar meraih kemenangan dalam pemilu AS, 4 November mendatang. DAFTAR PUSTAKA Istanto Sugeng, S.H.,2000, Hukum Internasional, Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Saleki, Hamid Sultan. 2007. Pelanggaran Hak Asasi Manusia Amerika. Jakarta : Atase Pres Kedubes Iran. -------------------------------------------------- UUD 1945

0 komentar:

Copyright © 2012 Makalah Luarbiasa (Lubis).