Resume Hukum Pengangkutan

BAB I HAL-HAL UMUM PADA PENGANGKUTAN 1. NILAI SUATU BARANG Nilai suatu barang tidak hanya tingkat dari barang itu sendiri, tetapi tingkat pada tempat, dimana barang itu berada, disini jelas bahwa pengangkut pemegang peranan penting dalam lalu lintas perdagangan dalam masyarakat. Peranan pengangkut dalam dunia perdagangan bersifat mutlak, sebab tanpa pengangkutan perusahaan tidak mungkin dapat berjalan. 2. FUNGSI PENGANGKUTAN Pada dasarnya fungsi pengangkutan adalah untuk memindahkan barang atau orang dari suatu tempat yang lain dengan maksud untuk meningkatkan daya guna dan nilai. Jadi dengan pengangkutan maka dapat diadakan perpindahan barang-barang dari suatu tempat yang dirasa barang itu kurang berguna ketempat dimana barang –barang tadi dirasakan akan lebih bermanfaat. Perpindahan barang atau orang dari suatu tempat ketempat yang lain yang diselenggarakan dengan pengangkutan tersebut harus dilakukan dengan memenuhi beberapa ketentuan yang tidak dapat ditinggalkan, yaitu harus diselenggarakan dengan aman, selamat, cepat, tidak ada perubahan bentuk tempat dan waktunya. 3. DEFINISI PENGANGKUTAN Pengangkutan adalah perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim, dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan atau orang dari suatu tempat ketempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar angkutan. Dari pengertian diatas dapat diketahui bahwa pihak dalam perjanjian pengangkut adalah pengangkut dan pengirim. Sifat dari perjanjian pengangkutan adalah perjanjian timbal balik, artinya masing-masing pihak mempunyai kewajiban-kewajiban sendiri-sendiri. Pihak pengangkut berkewajiban untuk menyelenggarakan pengangkutan barang atau orang dari suatu tempat ketempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengiriman berkewajiban untuk membayar uang angkutan. 4. JENIS-JENIS PENGANGKUTAN DAN PERATURAN Dalam dunia perdagangan ada tiga jenis pengangkutan antara lain : a) Pengangkutan melalui darat yang diatur dalam : 1. KUHD, Buku I, Bab V, Bagian 2 dan 3, mulai pasal 90-98. 2. Peraturan khusus lainnya, misalnya, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian. Dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya. 3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi. b) Pengangkutan melalui laut Jenis pengangkutan ini diatur dalam : 1. KUHD, Buku II, Bab V tentang Perjanjian Carter Kapal. 2. KUHD, Buku II, Bab V A tentang pengangkutan barang-barang. 3. KUHD, Buku II, Bab VB tentang pengangkutan orang. 4. Peraturan-peraturan khusus lainnya c) Pengangkutan udara Jenis pengangkutan udara diatur dalam : 1. S. 1939 Nomor 100 ( Luchtvervoerordonnatie ). 2. Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang penerbangan. 3. Peraturan-peraturan khusus lainnya. 5. PENGANGKUT DAN PENGIRIM Pasal 466 dan pasal 521 KUHD menetapkan definisi pengangkut adalah orang yang mengikutkan diri untuk menyelenggarakan pengakut barang/orang dari suatu tempat tujuan tertentu dengan selamat. Pengirim adalah mengikutkan diri untuk membayar uang angkutan. -Beberapa pendapat mengenai kedudukan penerima a. penerima sebagai pihak ketiga yang berkepentingan seperti dalam pasal 1317 KUHPerdata b. penerima sebagai Cessionaris (orang yang menerima cessie) diam-diam mengenai hal pengirim dengan pengangkut c. penerima sebagai pemegang kekuasaan atau penyelenggara urusan (zaakwaarnemer) si pengirim -Kapan penerima mulai mendapat haknya Menurut pasal 1317 ayat (2) KUHPerdata yaitu sejak penerima menyatakan kehendaknya menjadi pihak yang berkepentingan dalam penjualan pengangkutan. Pasal 491 KUHD setelah barang angkutan itu diserahkan di tempat tujuan maka si penerima wajib membayar uang angkutan. 6. SIFAT-SIFAT HUKUM PENGANGKUTAN Dalam perjanjian pengangkutan, kedudukan para pihak yaitu pengangkut dan pengirim sama tinggi atau koordinasi ( geeoordineerd ), tidak seperti dalam perjanjian perburuhan, dimana kedudukan para pihak tidak sama tinggi atau kedudukan subordinasi (gesubordineer ). Mengenai sifat hukum perjanjian pengangkutan terdapat beberapa pendapat, yaitu : a) Pelayanan berkala artinya hubungan kerja antara pengirm dan pengangkut tidak bersifat tetap, hanya kadang kala saja bila pengirim membutuhkan pengangkutan ( tidak terus menerus ), berdasarkan atas ketentuan pasal 1601 KUH Perdata. b) Pemborongan sifat hukum perjanjian pengangkutan bukan pelayanan berkala te- tapi pemborongan sebagaimana dimaksud pasal 1601 b KUH Perdata. Pendapat ini didasarkan atas ketentuan Pasal 1617 KUH Perdata ( Pasal penutup dari bab VII A tentang pekerjaan pemborongan ). c) Campuran perjanjian pengangkutan merupakan perjanjian campuran yakni per- janjian melakukan pekerjaan ( pelayanan berkala ) dan perjanjian penyimpanan ( bewaargeving ). Unsur pelayanan berkala ( Pasal 1601 b KUH Perdata ) dan unsur penyimpanan ( Pasal 468 ( 1 ) KUHD ). -Pemborongan -Perburuhan -Penyimpanan -Pelayaran -Pemberian kuasa 7. ASAS-ASAS HUKUM PERJANJIAN Terdapat empat asas pokok yang mendasari perjanjian pengangkutan, sebagai berikut: 1) asas konsensual= asas ini tidak mensyaratkan bentuk perjanjian angkutan secara tertulis, sudah cukup apabila ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak. Dalam kenyataannya, hampir semua perjanjian pengangkutan darat, laut, dan udara dibuat secara tidak tertulis, tetapi selalu didukung dokumen pengangkutan. Dokumen pengangkutan bukan perjanjian tertulis melainkan sebagai bukti bahwa persetujuan diantara pihak-pihak itu ada. Alasan perjanjian pengangkutan tidak dibuat tertulis karena kewajiban dan hak pihak-pihak telah ditentukan dalam undang-undang. Mereka hanya menunjuk (hal 24) atau menerapkanketentuan undang-undang. 2) asas koordinasi= asas ini mensyaratkan kedudukan yang sejajar antara pihak-pihak dalam perjanjian pengangkutan. Walaupun perjanjian pengangkutan merupakan ”pelayanan jasa”, asas subordinasi antara buruh dan majikan pada perjanjian perburuan tidak berlaku pada perjanjian pengangkutan. 3) asas campuran= perjanjian pengangkutan merupakan campuran dari tiga jenis perjanjian, yaitu pemberian kuasa dari pengirim kepada pengangkut, penyimpan barang dari pengirim kepada pengangkut, dan melakukan pekerjaan pengangkutan yang diberikan oleh pengirim kepada pengangkut. Jika dalam perjanjian pengangkutan tidak diatur lain, maka diantara ketentuan ketiga jenis perjanjian itu dapat diberlakukan. Hal ini ada hubungannya dengan asas konsensual. 4) asas tidak ada hak retensi= penggunaan hak retensi bertentangan dengan fungsi dan tujuan pengangkutan. Penggunaan hak retensi akan menyulitkan pengangkut sendiri, misalnya penyediaan tempat penyimpanan, biaya penyimpanan, penjagaan dan perawatan barang. BAB II 1. EKSPEDITUR Ekspeditur adalah seorang perantara yang bersedia untuk mencairkan pengangkutan yang baik bagi seorang pengirim. Mengenai ekspeditur diatur dalam KUHD Buku I Bab V Bagian II, Pasal 86-90. Jelas bahwa ekspeditur menurut UU hanya sebagai perantara yang bersedia mencairkan pengangkut bagi pengirim dan tidak mengangkut sendiri barang’ yang diserahkan kepadanya itu. Perjanjian yang dibuat antara ekspeditur dan pengirim disebut ekspedisi. Daluarsa bagi gugatan terhadap ekspeditur hanya satu tahun bagi pengirim” dalam wilayah indonesia dan dua tahun terhadap pengirim dari indonesia ke luar negeri. 2. SIFAT HUKUM PERJANJIAN EKSPEDITUR Perjanjian ekspedisi adalah perjanjian timbal balik antara ekspeditur dengan pengirim dimana ekspeditur melibatkan diri untuk mengakibatkan pengangkut yang baik bagi si pengirim, sedangkan si pengirim mengikatkan diri untuk membayar provisi kepada ekspeditur. Perjanjian ekspedisi mempunyai sifat hukum rangkap yaitu “pelayanan berkala’ pasal 1601 KUHPerdata dan “pemberian kuasa” pasal 1792 KUHD, “hubungan komisi” pasal 76 KUHD. 3. TUGAS EKSPEDITUR Menurut pasal 86 ayat 1 KUHD memakai istilah ‘doen bervoren” (menyuruh mengangkut) biasanya ekspeditur bertindak atas nama sendiri walaupun untuk kepentingan dan tanggung jawab pengirim (pasal 455 KUHD) kedudukan ekspeditur adalah sama dengan komisioner yang bisa bertindak atas nama sendiri (pasal 76 KUHD). 4. KEWAJIBAN DAN HAK EKSPEDITUR a. sebagai pemegang kuasa, melakukan perbuatan hukum atas nama pengirim. b. sebagai komisioner, kalau ekspeditur berbuat atas namanya sendiri c. sebagai penyimpanan barang, ekspeditur terpaksa harus menyimpan barang di gudangnya (berwaargeving) d. sebagai penyelenggara urusan (bea cukai di pelabuhan) e. register dan surat muatan f. hak retensi (hak untuk menahan barang) 5. TANGGUNG JAWAB EKSPEDITUR a. menyelenggarakan pengiriman secepatnya setelah barang diterima dari pengirim b.mengendalikan segala upaya untuk menjamin keselamatan barang c. pengambilan barang” dari gudang pengirim d. bila perlu penyimpanan di gudang ekspeditur 6. HUBUNGAN PENERIMA DENGAN PERJANJIAN EKSPEDISI Kalau penerima sudah menerima barang muatan, atau dia menolak karna ada kerusakan atau kekurangan maka bukan hanya bersangkutan dengan pengangkutan saja tetapi juga dengan perjanjian ekspedisi, sejauh dapat diketahui dari dokumen” yang ada, dan si penerima harus membayar angkutan. 7. PENGUSAHA TRANSPORT Orang bertindak sebagai pengusaha transpor (transpordernemer) bila dia menerima barang” tertentu untuk diangkut dengan uang angkutan tertentu pula, juga pengusaha transpor menerima seluruh pengangkutan dengan satu jumlah uang angkutan untuk seluruhnya tetapi tidak sebagian yang diangkutnya sendiri. 8. PENGATUR MUATAN Pengatur muatan (stuwadoor) atau juru padat adalah orang yang tugasnya menetapkan tempat dimana satu barang harus disimpan dalam ruangan kapal. 9. PER-VEEM-AN DAN EKSPEDISI MUATAN Dua perusahaan di bidang pengangkutan adalah usaha yang ditujukan pada penampungan dari penumpukan barang” (warehousing) yang dilakukan dengan mengusahakan gudang” dimana dikerjakan dan disiapkan pada perusahaan pelayaran. BAB III PENGANGKUTAN DARAT BAB IV PENGANGKUTAN LAUT 1.Pengaturan angkutan laut Dasar Hukum Pengaturan Pengangkutan Laut di Indonesia a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata b. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang : pasal 307 s/d pasal 747 c. UU No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, dan UU lain yang terkait d. Peraturan Internasional Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjadi dasar hukum karena Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat digunakan sebagai landasan untuk menghindari kekosongan hukum dalam bidang hukum Pengangkutan. Yaitu apabila di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang tidak ada dan / atau belum diatur, maka kita bisa menemukannya di dalam peraturan perundang-undangan yang sifatnya umum, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Prof. Soekardono kemudian membagi Hukum Laut menjadi 2 (dua) yaitu Hukum Laut Keperdataan dan Hukum Laut Publik. Hukum laut bersifat keperdataan atau privat, karena hukum laut mengatur hubungan antara orang-perorangan. Dengan kata lain orang adalah subjek hukum. Yang dimaksud dengan orang di sini adalah pengirim dan penumpang dengan perusahaan pengangkutan. Sifat dasar dari perjanjian pengangkutan merupakan perjanjian campuran (jasa dan pemborongan), timbal balik (para pihak mempunyai kewajiban untuk melakukan dan berhak memperoleh prestasi) dan konsensual (perjanjian pengangkutan sah terjadinya kesepakatan). Adapun perjanjian pengangkutan laut itu sendiri terbagi atas: 1) Perjanjian Carter Menurut Waktu (Time Charter) Pasal 453 (2) KUHD, Vervrachter mengikatkan diri kepada Bevrachter untuk: - Waktu tertentu - Menyediakan sebuah kapal tertentu - Kapalnya untuk pelayaran di laut bagi Bevrachter - Pembayaran harga yang dihitung berdasarkan waktu Kewajiban pengangkut • Pasal 453 (2) Menyediakan sebuah kapal tertentu menurut waktu tertentu • Pasal 470 jes 459 (4), 308 (3) KUHD • Kesanggupan atas Kapal meliputi mesin dan perlengkapan (terpelihara/ lengkap) dan ABK (cukup dan cakap) Pasal 460 (1) KUHD menyebutkan bahwa kewajiban pencarter untuk memelihara, melengkapi dan menganakbuahi. 2) Perjanjian Carter Menurut Perjalanan (Voyage Charter) Pasal 453 (3) KUHD “Vervrachter mengikatkan diri kepada Bevrachter untuk : - Menyediakan sebuah kapal tertentu - Seluruhnya atau sebagian dari kapal - Untuk pengangkutan orang/barang melalui lautan - Pembayaran harga berdasarkan jumlah perjalanan Kewajiban Pengangkut - Menyediakan kapal tertentu atau beberapa ruanagan dalam kapal tersebut - Pasal 453 (2) KUHD - Pasal 459 (4): terpelihara dengan baik, diperlengkapi, sanggup untuk pemakaian - Pasal 470 (1): Pengangkut tidak bebas untuk mempersyaratkan, bahwa ia tidak bertanggung jawab atau bertanggung jawab tidak lebih daripada sampai jumlah yang terbatas untuk kerugian yang disebabkan karena kurang cakupnya usaha untuk pemeliharaan, perlengkapan atau pemberian awak untuk alat pengangkutnya, atau untuk kecocokannya bagi pengangkutan yang diperjanjikan, maupun karena perlakuan yang keliru atau penjagaan yang kurang cukup terhadap barang itu. Persyaratan yang bermaksud demikian adalah batal. 3) Perjanjian Pengangkutan Barang Potongan - Pasal 520g KUHD: Pengangkutan barang berdasarkan perjanjian selain daripada perjanjian carter kapal - Kapalnya tidak perlu tertentu seperti perjanjian carter Kewajiban Pengangkut - Pasal 468 (1) KUHD: Perjanjian pengangkutan menjanjikan pengangkut untuk menjaga keselamatan barang yang harus diangkut dari saat penerimaan sampai saat penyerahannya. - Pasal 470 (1) • Mengusahakan kesanggupan kapalnya untuk dipakai sesuai perjanjian • Harus benar dalam memperlakukan muatan, dan melakukan penjagaan terhadap barang yang diangkutnya • Yang diutamakan adalah barang/muatan/cargonya sebagai objek perjanjian Tuntutan Ganti Rugi - Jangka Waktu pengajuan Diajukan dalam waktu satu tahun sejak barang diserahkan, atau sejak hari barang tersebut seharusnya diserahkan (pasal 487 KUHD) - Hak previlige: kedudukan si penerima barang didahulukan atas upah pengangkutan, tapi setelah piutang2 yang diistimewakan dalam pasal 316 KUHD ia meminta sita atas pengangkutan terlebih dahulu dalam jangka waktu satu tahun. - Tuntutan diajukan kepada ketua pengadilan negeri setempat, dimana terjadinya penyerahan barang dari pengangkut kepada penerima barang 2. Ciri-ciri Kapal Laut Indonesia Kapal berbendera Indonesia adalah kapal yang memiliki kebangsaan Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Indonesia sebagai negara berdaulat dan anggota masyarakat internasional, berkewajiban untuk memelihara tata tertib pelayaran internasional antara lain dengan memberikan identitas bagi kapal-kapalnya dan meregistrasikannya dengan cermat. Identitas kapal Indonesia secara fisik diperlihatkan dengan mengibarkan bendera Indonesia sebagai bendera kebangsaan kapal dan bukti kebangsaan kapal dituangkan dalam surat Tanda Kebangsaan Kapal Indonesia. Dalam memenuhi kewajiban sebagai negara bendera untuk menetapkan peraturan nasional mengenai pendaftaran dan pemberian kebangsaan kapal serta melaksanakan yurisdiksi dan pengawasan terhadap kapal-kapal yang mengibarkan bendera kebangasaaannya, Indonesia telah memiliki undang-undang dan berbagai peraturan pelaksanaannya dibidang administratif, teknis dan sosial, yang terbaru adalah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (UU.17/2008). Pasal 117 ayat (2) mengatur bahwa setiap kapal sesuai dengan daerah pelayaranya harus memenuhi pesyaratan kelaiklautan kapal yang salah satu unsurnya adalah status hukum kapal. Menurut Pasal 154 status hukum kapal dapat ditentukan setelah melalui proses : 1. Pengukuran kapal 2. Pendaftaran kapal, dan 3. Penetapan kebangsaan kapal Dari ketentuan Pasal 154 dapat kita simpulkan bahwa pengibaran bendera kebangsaan juga menunjukan status hukum kapal. Karena dari bendera tersebut dapat ditelusuri kebangsaan kapal, hukum yang berlaku diatas kapal dan pemilik kapal. 3. Pendaftaran Kapal 1. Dasar Hukum a. Pasal 314 KUHD b. Peraturan Pendaftaran kapal Stbl. 1933 No.48 c. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran d. Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2002 tentang Perkapalan e. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM.26 Tahun 2006 tentang Penyederhanaan Sistem dan Prosedur Pengadaan Kapal dan Penggunaan /Penggantian Bendera Kapal. f. Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 (UNCLOS 1982) yang diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985. Pendaftaran kapal pada dasarnya adalah pendaftaran hak milik atas kapal. Hak milik merupakan bagian dari hukum benda dalam kerangka hukum perdata. Karena itu dasar hukum utama dari pendaftaran kapal adalah Pasal 314 KUHD yang merupakan “lex spesialis” dari KUH Perdata dan Stbl 1933 No. 48 sebagai peraturan pelaksanaannya. Karena pendaftaran kapal merupakan bagian dari status hukum kapal dalam kerangka kelaiklautan kapal, maka UU No.17/2008 dan PP. 51/2002 juga mengatur tentang pendaftaran kapal, tetapi hanya terbatas kepada pesyaratan dan tata cara pendaftaran kapal atau aspek hukum publiknya saja. 2. Ruang Lingkup Pendaftaran kapal meliputi : a. Pendaftaran hak milik, b. Pembebanan hipotek c. Pencatatan hak kebendaan lainnya atas kapal. Pembebanan hipotek dan hak kebendaan lainnya atas sebuah kapal baru dapat dilakukan bila hak milik atas kapal dimaksud telah didaftarkan. 3. Tujuan a. Mewujudkan hubungan yang sungguh-sungguh antara kapal dengan Indonesia sebagai negara bendera, agar dapat memperoleh surat tanda kebangsaan kapal sebagai legalitas mengibarkan bendera Indonesia sebagai bendera kebangsaan kapal. b. Memberikan identitas yang jelas (fisik dan pemilik) kepada kapal sehingga dapat dibedakan satu sama lain. c. Mencatat dan mengikuti terus menerus beban-beban, hak-hak tanggungan dan sebagainya yang melekat pada kapal yang bersangkutan. d. Mencatat dan mengikuti terus menerus setiap perubahan yang terjadi atas kapal yang bersangkutan, baik nama, mesin maupun badan kapal. e. Dapat dijadikan jaminan hutang (hipotek). Secara umum dapat dikatakan bahwa pendaftaran kapal dimaksudkan agar kapal yang bersangkutan selalu dapat diidentifikasikan sepanjang umur operasinya, karena itu setiap perubahan atas nama, pemilikan, ukuran dan spesifikasinya, tanda-tanda lain dari kapal harus secara jujur dilaporkan kepada pejabat pendaftaran kapal ditempat kapal didaftarkan. 4. Aspek Hukum a. Hukum Perdata 1) Pendaftaran kapal pada dasarnya adalah pendaftaran hak milik atas kapal. 2) Kapal yang telah didaftarkan dapat dijadikan jaminan atas hutang dengan cara pembebanan hipotek atas kapal. 3) Kapal yang telah didaftar dapat dibebani hak kebendaan lainnya. b. Hukum Publik 1) Kapal yang telah didaftarkan dapat memperoleh Surat Tanda Kebangsaan Kapal Indonesia. 2) Kapal yang telah memperoleh Surat Tanda Kebangsaan Kapal Indonesia wajib memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal baik nasional maupun internasional sesuai ukuran dan daerah pelayaran. 4. Jenis-jenis Angkutan Laut Berdasarkan pasal 7 UU No 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, jenis angkutan laut terdiri atas : Angkutan Laut Dalam Negeri, Angkutan Laut Luar Negeri, Angkutan Laut Khusus, dan Angkutan Laut Pelayaran Rakyat. 1. Angkutan Laut Dalam Negeri adalah kegiatan angkutan laut yang dilakukan di wilayah perairan Indonesia yang diselenggarakan oleh perusahaan angkutan laut nasional atau dalam arti dilakukan dengan menggunakan batas-batas kedaulatan dalam negara. Pelayaran dalam negeri yang meliputi: a) Pelayaran Nusantara, yaitu pelayaran untuk melakukan usaha pengangkutan antar pelabuhan Indonesia tanpa memandang jurusan yang ditempuh satu dan lain sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Radius pelayarannya > 200 mil laut b) Pelayaran Lokal, yaitu pelayaran untuk melakukan usaha pengangkutan antar pelabuhan Indonesia yang ditujukan untuk menunjang kegiatan pelayaran nusantara dan pelayaran luar negeri dengan mempergunakan kapal-kapal yang berukuran 500 m3 isi kotor ke bawah atau sama dengan 175 BRT ke bawah. Radius pelayarannya < 200 mil laut atau sama dengan 200 mil laut. c) Pelayaran Rakyat, yaitu pelayaran Nusantara dengan menggunakan perahu-perahu layar. 2. Angkutan Laut Luar Negeri adalah kegiatan angkutan laut dari pelabuhan atau terminal khus us yang terbuka bagi perdagangan luar negeri ke pelabuhan luar negeri atau dari pelabuhan luar negeri ke pelabuhan atau terminal khusus Indonesia yang terbuka bagi perdagangan luar negeri yang diselenggarakan oleh perusahaan angkutan laut[10] atau dalam artian dilakukan dengan pengangkutan di lautan bebas yang menghubungkan satu negara dengan negara lain. Pelayaran luar negeri, yang meliputi: a) Pelayaran Samudera Dekat, yaitu pelayaran ke pelabuhan- pelabuhan negara tetangga yang tidak melebihi jarak 3.000 mil laut dari pelabuhan terluar Indonesia, tanpa memandang jurusan; b) Pelayaran Samudera, yaitu pelayaran ke- dan dari luar negeri yang bukan merupakan pelayaran samudera dekat. 3. Angkutan Laut Khusus adalah kegiatan angkutan untuk melayani kepentingan usaha sendiri dalam menunjang usaha pokoknya. 4. Angkutan Laut Pelayaran-Rakyat adalah usaha rakyat yang bersifat tradisional dan mempunyai karakteristik tersendiri untuk melaksanakan angkutan di perairan dengan menggunakan kapal layar, kapal layar bermotor, dan/atau kapal motor sederhana berbendera Indonesia dengan ukuran tertentu. 5. Konosemen / Bill of Loading Bill of Lading (B/L) dalam KUHD masih menggunakan sebugtan konosemen yaitu terjemahan dari WvK Cognossement, dimana pengertiannya terdapat dalam: a) Hamburg Rules : “Bill of lading means a document which evidences a contract of carriage by sea and the taking over or loading of the goods againts surrender document. A provision in the document that the goods are to be delivered to the order of a named person, or, to order, or to bearer, constitutes such an undertaking”. b) Pasal 506 ayat (1) KUHD: “Konosemen ialah sepucuk surat yang ditanggali ddimana pengangkut menyatakan, bahwa ia telah menerima barang-barang tertentu untuk diangkut ke suatu tempat tujuan yang ditunjuk dan disana menyerahkan kepada orang yang ditunjuk, beserta dengan klausula-klausula apa penyerahan terjadi.” Berdasarkan kutipan tersebut, dapat dismpulkan bahwa konosemen atau B/L berfungsi sebagai: 1) Surat tanda terima barang dari pengangkut untuk pengirim/penerima 2) Surat bukti perjanjian pengangkutan. 3) Surat bukti pemilikan barang[17] 4) Surat berharga[18] B/L yang dapat diperdagangkan ditandai dengan tulisan “Original dan yang tidak dapat diperdagangkan dengan tanda “Not Negotiable”. B/L yang tergolong atas pengganti apabila diperalihkan harus menggunakan cara endosemen dan penyerahan suratnya (pasal 508 KUHD). Ketentuan mengenai B/L dapat dilihat dalam pasal 506 KUHD dan seterusnya (506, 507,509, 510, 513, 514, 515, 516, 517 & 517A ), pasal III ayat 3 Hague Rules dan pasal 14 ayat 1 Hamburg Rules. v Macam-macam B/L: 1) Berdasarkan cara penerbitannya: a) Rekta B/L, yaitu B/L yang cara peralihannya dengan Cessie b) Order B/L, yaitu B/L yang cara peralihannya dengan endorsement, terdiri dari order of shipper B/L atau order blanko atau konosemen blanko. 2) Berdasarkan nilai yang terkandung di dalamnya: a) Clean B/L b) Dirty B/L 3) Berdasarkan pelabuhan tujuan : a) Direct/straight B/L b) Optional B/L c) Through B/L 6. Carter / Penyewaan Kapal 1. Pengertian Umum Chater Kapal Seperti yang kita ketahui bersama bahwa Charter Kapal adalah merupakan kegiatan sewa menyewa ruang kapal. Didalam dunia pelayaran, Charter Kapal dapat kita ketahui ada tiga jenis system Charter kapal Yaitu : a. Time Charter adalah system penyewaan kapal antara pemilik kapal ( Ship’s Owner) dengan Penyewa (Charterer) yang di dasarkan pada jangka waktu (lamanya penyewaan) yang di setujui bersama oleh kedua belah pihak • Persyaratan umum 1. Pemilik kapal, menerima sejumlah uang sewa ( charterer hire rate) dari pihak penyewa ( Charterer) selanjutnya menyerahkan kapal dimaksud kepada penyewa untuk dipergunakan mengangkut sejumlah barang muatan. 2. Waktu penyewaan( Lamanyan sewa menyewa) telah di tentukan ( satu,tiga,enam bulan atau satu tahun) 3. Ditentukan pula biaya-biaya apa saja yang menjadi beban pihak pemilik kapal dan penyewa kapal. 4. Semua beban yang terkait dengan kapal ( gaji ABK,perawatan kapal, perbekalan dan lain-lainnya) menjadi beban tanggungan pihak pemilik kapal ( ship’s owner) tetapi biaya-biaya pelabuhan sandar,DSB dimana kapal yang di sewa itu singgah/ meninggalkan pelabuhan, bahan bakar minyak,air minum dan biaya-biaya lain terkait dengan kepentingan penyewa, maka semua beban biaya tersebut, menjadi tanggung jawab pihak penyewa ( Charterer) B. Voyage Charterer adalah suatu system penyewa kapal antara pemilik dan penyewa kapal atas dasar satu atau beberapa trayek angkutan./perjalanan kapal, dimana untuk trayek dimaksud, pemilik kapal akan menyerahkan seluruh atau sebagian ‘Ruang Muatan’ ( Cargo Space Available), Kepada penyewa Setelah yang bersangkutan membayar tariff sewa per voyage ( Trayek perjalanan/ pengangkutan) o Ketentuan umum: 1. Pemilik kapal akan menanggung semua biaya-biaya kapal baik saat kapal berada di pelabuhan, dalam proses pengangkutan, semua biaya-biaya kebutuhan kapal termaksuk bahan bakar dan air minum. 2. Penyewa hanya berkewajiban mambayar uang sewa muatan sesuai tariff yang telah di sepakati bersama untuk satu trayek angkutan ( Voyage Hire Rate) C. Bareboat Charter adalah suatu system sewa menyewa kapal, dimana pihak pemilik kapal, menyerah kapal dalam keadaan kosong, tanpa ABK tetapi lengkap dengan segel sarana/peralatan dan perlengkapan kapal untuk berlayar secara aman, setelah menerima uang sewa( Hire Rate) dari pihak penyewa ( Charterer) 1. Hal-Hal yang di tulis dalam Perjanjian Charter ( Charter Party/ Surat perjanjian laut) Dalam melakukan sewa menyewa kapal (chartere kapal) adapun hal-hal yang di tulis dalam melakukan perjanjian antara lain: Ø Nama pencharter / alamat Ø Nama alamat perusahaan pemilik kapal Ø System pengangkutan ( Fiost) Ø Waktu kedatangan kapal Ø Nama pelabuhan muat dan pelabuhan tujuan Ø Tarif sewa Ø Term pembayaran Ø Jumlah barang yang di angkut Ø Tanggal muat dan sangsi Ø Sistem bongkar muat Ø Kewajiban pihak penyewa Ø Ketentuan mengenai jangka waktu Ø Ketentuan mengenai General Average Ø Ketentuan Force Majeure Ø Penyelesaian perselisihan Ø Seluk beluk kapal melipiti : Nama kapal Tahun pembuatan kapal Status kapal ( milik,keganan/charter) Bendera GRT/NRT DWT ( Dead weight ton) Kapasitas muat Lain-lain atau ketentuan khusus 7. Sifat Usaha Pelayaran Pembagian jenis usaha pelayaran menurut sifat yang ada di perusahaan memiliki 2 bentuk usaha pelayaran yakni : 1. Pelayaran Tetap Ialah pelayaran yng dijalankan secara tetap dan teratur, baik dalam hal keberangkatan maupun kedatangan kapal di pelabuhan, dalam hal ini trayek dan tarif angkutan serta dalam hal syarat syarat perjanjian pengangkutan 2. Pelayaran tidak tetap Merupakan peleyaran bebas yang tidak terikat, dengan kesatuan kesatuan formal apapun. Kapal dalam melakukan pelayaran kemana sja dan membawa muatan ap saja sepanjang tidak dilarang oleh kesatuan Negara 8. Tanggung jawab Pengangkut Pasal 468 KUHD menyebutkan bahwa tanggung jawab si pengangkut antara lain: (ayat 1) “Persetujuan pengangkutan mewajibkan si pengangkut untuk menjaga akan keselamatan barang yang harus diangkutnya, mulai saat diterimanya hingga saat diserahkannya barang tersebut.” (ayat 2) “Si pengangkut diwajibkan mengganti segala kerugian yang disebabkan karena barang tersebut seluruhnya atau sebagian tidak dapat diserahkannya, atau karena terjadi kerusakan pada barang itu, kecuali apabila dibuktikannya bahwa tidak diserahkannya barang atau kerusakan tadi disebabkan oleh suatu malapetaka yang selayaknya tidak dapat dicegah maupun dihindarkannya, atau cacat daripada barang tersebut, atau oleh kesalahan dari si yang mengirimkannya.” (ayat 3) “Ia bertanggung jawab untuk perbuatan dari segala mereka, yang dipekerjakannya, dan untuk segala benda ya ng dipakainya dalam menyelenggarakan pengangkutan tersebut.” 3) Pengirim barang a) Pemegang kuasa b) Komisioner c) Penyimpan barang d) Penyelenggara usaha Selain ekspeditur dalam pengangkutan laut dikenal pula pihak-pihak yang terkait lainnya, yaitu sbb: a) Pengatur muatan b) Per-Veem-An/Ekspedisi Muatan Laut Menurut pasal 1 PP no 2 tahun 1969 yang dimaksudkan dg Per-Veem-An ialah: “Usaha yang ditujukan kpd penampungan dan penumpukan barang-barang yang dilakukan dg mengusahakan gudang-gudang, lapangan-lapangan, dimana dikerjakan dan disiapkan untuk diserahkan kepada perusahaan pelayaran untuk dikapalkan, yang meliputi: antara lain kegiatan ekspidisi muatan, pengepakan, pengepakan kembali, sortasi, penyimpanan, pengukuhan, penendaan dan lain-lain pekerjaan yang bersifat teknis ekonomis yang diperlukan perdagangan dan pelayaran.” 9. Nahkoda Nakhoda adalah salah seorang dari Awak Kapal yang menjadi pemimpin tertinggi di kapal dan mempunyai wewenang dan tanggung jawab tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kewenangan dan Hak Nahkoda 1. Setelah tiba di suatu pelabuhan, nahkoda dapat menyuruh pegawai yang berwenang untuk membuat keterangan kapal mengenai kejadian dalam perjalanan. 2. Bila sangat diperlukan, demi keselamatan kapal atau muatannya, nahkoda berwenang untuk melemparkan ke laut atau memakai habis perlengkapan kapal dan bagian dari muatan. 3. Nahkoda dalam keadaan darurat selama perjalanan berwenang untuk mengambil dengan membayar ganti rugi, bahan makanan yang ada pada para penumpang atau yang termasuk muatan, untuk digunakan demi kepentingan semua orang yang ada di kapal. 4. Nahkoda mempunyai kekuasaan disipliner atas anak buah kapal. Untuk mempertahankan kekuasaan ini ia dapat mengambil tindakan yang selayaknya diperlukan. 5. Nahkoda mempunyai kekuasaan di kapal atas semua penumpang. Mereka wajib menaati perintah yang diberikan oleh nahkoda untuk kepentingan keamanan atau untuk mempertahankan ketertiban dan disiplin.

0 komentar:

Copyright © 2012 Makalah Luarbiasa (Lubis).