Resume Hukum Perikatan

BAB I Pendahuluan A. Istilah Perikatan Istilahnya mempergunakan “Verbintenis” dan “Overeenkomst” 1. Dalam KUHPerdata: “Verbintenis” = Perikatan “ Overeenkomst” = Persetujuan 2. Menurut Utrecht : “Verbintenis” = Perutangan “Overeenkomst” = Perjanjian 3. Menurut Achmad Ichsan : “Verbintenis = Perjanjian “Overeenkomst” = Persetujuan Dari Uraian tersebut Dikenal istilah: “Verbintenis” = - Perikatan - Perutangan - Perjanjian “Overeenkomst” = - Perjanjian - Persetujuan “Verbintenis” berasal dari kata kerja “Verbinden” yang artinya “Mengikat” Jadi “Verbintenis” menunjuk kepada adanya “Ikatan” atau “hubungan” Maka cenderung dipergunakan istilah “Perikatan” “Overeenkomst” berasal dari kata kerja “Overeenkomen” yang artinya “setuju” atau “sepakat”. Jadi, “Overeenkoms” mengandung kata “sepakat” sesuai dengan azas “Konsensualisme” yang dianut oleh KUHPerdata. B. Pengertian Perikatan Undang-undang tidak memberikan pengertian tentang Perikatan. Oleh karena itu harus disimpulkan dari ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Buku III itu sendiri. Dalam Buku III dapat disimpulkan bahwa “Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang terletak di bidang hukum kekayaan yang mengatur hubungan hukum antara dua orang atau lebih, dimana pihak yang satu berhak atas Prestasi sedangkan pihak yang lain wajib melaksanakan / memenuhi Prestasi tersebut.” Kalau diteliti dalam pengertian tersebut terkandung beberapa aspek. a. Hukum Jika perlu Prestasi yang diperjanjikan itu dapat dipaksakan realisasinya. b. Hukum Kekayaan Bahwa apa saja yang diperjanjikan menyangkut hal-hal yang dapat dinilai dengan uang. c. Hubungan Antara Hubungan antar orang yang satu dengan yang lain. Jadi, Perikatan itu menghubungkan dua pihak dalam suatu hubungan hukum, dimana bila perlu pihak yang satu dapat menuntut realisasi dari apa yang diperjanjikan oleh pihak lain. Jadi, mengatur hubungan hukum antara orang dengan orang. Hal ini yang membedakannya dengan “Hukum Kebendaan”, yang menghubungkan hubungan hukum antara orang denga benda, dalam arti orang tersebut menguasai benda tersebut. Hubungan Perikatan dinamakan hubungan yang bersifat perorangan dan hanya berlaku terhadap dua orang yang bersangkutan (sifat relative) dalam Perikatan tersebut. Hubungan kebendaan meletakkan hubungan antara orang dengan benda (sifat absolute), yakni dapat dipertahankan terhadap setiap orang yang mengganggu. C. Obyek Perikatan Yang dimaksud dengan obyek Perikatan ialah segala sesuatu yang diperjanjikan oleh kedua belah pihak yang bersangkutan. Obyek Perikatan dinamakan Prestasi Perikatan. Menurut Pasal 1234 KUHPerdata, Prestasi dapat berupa: a. Kewajiban untuk memberikan sesuatu; b. Kewajiban untuk berbuat sesuatu; c. Kewajiban untuk tidak berbuat sesuatu Kewajiban untuk memberikan Sesuatu ialah kewajiban untuk memberikan hak milik / hak penguasaan atau hak memilki sesuatu. Kewajiban untuk berbuat sesuatu adalah Segala perbuatan yang bukan memberikan sesuatu, misalnya membangun gedung. Kewajiban untuk tidak berbuat sesuatu adalah kewajiban yang menjanjikan untuk tidak berbua sesuatu yang telah diperjanjikan. Misalnya, pedagang beras A yang berjualan disebelah pedagang beras B berjanji untuk tidak menurunkan harga berasnya, yang dimaksudkan untuk menyainginya. D. Subyek Perikatan Para pihak pada suatu perikatan disebut Subyek-Subyek Perikatan, yakni Kreditur yang berhak dan debitur yang berkewajiban atas Prestasi. Kedudukan Kreditur, tidak dapat diganti secara sepihak misalnya: Cessie Akan tetapi dapat diganti dengan menggunakan klausula atas tunjuk dan atas bawa Penggantian debitur secara sepihak pada umumnya tidak pernah terjadi. E. Hak Relatif dan Absolut a. Hak Mutlak (Hak Absolut) Hak mutlak (hak absolut) terdiri dari : a. Hak kepribadiaaan, misalnya hak atas namanya, hidup, dan kemerdekaan. b. Hak-hak yang terletak dalam hukum keluarga, yakni hak yang timbul karena adanya hubungan antara suami istri dan hubungan orang tua dan anak. c. Hak mutlak atas sesuatu benda inilah yang disebut hak kebendaan. b. Hak Nisbi (Hak Relatif) Hak nisbi adalah semua hak yang timbul karena adanya hubungan utang-piutang, sedangkan utang-piutang timbul dari perjanjian dan undang-undang. 1. Penggolongan hak kebendaan a. Hak kebendaan yang sifatnya memberikan kenikmatan atas suatu benda (zakelijk genotsrecht). Contohnya hak milik atas benda bergerak dan hak yang memberikan kenikmatan atas benda milik orang lain. b. Hak kebendaan yang sifatnya memberikan jaminan atas pelunasan. Contohnya gadai yang merupakan jaminan utang atas benda bergerak dan hipotik sebagai jaminan atas benda tidak bergerak. 2. Cara memperoleh hak milik atas suatu benda a. Pelekatan b. Daluwarsa c. Pewarisan d. Penyerahan F. Schuld dan Haftung Pada setiap perikatan selalu terdapat 2 pihak yaitu Kreditor sebagai pihak yang berhak atas suatu prestasi dan Debitor sebagai pihak yang wajib berprestasi. Pada terdapat 2 unsur yakni schuld dan haftung. Schuld merupakan kewajiban Debitor untuk melakukan sesuatu terhadap Kreditor, sedang haftung merupakan kewajiban Debitor mempertanggung jawabkan harta kekayaan Debitor sebagai pelunasan schuld. Dalam hal perjanjian hutang piutang, schuld merupakan utang Debitor kepada Kreditor. Setiap Debitor memiliki kewajiban untuk menyerahkan prestasi kepada Kreditor, oleh karena itu Debitor mempunyai kewajiban untuk membayar pelunasan hutang. Sedangkan, haftung merupakan harta kekayaan Debitor yang dipertanggungjawabkan sebagai pelunasan hutang tersebut. Debitor tersebut berkewajiban untuk membiarkan Kreditor untuk mengambil harta kekayaannya sebanyak hutang yang dimiliki oleh Debitor untuk pelunasan hutang tersebut apabila Debitor tidak memenuhi kewajibannya untuk membayar pelunasan hutang tersebut. Setiap Kreditor yang memiliki piutang kepada Debitor memiliki hak menagih atas pembayaran pelunasan piutang tersebut jika Debitor tidak memenuhi prestasinya untuk pelunasan pembayar hutangnya. Di dalam Hukum Perdata, disamping memiliki hak menagih (vorderingerecht), Kreditor memiliki hak menagih kekayaan Debitor sebasar piutang yang miliki oleh Debitor tersebut (verhaalarecht). Berdasarkan Pasal 1131 KUHPerdata yang mengatur bahwa “Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru aka nada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”. Dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa pasal tersebut mengandung asas bahwa kekayaan Debitor dipertanggung jawabkan sebagai penulasan hutangnya kepada Kreditor. Namun, terdapat penyimpangan antara schuld dan haftung, yakni: 1. Schuld tanpa Haftung Hal ini dapat dijumpai dalam perikatan alam (natuurlijke verbentenis). Dalam perikatan alam sekalipun Debitor memiliki hutang (schuld) kepada Kreditor, namun jika Debitor tidak melaksanakan prestasinya, Kreditor tidak dapat menuntut pemenuhannya. Contohnya dapat ditemukan dalam hutang yang timbul karena perjudian. Sebaliknya jika Debitor memenuhi prestasi, Debitor tidak dapat menuntut pengembalian apa yang telah dibayarkan. 2. Schuld dengan Haftung terbatas Dalam hal ini Debitor tidak bertanggung jawab dengan seluruh harta kekayaannya, akan tetapi terbatas sampai dengan jumlah tertentu atau atas barang tertentu. Contoh: ahli waris yang menerima warisan dengan hak pendaftaran berkewajiban untuk membayar schuld daripada pewaris samapai schuld jumlah harta kekayaan pewaris yang diterima oleh ahli waris tersebut. 3. Haftung dengan Schuld pada pihak lain Jika pihak III menyerahkan barangnya untuk dipergunakan sebagai jaminan oleh Debitor kepada Kreditor maka walupun dalam hal ini pihak III tidak memiliki hutang kepada Kreditor akan tetapi pihak III tersebut bertanggung jawab atas hutang Debitor dengan barang yang dipakai sebagia jaminan. Hal ini dapat dikatakan sebagi bourtogh (pertanggungan). Contoh: A mengadakan perjanjian hutang piutang dengan B akan tetapi C bersedia menjaminkan barang yang dimilikinya untuk pelunasan hutang yang dimiliki oleh A terhadap B walaupun C tidak memiliki hutang terhadap B. G. Eksekusi rill Kuasa Kreditur yang dikuasakan oleh Hakim / melalui putusan Hakim untuk mewujudkan / merealisasikan hak Kreditur tersebut baik “Prestasi Primair” maupun “Prestasi Subsidiair” Berdasarkan Pasal 1240 dan 1241 KUHPerdata;  Apa yang dijanjikan  Prestasi Primer  Ganti Rugi  Prestasi Subsidiair Pasal 1240 KUHPerdata Pada “Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu” kreditur berhak menuntut penghapusan segala sesuatu yang telah diperjanjikan dan Kreditur diperbolehkan untuk meminta Kuasa dari Hakim untuk menghapuskan perjanjian tersebut atas biaya Debitur , dengan tidak mengurangi Hak-nya untuk menuntut ganti rugi jika ada alasan untuk itu. Pasal 1241 KUHPerdata Pada “Perjanjian untuk berbuat sesuatu” , jika Perjanjian tidak dilaksanakan maka Kreditur dapat juga dikuasakan agar dia sendiri yang mengusahakan pelaksanaannya atas biaya Debitur. Permintaan Lain Kreditur dapat meminta kepada Pengadilan, supaya meminta penetapan adanya “Uang Paksa” untuk mendorong Debitur supaya jera, dan Kreditur juga dapat meminta agar Debitur dihukum untuk membayar sejumlah uang sebagai Ganti Rugi. Eksekusi Riil yang dapat dilakukan adalah Pada Barang Bergerak yang tertentu (barang yang sudah disetujui dan jelas apa barangnya). Eksekusi Riil yang tidak dapat dilakukan adalah pada Barang Tidak Bergerak, Contohnya Tanah karena Eksekusi ini memerlukan suatu Akta Kepemilikan dari Obyek Perjanjian tersebut. Eksekusi dapat dilakukan asal Barang tidak Bergerak tersebut benar-benar telah diikat secara sah untuk meng-cover apabila Debitur Wanprestasi / Cidera janji. Eksekusi riil dalam hal ini harus dengan Putusan Hakim (berdasarkan Pasal 1171 ayat 3 KUHPerdata). H. Sistematik Buku III BW Susunan buku III KUHPerdata tentang perikatan terdapat 4 (empat) bab berisi ketentuan umum dan 14 (empat belas) bab berisi ketentuan hukum. Bab I : tentang perikatan-perikatan umumnya. Bab II : tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau persetujuan, atau lahir dari perjanjian saja. Bab III : tentang perikatan –perikatan yang dilahirkan demi undang-undang. Bab IV : tentang hapusnya perikatan. Pembagian perikatan berdasarkan cirri-ciri tertentu dapat dikelompokan berdasarkan sumbernya, berdasarkan isinya, sifat prestasinya. Berdasarkan sumbernya: 1. perjanjian sebagai sumber perikatan. 2. undang-undang sebagai sumber perikatan. Berdasrkan isi prestasinya: 1. perikatan untuk memberikan sesuatu. 2. perikatan untuk melakukan sesuatu. 3. perikatan untuk tidak melakukan sesuatu. Pembagian perikatan menurut doktrin: 1. perikatan perdata dan perikatan alamiah. 2. perikatan pokok/principal dan perikatan accessoir. 3. perikatan primer dan sekunder. 4. perikatan sepintas dan perikatan memakan waktu. 5. perikatan yang positip dan perikatan negative. 6. perikatan yang sederhana dan perikatan yang komulatif. 7. perikatan fakultatif dan perikatan alternative. 8. perikatan yang dapat dibagi-bagi dan tidak dapat dibagi-bagi. BAB II Perikatan Pada Umumnya A. Kenyataan-kenyataan Hukum Kenyataan hukum adalah suatu kenyataan yang menimbulkan akibat hukum, yaitu terjadinya, berubahnya, hapusnya, dan beralihnya hak subyektif, baik dalam bidang hukum keluarga, hukum benda maupun hukum perorangan. Kelahiran adalah kenyataan hukum sedangkan akibat hukumnya adalah kewajiban-kewajiban untuk memelihara dan memberikan pendidikan. Kenyatan-kenyataan hukum dibedakan kedalam : I. Perbuatan-perbuatan hukum Perbuatan-perbuatan hukum adalah perbuatan-perbuatan dengan mana orang yang melakukan perbuatan itu bermaksud untuk menimbulkan suatu akibat hukum. Perbuatan-perbuatan hukum ini dapat dibedakan kedalam: a. perbuatan-perbuatan hukum bersegi satu. Ini adalah perbuatan hukum yang untuk terjadinya cukup dengan pernyataan kehendak dari seorang saja. b. perbuatan-perbuatan hukum bersegi dua atau jamak. Ini adalah perbuatan hukum yang untuk terjadinya disyaratkan kata sepakat antara dua orang atau lebih. Jadi merupakan persetujuan. II. Perbuatan-perbuatan yang bukan merupakan perbuatan hukum. Adakalanya undang-undang memberi akibat hukum kepada perbuatan-perbuatan di mana orang yang melakukannya tidak memikirkan sama sekali kepada akibat-akibat hukumnya. Perbuatan ini dibagi dalam dua golongan : a. perbuatan menurut hukum. Misalnya, perwakilan sukarela (zaawaarneming) dan pembayaran tidak terutang. b. perbuatan melawan hukum. Ketentuan pokok dari ajaran ini diatur dalam pasal 1365 sampaidengan pasal 1380 BW. III. Peristiwa-peristiwa hukum. Adakalanya undang-undang memberi akibat hukum pada suatu keadaan atau peristiwa, yang bukan terjadi karena perbuatan manusia: pekarangan yang bertetangga; kelahiran dan kematian. B. Sumber-sumber Perikatan Pasal pertama dari buku III undang-undang menyebutkan tentang terjadinya perikatan-perikatan dan mengemukakan bahwa perikatan-perikatan timbul dari persetujuan atau undang-undang. C. Memberi, Berbuat dan Tidak Berbuat Pasal pertama dari Buku III BW membagi perikatan berdasarkan sumbernya dan pasal kedua membedakan perikatan menurut isinya: memberi, berbuat dan tidak berbuat. Mengenai perikatan untuk tidak berbuat tidak menimbulkan persoalan, karena prestasi debitur hanya berupa tidak melakukan sesuatu atau membiarkan orang lain berbuat sesuatu misalnya, tidak akan mendirikan bangunan atau tidak akan menghalangi seseorang mendirikan bangunan. Dalam menentukan batas antara memberi dan berbuat seringkali menimbulkan keragu-raguan. Walaupun menurut tata bahasa memberi adalah berbuat, akan tetapi pada umumnya yang diartikan dengan memberi adalah menyerahkan hak milik atau memberi kenikmatan atas suatu benda. Misalnya, penyerahan hak milik atas sebuah rumah atau memberi kenikmatan atas barang yang disewa kepada si penyewa. Adapun yang dimaksud dengan berbuat adalah setiap prestasi yang bersifat positif yang tidak berupa memberi, misalnya, melukis atau menebang pohon. D. Keslahan, Kelalaian dan Kesengajaan Debitur yang berkewajiban menyerahkan suatu barang, akan tetapi tidak memelihara barangnya sebagaimana disyaratkan oleh Undang-undang, bertanggungjawab atas berkurangnya nilai harga barang tersebut karenakesalahannya. Di sini kita jumpai perkataan “kesalahan”, maka timbul pertanyaan apakah yang dimaksud perkataan tersebut? Untuk adanya kesalahan harus dipenuhi syarat-syarat : 1. kesalahan yang dilakukan harus dapat dihindarkan; 2. perbuatan tersebut dapat dipersalahkan kepada si pembuat, yaitu bahwa ia dapat menduga tentang akibatnya. Kesalahan mempunyai dua pengertian, yaitu dalam arti luas yang meliputi kesengajaan dan kelalaian dan dalam arti sempit yang hanya mencakup kelalaian saja. Kesengajaan adalah perbuatan yang dilakukan diketahui dan dikehendaki. Sedangkan kelalaian adalah perbuatan, di mana si pembuatnya mengetahui akan kemungkinan terjadinya akibat yang merugikan orang lain. Persetujuan adalah batal, jika persetujuan yang membatasi akibat-akibat tersebut bertentangan dengan kesusilaan atau jika mengandung kalausula yang meniadakan pertanggungjawaban atas kesengajaan yang dibuatnya sendiri. E. Ingkar Janji dan Penetapan Lalai 1. Ingkar Janji Pada debitur terletak kewajiban untuk memenuhi prestasi. Dan jika ia tidak melaksanakan kewajibannya tersebut bukan karena keadaan memaksa maka debitur dianggap melakukan ingkar janji. Ada tiga bentuk ingkar janji, yaitu : a. Tidak memenuhi prestasi sama sekali; b. Terlambat memenuhi prestasi; dan c. Memenuhi prestasi secara tidak baik. Sehubungan dengan dibedakannya ingkar janji seperti tersebut di atas, timbul persoalan apakah debitur yang tidak memenuhi prestasi tepat pada waktunya harus dianggap terlambat atau tidak memenuhi prestasi sama sekali?. Dalam hal debitur tidak lagi mampu memenuhi prestasinya, maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali. Sedangkan jika prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka digolongkan ke dalam terlambat memenuhi prestasi. Jika debitur memenuhi prestasi secara tidak baik, ia dianggap terlambat memenuhi prestasi jika prestasinya masih dapat diperbaiki dan jika tidak, maka dianggap tidak memenuhi prestasi sama sekali. Dalam hal debitur melakukan ingkar janji, kreditur dapat menuntut : a. Pemenuhan perikatan; b. Pemenuhan perikatan dengan ganti rugi; c. Ganti rugi; d. Pembatalan persetujuan timbal balik; e. Pembatalan dengan ganti rugi. 2. Bentuk dan isi penetapan lalai Penetapan lalai harus dituangkan dalam bentuk perintah atau akta yang sejenis dengan itu, demikianlah ketentuan pasal 1238 BW. Adapun yang dimaksud dengan perintah oleh undang-undang adalah suatu exploit dari jurusita, yaitu suatu pesan lisan; suatu salinan daripada tulisan yang telah dipersiapkan terlebih dulu oleh jurusita dan diserahkan kepada yang bersangkutan. Dalam praktek tulisan semacam itu sering disebut exploit. Pada pokoknya pemberitahuan jurusita disampaikan secara lisan. F. Ganti Rugi dalam Ingkar Janji Dalam hal debitur tidak memenuhi kewajiban sebagaimana mestinya dan ada unsur kelalaian dan salah, maka ada akibat hukum yang atas tuntutan dari kreditur bias menimpa debitur, sebagaimana diatur dalam pasal 1236 dan 1243, juga diatur pada pasal 1237 KUHPerdata. Pasal 1236 dan 1243 berupa ganti rugi dalam arti: - Sebagai pengganti dari kewajiban prestasi perikatannya. - Sebagian dari kewajiban perikatan pokoknya atau disertai ganti rugi atas dasar cacat tersembunyi. - Sebagai pengganti atas kerugian yang diderita kreditur. - Tuntutan keduanya sekaligus baik kewajiban prestasi pokok maupun ganti rugi keterlambatannya. Pada umumnya ganti rugi diperhitungkan dalam sejumlah uang tertentu. Dalam hal menentukan total, maka kreditur dapat meminta agar pemeriksaan perhitungan ganti rugi dilakukan dengan suatu prosedur tersendiri yang diusulkan. Kalau debitur tidak memenuhi kewajiban sebagaimana mestinya, maka debitur dapat dipersalahkan, maka kreditur berhak untuk menuntut ganti rugi. Jadi prinsip dasarnya kreditur wajib membuktikan adanya kerugian. Kesulitan dalam praktek sehubungan dengan perubahan nilai mata uang, nilai mata uang tidak stabil mengakibatkan tidak mudahnya menghitung ganti rugi. Sebagai patokan dalam menetapkan ganti rugi dengan sejumlah uang yaitu emas sebagai standar nilai rupiah. Yurisprudensi MA tahun 1955 mengambil emas sebagai standar dengan catatan bahwa resiko perubahan itu dibagi 2 antara penggugat dan tergugat. Ada kemungkinan kreditur tidak mau menerima prestasi yang diserahkan debitur, ditinjau dari sudut kewajiban penyerahan penjual berkedudukan sebagai kreditur, oleh karenanya sebenarnya tidak benar kalau dikatakan ada wanprestasi pada kreditur, sebab disana kreditur sebenarnya berkedudukan sebagai debitur. G. Keadaan Memaksa Pasal 1245 KUHPerdata mengatur tentang kerugian yang timbul karena berhalangannya debitur untuk memberikan sesuatu atau berbuat sesuatu yang diwajibkan karena adanya “ keadaan memaksa “ atau kejadian yang tidak disengaja, maka debitur tidak dapat dituntut ganti rugi oleh kreditur. Dari ketentuan tersebut bahwa debitur tidak dapat memenuhi ketentuan sebagaimana mestinya disebabkan oleh masalah-masalah sebagai berikut : - Hal yang tidak terduga. - Tidak dapat dipersalahkan kepadanya. - Tidak disengaja. - Tidak ada itikad buruk daripadanya. - Disebabkan debitur menghadapi keadaan memaksa. - Faktor kesalahan adalah faktor yang berkaitan dengan timbulnya halangan. Unsur-unsur wanprestasi adalah : - Ada peristiwa yang menghalangi prestasi debitur yang diterima sebagai halangan yang dapat membenarkan debitur untuk tidak berprestasi. - Tidak ada unsur salah pada debitur atas timbulnya peristiwa halangan. - Tidak dapat diduga sebelumnya oleh debitur. Overmacht pada garis besanya terbagi 2 (dua ) yaitu : - Teorai overmacht yang obyektif. Menurut ajaran ini debitur baru bisa mengemukakan keadaan memaksa, kalau setiap orang dalam kedudukan sebagai debitur tidak mungkin untuk dapat berprestasi sebagaimana mestinya, ketidakmungkinan berprestasi bersifat absolut, siapapun tidak bisa melakukan. Ukurannya : 1. ketidak mungkinan merupakan kemungkina obyektif / subyektif. 2. ketidakmungkinan itu tidak dapat dipersalahkan kepada debitur. Pasal 1444 KUHPerdata dapat disimpulkan kalau ada keadaan absolut tidak mungkin orang berprestasi, disini ada dasar untuk mengemukakan dalam keadaan overmacht. - Teori overmacht yang subyektif. Bahwa yang dimaksud debitur adalah debitur yang bersangkutan, yang disoroti adalah cirri-cirinya, kecakapan, tingkat social, kemampuan ekonomi debitur yang bersangkutan, berdasarkan teori ini debitur masih dimungkinkan keadaan memaksa, kalau ia membuktikan, bahwa ia sudah berupaya semaksimal mungkin sesuai harapan kreditur. Orang membedakan antara keadaan memaksa yang menyeluruh dan sebagian. Dalam hal ini orang berpendapat ada kesempatan bagi debitur untuk menuntut melaksanakan perjanjian dengan itikad baik. Tetapi HR telah beberapa kali menolak tuntutan seperti itu, kemudian HR merubah pendirian diantaranya keputusan tanggal 10 november 1927, : bahwa pihak-pihak dalam perjanjian tidak dibenarkan untuk, berdasarkan perjanjian, menuntut sesuatu dari lawannya yang mengakibatkan pelanggaran “ terhadapt itikad baik “. H. Resiko Pada asanya setiap orang memikul sendiri resiko atas kerugian yang menimpa barang miliknya, kecuali dilimpahkan ke perusahaan asuransi. Berdasarkan pasal 1237, benda yang harus diserahkan menjadi tangguangan kreditur. Karena prinsipnya kerugian menjadi tanggungan orang yang bersalah, maka dapat ditafsirkan bahwa kalau terjadi kerugian pada benda tertentu yang harus diserahkan dan tidak ada yang bersalah, maka yang harus menanggung kerugian adalah kreditur. Beberapa penulis mencari jalan keluar dengan menafsirkan pasal 1444 dengan kata-kata “ hapuslah perikatannya “ ditafsirkan sebagai “ hapuslah seluruh perikatan yang lahir dari perjanjian yang bersangkutan “. Pasal 1460 KUHPerdata ( tentang resiko pada jual beli ). Masalah resiko secara umum, dalam praktek ketentuan umum tentang resiko tidak banyak berperan sebab banyak diatur oleh perjanjian khusus, yang pada prinsifnya ketentuan khusus didahulukan terhadap ketentuan umum. Diluar itu para pihak dalam perjanjian juga bebas mengatur sendiri masalah resiko menyimpang dari ketentuan undang-undang yang bersifat menambah. I. Jenis-jenis Perikatan Perikatan dapat dibedakan menurut : A. Isi daripada prestasinya : 1. perikatan positif dan negatif 2. perikatan sepintas lalu dan berkelanjutan 3. perikatan alternatif 4. Perikatan fakultatif 5. perikatan generik dan specific 6. perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi B. Subjek-subjeknya : 1. perikatan solider atau tanggung renteng 2. perikatan principle atau accessoire C. Mulai berlaku dan berakhirnya perikatan : 1. perikatan bersyarat 2. perikatan dengan ketentuan waktu A.1. Perikatan positif dan negatif Perikatan positif adalah perikatan yang prestasinya berupa perbuatan nyata, misalnya memberi atau berbuat sesuatu. Sedangkan pada perikatan negatif prestasinya berupa tidak berbuat sesuatu. A.2. Perikatan sepintas lalu dan berkelanjutan Adakalanya untuk pemenuhan perikatan cukup hanya dilakukan dengan satu perbuatan saja dan dalam waktu yang singkat tujuan perikatan tercapai, misalnya perikatan untuk menyerahkan barang yang dijual dan membayar harganya. Perikatan semacam ini disebut perikatan sepintas lalu. Sedangkan perikatan, dimana prestasinya bersifat terus menerus dalam jangka waktu tertentu, dinamakan perikatan berkelanjutan. Misalnya perikatan yang timbul dari persetujuan sewa-menyewa atau persetujuan kerja. A.3. Perikatan alternatif Menurut pasal 1272 merumuskan tersendiri tentang perikatan alternative, si berhutang dibebaskan jika ia menyerahkan salah satu dari dua barang yang disebutkan dalam perikatan, tetapi ia tidak boleh memaksa si berpiutang untuk menerima sebagian dari barang yang satu dan sebagian dari barang yang lain. Uraiannya sebagai berikut : - Disini ada lebih dari satu barang yang menjadi pokok perikatan. - Perikatan hanya satu. - Masing-masing obyek ( prestasi )nya merupakan satu kesatuan. - Debitur hanya wajib memenuhi salah satu dari obyek prestasi. - Pemenuhan objek prestasi yang satu membebaskan debitur dari kewajiban prestasi yang lain. - Debitur berhak untuk memilih sendiri diantara obyek perikatan. - Debitur tidak boleh memberikan obyek prestasi sebagian-sebagian dari kedua-duanya. A.4. Perikatan fakultatif Suatu perikatan fakultatif adalah suatu perikatan yang obyeknya hanya berupa satu prestasi, dimana debitur dapat menggantikan dengan prestasi lain. Jika pada perikatan fakultatif, karena keadaan memaksa prestasi primairnya tidak lagi merupakan obyek perikatan, maka perikatannya menjadi hapus. Berlainan halnya pada perikatan alternatif, jika salahsatu prestasinya tidak lagi dapat dipenuhi karena keadaan memaksa, perikatannya menjadi murni. A.5. Perikatan generik danspecifik Perikatan generik adalah perikatan di mana obyeknya ditentukan menurut jenis dan jumlahnya. Sedangkan perikatan specifik adalah perikatan yang obyeknya ditentukan secara terperinci. Kewajiban menyerahkan 100 kg gula pasir merupakan perikatan generik dan kewajiban untuk menyerahkan rumah tertentu yang telah ditunjuk adalah perikatan specifik. A.6. Perikatan yang dapat dibagi-bagi dan yang tidak dapat dibagi-bagi Apakah suatu perikatan dapat dibagi atau tidak tergantung apakah prestasinya dapat dibagi-bagi atau tidak. Pasal 1299 BW menentukan bahwa jika hanya ada satu debitur atau satu kreditur prestasinya harus dilaksanakan sekaligus, walaupun prestasinya dapat dibagi-bagi. Baru timbul persoalan apakah perikatan dapat dibagi-bagi atau tidak jika para pihak atau salah satu pihak dan pada perikatan terdiri lebih dari satu obyek. Hal ini dapat terjadi jika debitur atau krediturnya meninggal dan mempunyai ahliwaris lebih dari satu. Dapat juga terjadi jika sejak semula pada salahsatu pihak sudah terdapat lebih dari satu obyek. Jika perikatan dapat dibagi-bagi, maka akibatnya adalah bahwa setiap debitur hanya dapat dituntut atau setiap kreditur hanya dapat menuntut bagiannya sendiri. Akibat daripada perikatan yang tidak dapat dibagi-bagi, adalah bahwa kreditur dapat menuntut terhadap setiap debitur atas keseluruhan prestasi atau debitur dapat memenuhi seluruh prestasi kepada salah seorang kreditur, dengan pengertian bahwa pemenuhan prestasi menghapuskan perikatan. B.2. Perikatan pokok dan accessoire Apabila seorang debitur atau lebih terikat sedemikian rupa, sehingga perikatan yang satu sampai batas tertentu tergantung kepadaa perikatan yang lain, maka perikatan yang pertama disebut perikatan pokok sedangkan yang lainnya perikatan accessoire. Misalnya perikatan utang dan borg. Dalam satu persetujuan dapat timbul perikatan-perikatan pokok dan accessoire, misalnya pada persetujuan jual-beli, perikatan untuk menyerahkan barang merupakan perikatan pokoknya, sedangkan kewajiban untuk memelihara barangnya sebagai bapak rumah tangga yang baik sampai barang tersebut diserahkan merupakan perikatan accessoire. C.1. Perikatan bersyarat Pasal 1253 merumuskan tentang syarat yaitu : - Suatu peristiwa yang masih akan datang, jadi belum terjadi. - Belum tentu akan terjadi. Kemudian dihubungkan dengan pasal berikutnya, pasal 1254 yaitu : - Mungkin terlaksana. - Tidak bertentangan dengan kesusilaan. Pasal 1253, 1254, 1255, mengatur syarat-syarat perjanjian, ditutup pada saat perjanjian, digantungkan dan dikehendaki oleh kedua belah pihak, kesimpulannya bahwa syarat sesuatu yang sengaja dicantumkan oleh para pihak, dan disetujui para pihak dalam perjanjian. Perikatan bersyarat diatur dalam bab I bagian ke 5 (lima ) buku 3 (tiga ), yang bersyarat adalah perikatannya, bukan perjanjiannya. Syarat yang terlarang mempunya akibat hukum yang lebih kuat daripada testamen. C.2. Perikatan dengan ketentuan waktu Pada perikatan dengan ketentuan waktu, perjanjian sudah lahir pada saat ditutup, tetapi daya kerja dari perikatan yang lahir tersebut ditangguhkan, sampai terpenuhinya peristiwa-peristiwa yang disyaratkan ( pasal 1268 ), kalau perikatan itu dibatalkan dengan munculnya syarat tertentu. Pasal 1268 mengatakan bahwa dalam suatu persetujuan diperjanjikan, pembayaran akan dilakukan pada waktu tertentu, maka kreditur tidak berhak untuk menagih sebelum waktu yang ditentukan.konsekwensinya kalau perikatan itu berisi “ untuk memberikan sesuatu “ maka debitur sudah sejak semula berkewajiban untuk memelihara benda prestasi dan wajib melakukan semua kewajiban-kewajiban persiapan. BAB III Perikatan Yang Terjadi Karena Persetujuan Persetujuan Pada Umumnya Persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Definisi ini kurang lengkap atau tidak secara lengkap menggambarkan tentang suatu perjanjian, karena: 1. Definisi hanya menyangkut Perjanjian sepihak, yakni Perjanjian dimana satu pihak saja yang berkewajiban melaksanakan suatu Prestasi. Jadi definisi tersebut tidak menyinggung tentang Perjanjian Timbal Balik yang merupakan bagian terbesar dari perjanjian-perjanjian yang ada. 2. Istilah “Perbuatan” tersebut terlalu luas, karena disamping menyinggung Perjanjian juga perbuatan-perbuatan lain yang bukan merupakan perjanjian. Lebih baik untuk kata “perbuatan” ini istilahnya diganti dengan “perbuatan hukum”, karena yang dipermasalahkan dalam hal ini adalah perjanjian sebagai sumber Perikatan. 3. Tidak dipenuhinya syarat “kata sepakat”, padahal syarat tersebut merupakan intisari suatu perjanjian. Pengertian perjanjian tidak hanya terdapat dalam Buku III, tetapi ada juga dalam Buku I, dimana antara lain yang merupakan suatu perjanjian yakni Perjanjian Perkawinan, dimana calon suami isteri memperjanjikan apa yang akan diperbuat dengan harta mereka yang dibawa dalam Perkawinan. Akan tetapi Perjanjian yang dimaksud dalam Buku III adalah perjanjian yang diatur dalam bidang hukum kekayaan, yakni bidang kebendaan dan bidang hukum perikatan. Bagian-bagian/ Unsur-unsur Persetujuan Essentialia Bagian-bagian daripada persetujuan yang tanpa itu persetujuan tidak mungkin ada. Harga adalah essentalia bagi persetujuan jual-beli. Naturalia Bagian-bagian yang oleh undang-undang ditentukan sebagai peraturan-peraturan yang bersifat mengatur. Misalnya penanggungan (vrijwaring). Accidentalia Bagian-bagian yang oleh para pihak ditambahkan dalam persetujuan, di mana undang-undang tidak mengaturnya. Misalnya jual-beli rumah beserta alat-alat rumah tangga. Macam-macam Persetujuan Oblogator 1. Persetujuan sepihak dan timbal balik Hendaknya diperhatikan bahwa setiap persetujuan merupakan perbuatan hukum bersegi dua atau jamak. Persetujuan timbal balik adalah persetujuan yang menimbulkan kewajiban pokok kepada kedua belah pihak (jual beli, sewa menyewa). Persetujuan sepihak adalah persetujuan, dimana hanya terdapat kewajiban pada salah satu pihak saja (hibah). 2. Persetujuan dengan Cuma-Cuma atau atas beban Persetujuan atas beban adalah persetujuan dimana terhadap prestasi pihak yang satu terdapat prestasi pihak yang lain. Antara kedua prestasi tersebut terdapat hubungan hukum satu dengan yang lain (jual beli, sewa menyewa). Persetujuan dengan Cuma-Cuma adalah persetujuan, dimana salah satu pihak mendapatkan keuntungan dari pihak yang lain secara Cuma-Cuma. 3. Persetujuan konsensuil, riil dan formil Persetujuan konsensuil adalah persetujuan yang terjadi dengan kata sepakat. Persetujuan riil adalah persetujuan, dimana selain diperlukan kata sepakat juga diperlukan penyerahan barang misalnya : penitipan barang, pinjam pakai dan pinjam mengganti. Adakalanya kata sepakat harus dituangkan dalam bentuk tertentu atau formil. Misal : hibah. 4. Persetujuan bernama, tidak bernama dan campuran Persetujuan-persetujuan bernama adalah persetujuan-persetujuan, dimana oleh undang-undang telah diatur secara khusus. Diatur dalam BW bab V s.d. XVIII ditambah title VII A; dalam KUHD persetujuan-persetujuan asuransi dan pengangkutan. Tidak selalu dengan pasti kita dapat mengatakan apakah suatu persetujuan itu merupakan persetujuan bernama atau tidak bernama. Karena ada persetujuan-persetujuan yang mengandung berbagai unsur dari berbagai persetujuan yang sulit dikualifikasikan sebagai persetujuan bernama atau tidak bernama (persetujuan campuran). Hanya dalam satu hal undang-undang memberikan pemecahannya yaitu, yang tersebut dalam pasal 1601 C. untuk menyelesaikan persoalan tersebut, maka dapat dikemukakan tiga teori : Teori absorptie Menurut teori ini diterapkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan daripada persetujuan yang dalam persetujuan campuran tersebut paling menonjol. Teori combinatie Menurut teori ini persetujuan dibagi-bagi dan kemudian atas masing-masing bagian tersebut diterapkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku untuk bagian-bagian tersebut. Teori generis Menurut teori ini, ketentuan-ketentuan daripada persetujuan-persetujuan yang terdapat dalam persetujuan campuran diterapkan secara analogis. Macam-macam Persetujuan Lainnya 1. Persetujuan liberatoire (pasal 1440 dan pasal 1442 BW) Persetujuan liberatoire adalah perbuatan hukum yang atas dasar sepakat para pihak mengahpuskan perikatan yang telah ada. A mengadakan perjanjian jual beli dengan B, yang dua hari kemudian dibatalkan lagi atas persetujuan mereka. 2. Persetujuan dalam hukum keluarga Misalnya perkawinan. Inipun merupakan persetujuan karena terjadi berdasarkan kata sepakat suami istri. Tetapi hendaknya diperhatikan bahwa persetujuan ini mempunyai ubah atau menghapuskan hak-hak kebendaan. 3. Persetujuan kebendaan Persetujuan ini diatur dalam buku II BW dan merupakan persetujuan untuk menyerahkan benda atau menimbulkan, mengubah atau menghapuskan hak-hak kebendaan. 4. Persetujuan mengenai pembuktian Para pihak adalah bebas untuk mengadakan persetujuan mengenai alat-alat pembuktian yang akan mereka gunakan dalam suatu proses. Dapat ditentukan pula alat pembuktian yang tidak boleh dipergunakan. Menentukan kekuatan alat bukti. Berlakunya Persetujuan Persetujuan pada asasnya hanya mengikat pihak-pihak yang membuat persetujuan saja (pasal 1315-pasal 1318 dan pasal 1340 BW). Akan tetapi ternyata terhadap asas tersebut undang-undang mengadakan pengecualian yang tersebut dalam pasal 1317 BW, yaitu mengenai janji bagi kepentingan pihak ketiga. Pasal 1316 yang mengatur persetujuan untuk menanggung atau menjamin pihak ketiga untuk berbuat sesuatu, sebenarnya bukan merupakan pengecualian dari pasla 1315. karena seseorang yang menanggung pihak ketiga untuk berbuat sesuatu, mengikatkan dirinya atas sesuatu kewajiban terhadap lawannya dalam persetujuan, bahwa manakala pihak ketiga tidak melakukan apa yang diharapkan daripadanya ia akan membayar ganti rugi. Dalam hal ini pihak ketiga menurut hukum tidak terikat oleh persetujuan tersebut. Janji Bagi Kepentingan Pihak Ketiga Janji bagi kepentingan pihak ketiga (derdenbeding) Janji bagi pihak ketiga adalah suatu janji yang oleh para pihak dituangkan dalam suatu persetujuan, dimana ditentukan bahwa pihak ketiga akan mendapatkan hak atas suatu prestasi. Janji semacam ini sering tampak dalam praktek seperti pada asuransi jiwa atau pada pemberian konsensi, dimana kotapraja memberi izin untuk mendirikan pabrik gas dengan syarat bahwa kepada penduduk akan diberi gas dengan kondisi-kondisi tertentu. Menurut pasal 1317 BW, janji bagi kepentingan pihak ketiga hanya mungkin dalam dua hal, yaitu : 1. Jika seseorang memberi sesuatu kepada orang lain, misal A menghadiahkan rumahnya kepada B dengan membebankan kepada B kewajiban untuk melakukan sesuatu prestasi untuk C. 2. Jika seseorang dalam persetujuan membuat suatu janji untuk kepentingan sendiri. Misal A menjual rumahnya kepada Bdengan janji bahwa B akan melakukan beberapa prestasi untuk C. Hal-hal yang mengikat dalam perjanjian (pasal 1338, 1339, 1347 BW) : 1. Isi perjanjian 2. Undang-undang 3. Kebiasaan 4. Kepatutan Akibat perjanjian yang sah (1338 BW) : 1. Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai bagi yang membuatnya. 2. Perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selai dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. 3. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Penafsiran isi perjanjian : 1. Jika kata-kata perjanjian jelas, tidak dikarenakan menyimpang. 2. Hal-hal yang memuat perjanjian selamanya diperjanjikan, dianggap dimasukan dalam perjanjian meskipun tidak dengan tegas dinyatakan. 3. Semua janji yang dibuat dalam perjanjian harus diartikan dalam hubungan satu sama lain (ditafsirkan dalam rangka perjanjian seluruhnya). 4. Jika ada keraguan, perjanjian harus ditafsirkan atas kerugian orang yang telah meminta diperjanjikannya sesuatu hal dan untuk keuntungan orang yang telah mengikatkan dirinya untuk itu. 5. Meskipun arti kata-kata dalam perjanjian luas atau tetapi perjanjian hanya meliputi hal-hal yang nyata-nyata dimaksudkan untuk kedua belah pihak sewaktu membuat perjanjian. Timbulnya Hak Bagi Pihak Ketiga Untuk menentukan timbulnya hak bagi pihak ketiga, terdapat tiga teori, yaitu : 1. Teori penawaran Menurut teori ini janji untuk pihak ketiga dianggap sebagai suatu penawaran dari seseorang yang menjanjikan sesuatu untuk kepentingan pihak ketiga. Selama pihak ketiga belum menyatakan menerima penawaran tersebut, penawaran itu masih dapat dicabut kembali. Janji pihak ketiga baru timbul setelah penawaran diterima. 2. Teori pernyataan yang menentukan sesuatu hak (theorie rechtbevestigende verklaring) Menurut teori ini, hak pihak ketiga terjadi pada saat dibuatnya pesetujua antara pihak yang menjanjikan sesuatu untuk kepentingan pihak ketiga dan pihak yang mempunyai kewajiban terhadpa pihak ketiga. Janji tersebut masih dapat ditarik kembali dan ini akan menghapuskan hak pihak ketiga. Penerimaan oleh pihak ketiga meniadakan hak untuk mencabut janji tersebut. 3. Teori pernyataan untuk memperoleh hak (theorie rechtverkrijgende verklaring) Teori ini mengemukakan bahwa hak pihak ketiga baru terjadi setelah pihak ketiga menyatakan kehendaknya untuk menerima janji tersebut. Hoge Raad menganut teori ini. Actio Pauliana Pasal 1341 KUHPerdata mengatur apa yang disebut : Actio Pauliana, yakni hak untuk menuntut pembatalan perbuatan yang dilakukan oleh Debitur dengan maksud untuk merugikan Pihak Kreditur. Contoh : A meminjamkan uang kepada B sebesar Rp 1 Milyar dengan jaminan harta kekayaannya sejumlah Rp 1 Milyar pula, Debitur lalu menghibahkan setengah dari hartanya kepada pihak ketiga, sedangkan ia mengetahui bahwa penghibahan ini akan merugikan pihak Kreditur. Dalam hal ini Kreditur dapat berhak menuntut pembatalan Hibah yang merugikan pihaknya. Dalam hal ini tentunya rugi karena jaminannya menjadi berkurang. Untuk dapat melakukan hak tersebut, harus dipenuhi beberapa syarat, yakni: 1. Perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan yang tidak wajib; 2. Perbuatan yang tidak wajib itu merupakan perbuatan hukum (misalnya perjanjian); 3. Perbuatan itu menimbulkan kerugian pada pihak Kreditur; 4. Debitur mengetahui bahwa perbuatan itu menimbulkan kerugian bagi pihak Kreditur. Jika keempat syarat tersebut terpenuhi, maka pihak Kreditur berhak menuntut pembatalan perbuatan Debitur yang merugikan itu (atau mengajukan Actio Pauliana). Terjadinya Persetujuan Pasal 1320 menentukan bahwa untuk sahnya persetujuan diperlukn 4 (empat) syarat : 1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. cakap untuk membuat perikatan; 3. suatu hal tertentu; 4. suatu sebab atau clausa yang halal. Syarat pertama dan kedua menyangkut subyeknya, sedangkan syarat ketiga dan keempat mengebai obyeknya. Terdapatnya cacad kehendak (keliru, paksaan, penipuan) atau tidak cakap untuk membuat perikatan mengakibatkan dapat dibatalkannya persetujuan. Jika obyeknya tidak tertentu atau tidak dapat ditentukan atau causanya tidak halal persetujuannya adalah batal. Akibat-akibat Persetujuan Pasal 1338 ayat 1 menentukan bahwa setiap persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Ini berarti setiap persetujuan mengikat para pihak. Dari perkataan “setiap’ dalam pasal di atas dapat disimpulkan azas kebebasan berkontrak. Kebebasan berkontrak ini dibatasi oleh hukum yang sifatnya memaksa. Sehingga para pihak yang membuat persetujuan harus mentaati hukum yang sifatnya memaksa tersebut, misalnya terhadap pasal 1320. Ayat 2 pasal di atas merupakan kelanjutan dari ayat 1. Karena jika persetujuan dapat dibatalkan secara pihak, berarti persetujuan tidak mengikat. Penafsiran Persetujuan Jika kata-kata suatu persetujuan telah jelas, tidaklah diperkenankan untuk menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran. Jadi, jika kata-katanya telah jelas, maka kita tidak boleh menyelidiki maksud para pihak. Yang menjadi persoaalan, apakah yang diartikan dengan “jelas”? suatu perikatan adalah jelas bagi yang satu, tetapi belum tentu bagi yang lain. Jadi perkataan “jelas” di sini tidak dapat memberikan pengertian yang umum. Seseorang tidak mungkin membentangkan buah pemikirannya yang complex sedemikian rupa, sehingga atas perkataannya tidak akan terdapat penafsiran yang berbeda-beda. Jadi kata-kata “jelas’ dalam pasal tersebut di atas harus diartikan sebagai kata-kata yang sedikit sekali memberikan kemungkinan untuk terjadinya penafsiran yang berbeda. Hapusnya Persetujuan Persetujuan dapat hapus, karena : a. ditentukan dalam persetujuan oleh para pihak. Misalnya persetujuan akan berlakuuntuk waktu tertentu; b. undang-undang menentukan batas berlakunya suatu persetuan. c. para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu, maka persetujuan akan hapus. d. pernyataan menghentikan persetujuan (opzegging) dapat dilakukan oleh kedua belah pihak atau oleh salah satu pihak. e. persetujuan hapus karena putusan hakim. f. Tujuan persetujuan telah tercapai. g. dengan persetujuan para pihak. (herroeping). BAB IV Perikatan Yang Terjadi Karena Undang-undang Perwakilan Sukarela perwakilan sukarela adalah suatu perbuatan dimana seseorang secara sukarela menyediakan dirinya dengan maksud mengurus kepentingan orang lain, dengan perhitungan dan resiko orang tersebut. Dalam konteks kehidupan sehari-hari contoh perwakian sukarela yaitu A adalah seorang mahasiswa. Dia memiliki peliharaan Hamster yang ditaruh di kandang depan kamar kosnya. Suatu saat dia pergi 2 bulan karena harus KKN. Lalu B tetangga kos A melihat Hamster yang kelaparan. Dengan inisiatif sendiri B memberi makan dan membersihkan kandang Hamster milik A. Maka berdasarkan Hukum, B harus terus merawat hamters itu selayaknya pemilik sampai A tiba selesai KKN dan merawatnya sendiri. Syarat adanya perwakilan sukarela adalah : 1. Yang diurus adalah kepentingan orang lain 2. Bersifat Sukarela (inisiatif sendiri, bukan karena kewajiban perjanjian) 3. seorang wakil harus mengetahui dan menghendaki dalam mengurus kepentingan orang lain (1354) 4. Harus ada keadaan yang mendukung. Misalnya seseorang yang diurus kepentingannya tidak berada di tempat/ sebab-sebab lain yang menyebabkan ia tidak dapat mengurus kepentingannya sendiri. Orang yang bertindak sebagai wakil sukarela disebut Gestor. Adapun hak dan kewajiban seorang gestor adalah : Kewajiban Gestor : 1. Dalam melakukan pengurusan, wakil sukarela harus bertindak sebagai bapak rumah tangga yang baik dan melakukan pengurusan secara layak. (Pasal 1356 dan 1357) 2. Wajib meneruskan pekerjaan yang telah diurusnya karena dianggap secara diam-diam mengikatkan dirinya hingga yang diwakili dapat mengurus sendiri kepentingannya (Pasal 1354 KUHPerdata. 3. Kewajiban pengurusan ini tetap berlangsung meski yang diwakili meninggal dunia hingga ahli waris mengambil alih kewajibannya. (Pasal 1355 KUHPerdata) 4. Memberikan lapran dan perhitungan mengenai apa yang diterima. 5. Bertanggungjawab atas kerugian pihak yang diwakili akibat pelasanaan tugas yang kurang baik. adapun Hak gestor yaitu : 1. Berhak mendapatkan penggantian biaya-biaya yang telah dikeluarkan dalam bagian pengurusan kepentingan secara sukarela tersebut (Gestor tidak berhak menerima upah). 2. Gestor mempunyai hak retensi yaitu menahan barang-barang kepunyaan orang yang diwakili sampai pengeluaran-pengeluarannya dibayar (Dasar hukum : Arrest Hoge raad 10 des. 1948). Pembayaran Yang Tidak Terutang Pembayaran tidak terutang atau dalam bahasa Belandanya onverschuldigde betalingterjadi bilamana seorang melakukan pembayaran kepada pihak lain tanpa adanya hutang. Pembayaran yang dimaksud adalah setiap pemenuhan prestasi. Contoh dalam kehidupan sehari-hari dapat saya deskripsikan sebagai berikut : A seorang mahasiswa memiliki hutang kepada B. Suatu hari utang tersebut telah dibayar lunas oleh A. Namun karena A orangnya pelupa maka bebearpa hari kemudian ia membayar lagi kepada B. B menerima saja pembayaran yang kedua itu. Anggap saja sebagi sejeki. Nah, pembayaran utang yang kedua itu merupakan pembayaran tidak terutang. Contoh kasus lain adalah Sukijo membeli sepeda motor dan sudah dibayar lunas dan akan diantar dealer pada sore hari. Lalu pihak dealer mengirim motor itu dan menurunkan di kampung sebelah yang kebetulan ada juga yang berwarna sukijo. Petugas dealer meminta tandatangan tanda terima dari pak sukijo dari kampung sebelah untuk kemudian langsung pergi. Sukijo kampung sebelah menerima saja hal itu. dia menganggapnya sebagai rejeki. nah Sukijo yang sebenarnya membeli motor protes kepada dealer karena motornya blum juga sampai. Pihak dealer lalu menyadari kesalahan itu dan berniat meminta kembali motor yang telah diberikan kepada sukojo kampung sebelah kepada sukijo pembeli motor. Namun permintaan itu ditolak oleh sukijo kampung sebelah dengan alsan sudah terjadi pemberian. Contoh kasus diatas mungkin jarnag terjadi di Indonesia. entah bentuk yang sering terjadi seperti apa namun itu penting untuk diatur. Pembayaran tidak terutang diatur pada pasal 1359 KUHPerdata. Seorang yang membayar tanpa adanya hutang berhak menuntut kembali apa yang telah dibayarkan dan yang menerima tanpa hak tersebut berkewajiban untuk mengembalikan. penuntutan pengembalian pembayaran tidak terutang tidak harus didasarkan pada adanya kekeliruan oran yang sadar membayar tanpa adanya utang, tetap berhak menuntut kembali. Pasal 1362 KUHPerdata mengatur bahwa barang siapa dengan itikad buruk menerima suatu pembayaran tanpa hak, harus mengembalikan hasil dan bunganya. orang tersebut juga harus mengganti kerugian jika nila barnag-barangnya menjadi berkurang. Jika barangnya musnah di luar kesalahannya, ia harus menganti barangnya beserta biaya, kerugian dan bunga, kecuali jika ia dapat membuktikan bahwa barangnya tetap akan musnah sekalipun berada pada orang yang berhak. Perikatan Alam Pasal 1359 ayat 2 yang berbunyi “Perikatan alam yang secara sukarela dipenuhi, tak dapat dituntut pengembaliannya” merupakan satu-satunya pasal mengenai perikatan alam. Pasal tersebut tidak menerangkan, apakah yang diartikan dengan perikatan alam, tetapi hanya menjelaskan tentang akibatnya saja. Perbuatan Melawan Hukum Perbuatan melawan hukum memiliki ruang lingkup yang lebih luas dibandingkan dengan perbuatan pidana. Perbuatan melawan hukum tidak hanya mencakup perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang pidana saja tetapi juga jika perbuatan tersebut bertentangan dengan undang-undang lainnya dan bahkan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang tidak tertulis. Ketentuan perundang-undangan dari perbuatan melawan hukum bertujuan untuk melindungi dan memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan. “Setiap perbuatan pidana selalu dirumuskan secara seksama dalam undang-undang, sehingga sifatnya terbatas. Sebaliknya pada perbuatan melawan hukum adalah tidak demikian. Undang-undang hanya menetukan satu pasal umum, yang memberikan akibat-akibat hukum terhadap perbuatan melawan hukum.” Perbuatan melawan hukum dalam bahasa Belanda disebut denganonrechmatige daad dan dalam bahasa Inggeris disebut tort. Kata tort itu sendiri sebenarnya hanya berarti salah (wrong). Akan tetapi, khususnya dalam bidang hukum, kata tort itu sendiri berkembang sedemikian rupa sehingga berarti kesalahan perdata yang bukan berasal dari wanprestasi dalam suatu perjanjian kontrak. Jadi serupa dengan pengertian perbuatan melawan hukum disebut onrechmatige daad dalam sistem hukum Belanda atau di negara-negara Eropa Kontinental lainnya. Kata ” tort ” berasal dari kata latin ” torquere ” atau ” tortus ” dalam bahasa Perancis, seperti kata ”wrong ” berasal dari kata Perancis ” wrung ” yang berarti kesalahan atau kerugian (injury). Sehingga pada prinsipnya, tujuan dibentuknya suatu sistem hukum yang kemudian dikenal dengan perbuatan melawan hukum ini adalah untuk dapat mencapai seperti apa yang dikatakan dalam pribahasa bahasa Latin, yaitu juris praecepta sunt luxec, honestevivere, alterum non laedere, suum cuique tribuere (semboyan hukum adalah hidup secara jujur, tidak merugikan orang lain, dan memberikan orang lain haknya). Onrechtmatigedaad (perbuatan melawan hukum), pada Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Pasal 1401 KUHPerdata, yang menetapkan: “Elke onrecthamatigedaad, waardoor aan een ander schade wordt toegebragt, stelt dengene door wiens shuld die schade veroorzaakt is in de verpligting om dezelve te vergoeden”. Soebekti dan Tjitrosudibio menterjemahkannya sebagai berikut: “Tiap perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Para pihak yang melakukan perbuatan hukum itu disebut sebagai subjek hukum yaitu bias manusia sebagai subjek hukum dan juga badan hukum sebagai subjek hukum. Semula, banyak pihak meragukan, apakah perbuatan melawan hukum memang merupakan suatu bidang hukum tersendiri atau hanya merupakan keranjang sampah, yakni merupakan kumpulan pengertian-pengertian hukum yang berserak-serakan dan tidak masuk ke salah satu bidang hukum yang sudah ada, yang berkenaan dengan kesalahan dalam bidang hukum perdata. Baru pada pertengahan abad ke 19 perbuatan melawan hukum, mulai diperhitungkan sebagai suatu bidang hukum tersendiri, baik di negara-negara Eropa Kontinental, misalnya di Belanda dengan istilah Onrechmatige Daad, ataupun di negara-negara Anglo Saxon, yang dikenal dengan istilah tort. Perbuatan Melawan Hukum diatur dalam Pasal 1365 s/d Pasal 1380 KUH Perdata. Pasal 1365 menyatakan, bahwa setiap perbuatan yang melawan hukum yang membawa kerugian kepada orang lain menyebabkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian mengganti kerugian tersebut. Perbuatan melawan hukum dalam KUH Perdata berasal dari Code Napoleon. Menurut Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia, maka yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang, yang karena kesalahannya itu telah menimbulkan kerugian bagi orang lain. Pasal 1365 KUHPerdata berbunyi: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Istilah “melanggar” menurut MA Moegni Djojodirdjo hanya mencerminkan sifat aktifnya saja sedangkan sefiat pasifnya diabaikan. Pada istilah “melawan” itu sudah termasuk pengertian perbuatan yang bersifat aktif maupun pasif. Seseorang dengan sengaja melakukan sesuatu perbuatan yang menimbulkan kerugian pada orang lain, maka nampaklah dengan jelas sifat aktif dari istilah melawan tersebut. Sebaliknya kalau seseorang dengan sengaja tidak melakukan sesuatu atau diam saja padahal mengetahui bahwa sesungguhnya harus melakukan sesuatu perbuatan untuk tidak merugikan orang lain atau dengan lain perkataan bersikap pasif saja, bahkan enggan melakukan kerugian pada orang lain, maka telah “melawan” tanpa harus menggerakkan badannya. Inilah sifat pasif daripada istilah melawan. Ketentuan dalam Pasal 1365 BW kemudian dipertegas kembali dalam Pasal 1366 BW yaitu: “Setiap orang bertanggung jawab tidak hanya untuk kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatannya tetapi juga disebabkan oleh kelalaiannya.” Kedua pasal tersebut di atas menegaskan bahwa perbuatan melawan hukum tidak saja mencakup suatu perbuatan, tetapi juga mencakup tidak berbuat. Pasal 1365 BW mengatur tentang “perbuatan” dan Pasal 1366 BW mengatur tentang “tidak berbuat”. Dilihat dari sejarahnya maka pandangan-pandangan mengenai perbuatan melawan hukum selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Menurut Rachmat Setiawan dalam bukunya “Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum”, perbuatan melawan hukum dapat dibedakan menjadi 2 interpretasi, yaitu interpretasi sempit atau lebih dikenal dengan ajaran legisme dan interpretasi luas. Menurut ajaran Legisme (abad 19), suatu perbuatan melawan hukum diartikan sebagai beruat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan kewajiban hukum dari si pembuat atau melanggar hak orang lain. Sehingga menurut ajaran Legistis suatu perbuatan melawan hukum harus memenuhi salah satu unsure yaitu: melanggar hak orang lain bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat yang telah diatur dalam undang-undang. Ajaran Legistis lebih menitik beratkan bahwa tidak semua perbuatan yang menimbulkan kerugian dapat dituntut ganti rugi melainkan hanya terhadap perbuatan melawan hukum saja yang dapat memberikan dasar untuk menuntut ganti rugi. Pandangan tersebut kemudian lebih dikenal sebagai pandangan sempit. Ajaran Legistis tersebut mendapat tantangan dari beberapa sarjana diantarnya adalah Molengraaf yang mana menurut pandangan beliau, yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum tidak hanya terpaku pada melanggar undang-undang semata, tetapi juga jika perbuatan tersebut melanggar kaedah-kaedah kesusilaan dan kepatutan. Pada tahun 1919, Hoge Raad merumuskan pandangan luas mengenai perbuatan melawan hukum. Pada rumusannya, Hoge Raad mempergunakan rumusan yang terdapat dalam rancangan Heemskerk yang mana yang dimaksud perbuatan melawan hukum tidak sama dengan melawan undang-undang tetapi perbuatan melawan hukum harus diartikan sebagai “berbuat” atau “tidak berbuat” yang memperkosa hak oranglain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat atau bertentangan dengan asas kesusilaan dan kepatuhan dalam masyarakat, baik terhadap diri atau benda orang lain. Rumusan tersebut dituangkan dalam “Standart Arrest” 31 Januari 119 dalam perkara Cohen dan Lindenbaum: “…. Penafsiran tersebut tidak beralasan karena melawan hukum tidak sama dengan melawan undang-undang. Menurut Hoge Raad perbuatan melawan hukum harus diartikan sebagai “berbuat” atai “tidak berbuat” yang memperkosa hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat atau kesusilaan atau kepatuhan dalam masyarakat, baik terhadap diri atau benda orang lain.” Sejak tahun 1919, Hoge Raad mulai menafsirkan Perbuatan Melawan Hukum dalam arti luas pada perkara Lindenbaum v. Cohen dengan mengatakan Perbuatan Melawan Hukum harus diartikan sebagai berbuat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan : 1. Hak Subyektif orang lain. 2. Kewajiban hukum pelaku. 3. Kaedah kesusilaan. 4. Kepatutan dalam masyarakat Pertanggungjawaban yang harus dilakukan berdasarkan perbuatan melawan hukum ini merupakan suatu perikatan yang disebabkan dari undang-undang yang mengaturnya (perikatan yang timbul karena undang-undang). Pada ilmu hukum dikenal 3 (tiga) kategori perbuatan melawan hukum, yaitu sebagai berikut: 1. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan 2. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan maupun kelalaian). 3. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian. Bila dilihat dari model pengaturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang perbuatan melawan hukum lainnya, dan seperti juga di negaranegara dalam sistem hukum Eropa Kontinental, maka model tanggung jawab hukum di Indonesia adalah sebagai berikut: 1. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian), seperti terdapat dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia. 2. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan, khususnya unsur kelalaian seperti terdapat dalam Pasal 1366 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia. 3. Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) dalam arti yang sangat terbatas seperti dalam Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia. Perbuatan Melawan Hukum Oleh Badan Hukum Praktek peradilan menerima bahwa badan hukum dapat juga melakukan perbuatan melawan hukum dan karenanya dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan pasal 1365. Yang menjadi dasar dari pendapat tersebut adalah bahwa perbuatan organ suatu badan hukum berlaku sebagai perbuatan dari badan hukum itu sendiri. Perbuatan di sini, bukan hanya perbuatan hukum tetapi juga mencakup perbuatan-perbuatan manusia lainnya. Perbuatan Melawan Hukum Oleh Penguasa 1. Tindakan Pemerintahan. Pemerintah dengan alat perlengkapan/organ-organnya sebagai Penguasa dalam menjalankan tugasnya guna mencapai tujuan Negara melakukan tindakan-tindakan berdasarkan wewenang khusus. Segala tindakan dan kewenangan tersebut disebut Tindak Pemerintahan. Mengenai tujuan Negara pada Era sekarang ini, seperti diketahui pada prinsipnya adalah menyelenggarakan kepentingan Umum. Di Indonesia, perumusan mengenai tujuan Pemerintahan itu tercantum dalam Alenia IV Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi : Untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia…”. 2. Perlindungan terhadap Tindakan Penguasa Dalam Rangka melaksanakan tugasnya, Pemerintah melakukan tindakan-tindakan yang tentu akan menyangkut kepentingan orang. Yang mana setiap tindakan yang dilakukan Pemerintah itu disatu fihak akan membawa keuntungan tetapi dilain fihak tidak jarang akan merugikan orang-orang tertentu. Dengan demikian tidak dapat dipungkiri bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan untuk kepentingan umum, kadang-kadang Pemerintah merugikan orang Perseorangan. Karenanya dalam hal yang demikian Pemerintah sebagai Penguasa seyogyanya dalam melakukan tindakan selalu harus mempertimbangkan kepentingan yang perlu dilindungi. Apabila in concreto suatu kepentingan umum dianggap bersifat lebih berat daripada kepentingan perseorangan, maka kepentingan orang perseorangan harus dikalahkan. Tetapi sebaliknya apabila kepentingan umum itu in concreto tidak begitu berat artinya tidak merugikan masyarakat bila diabaikan, sedang dengan mengabaikan kepentingan umum yang ringan itu ada dapat dipenuhi kepentingan orang perseorangan yang amat berat, maka selayaknya Negara dalam peristiwa ini harus dikalahkan, yaitu harus dianggap melakukan perbuatan melanggar hukum dan harus memberi ganti kerugian kepada orang perseorangan yang dirugikan sebagai akibat perbuatan Pemerintah itu 3. Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa. Perbuatan melawan hukum tidak hanya berarti berbuat (atau tidak berbuat) yang melanggar hak subyektif orang lain ataupun bertentangan dengan kewajiban hukum sipelaku, akan tetapi meliputi juga berbuat (atau tidak berbuat) yang bertentangan dengan azas kepatutan, ketelitian serta sikap kehati-hatian yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulannya dalam masyarakat terhadap milik orang lain. Penguasa dapat juga melakukan tindakan yang melawan/melanggar azas kepatutan tadi, apabila Penguasa ikut ambil bagian dalam suatu kegiatan dalam kedudukannya yang sama dengan orang perseorangan, dengan cara melakukan perbuatan-perbuatan yang menurut hakikatnya tidak hanya dapat dilakukan oleh Penguasa, akan tetapi dapat juga dilakukan oleh orang perseorangan. 4. Kebijaksanaan Pemerintah Dalam setiap kebijakan yang dibuat Penguasa haruslah betul-betul mempertimbangkan kepentingan umum, dan jangan sampai menimbulkan sesuatu yang pada sekarang ini disebut dengan abuse of politican power. Dimana pemerintah sebagai penguasa bertindak sewenang-wenang. BAB V Hapusnya Perikatan Pembayaran Pembayaran dalam arti sempit adalah pelunasan utang oleh debitur kepada kreditur, pembayaran seperti ini dilakukan dalam bentuk uang atau barang. Sedangkan pengertian pembayaran dalam arti yuridis tidak hanya dalam bentuk uang, tetapi juga dalam bentuk jasa seperti jasa dokter, tukang bedah, jasa tukang cukur atau guru privat. Penawaran Pembayaran diikuti Penitipan Penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan penitipan/konsignasi merupakan salah satu hal/sehab hapusnya perikatan. Konsignasi diatur dalam Pasal 1404 s/d. 1412 KUHPerdata. Jika si berpiutang menolak pembayaran dari yang berutang, maka pihak yang berutang dapat melakukan pembayaran tunai utangnya dengan menawarkan pembayaran yang dilakukan oleh jurusita dengan disertai 2 (dua) orang saksi. Konsignasi terjadi apabila seorang kreditur menolak pembayaran yang dilakukan oleh debitur, debitur dapat melakukan penawaran pembayaran tunai atas utangnya, dan jika kreditur masih menolak, debitur dapat menitipkan uang atau barangnya di pengadilan. Pembaharuan Utang (Novasi) Novasi adalah sebuah persetujuan, dimana suatu perikatan telah dibatalkan dan sekaligus suatu perikatan lain harus dihidupkan, yang ditempatkan di tempat yang asli. Ada tiga macam jalan untuk melaksanakan suatu novasi atau pembaharuan utang yakni: 1. Apabila seorang yang berutang membuat suatu perikatan utang baru guna orang yang mengutangkannya, yang menggantikan utang yang lama yang dihapuskan karenanya. Novasi ini disebut novasi objektif. 2. Apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berutang lama, yang oleh siberpiutang dibebaskan dari perikatannya (ini dinamakan novasi subjektif pasif). 3. Apabila sebagai akibat suatu perjanjian baru, seorang kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur lama, terhadap siapa si berutang dibebaskan dari perikatannya (novasi subjektif aktif). Perjumpaan Utang (Kompensasi) Yang dimaksud dengan kompensasi adalah penghapusan masing-masing utang dengan jalan saling memperhitungkan utang yang sudah dapat ditagih antara kreditur dan debitur. Percampuran Utang Konfusio adalah percampuran kedudukan sebagai orang yang berutang dengan kedudukan sebagai kreditur menjadi satu. Misalnya si debitur dalam suatu testamen ditunjuk sebagai waris tunggal oleh krediturnya, atau sidebitur kawin dengan krediturnya dalam suatu persatuan harta kawin. Pembebasan Utang Undang-undang tidak memberikan definisi tentang pembebasan utang. Secara sederhana pembebasan utang adalah perbuatan hukum dimana dengan itu kreditur melepaskan haknya untuk menagih piutangnya dari debitur. Pembebasan utang tidak mempunyai bentuk tertentu. Dapat saja diadakan secara lisan. Untuk terjadinya pembebasan utang adalah mutlak, bahwa pernyataan kreditur tentang pembebasan tersebut ditujukan kepada debitur. Pembebasan utag dapat terjadi dengan persetujuan atau Cuma- Cuma. Menurut pasal 1439 KUH Perdata maka pembebasan utang itu tidak boleh dipersangkakan tetapi harus dibuktikan. Misalnya pengembalian surat piutang asli secara sukarela oleh kreditur merupakan bukti tentang pembebasan utangnya. Dengan pembebasan utang maka perikatan menjadi hapus. Jika pembebasan utang dilakukan oleh seorang yang tidak cakap untuk membuat perikatan, atau karena ada paksaan, kekeliruan atau penipuan, maka dapat dituntut pembatalan. Pasal 1442 menentukan : (1) pembebasan utang yang diberikan kepada debitur utama, membebaskan para penanggung utang, (2) pembebasan utang yang diberikan kepada penanggung utang, tidak membebaskan debitur utama, (3) pembebasan yang diberikan kepada salah seorang penanggung utang, tidak membebaskan penanggung lainnya. Musnahnya Barang yang Terutang Apabila benda yang menjadi obyek dari suatu perikatan musnah tidak dapat lagi diperdagangkan atau hilang, maka berarti telah terjadi suatu ”keadaan memaksa”at au force majeur, sehingga undang-undang perlu mengadakan pengaturan tentang akibat-akibat dari perikatan tersebut. Menurut Pasal 1444 KUH Perdata, maka untuk perikatan sepihak dalam keadaan yang demikian itu hapuslah perikatannya asal barang itu musnah atau hilang diluar salahnya debitur, dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Ketentuan ini berpokok pangkal pada Pasal 1237 KUH Perdata menyatakan bahwa dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu kebendaan itu semenjak perikatan dilakukan adalah atas tenggungan kreditur. Kalau kreditur lalai akan menyerahkannya maka semenjak kelalaian-kebendaan adalah tanggungan debitur. Kebatalan dan Pembatalan Perikatan-perikatan Bidang kebatalan ini dapat dibagi dalam dua hal pokok, yaitu : batal demi hukum dan dapat dibatalkan. Disebut batal demi hukum karena kebatalannya terjadi berdasarkan undang-undang. Misalnya persetujuan dengan causa tidak halal atau persetujuan jual beli atau hibah antara suami istri adalah batal demi hukum. Batal demi hukum berakibat bahwa perbuatan hukum yang bersangkutan oleh hukum dianggap tidak pernah terjadi. Contoh : A menghadiahkan rumah kepada B dengan akta dibawah tangan, maka B tidak menjadi pemilik, karena perbuatan hukum tersebut adalah batal demi hukum. Dapat dibatalkan, baru mempunyai akibat setelah ada putusan hakim yang membatalkan perbuatan tersebut. Sebelu ada putusan, perbuatan hukum yang bersangkutan tetap berlaku. Contoh : A seorang tidak cakap untuk membuat perikatan telah menjual dan menyerahkan rumahnya kepada B dan kerenanya B menjadi pemilik. Akan tetapi kedudukan B belumlah pasti karena wali dari A atau A sendiri setelah cukup umur dapat mengajukan kepada hakim agar jual beli dan penyerahannya dibatalkan. Undang-undang menentukan bahwa perbuata hukum adalah batal demi hukum jika terjadi pelanggaran terhadap syarat yang menyangkut bentuk perbuatan hukum, ketertiban umum atau kesusilaan. Jadi pada umumnya adalah untuk melindungi ketertiban masyarakat. Sedangkan perbuatan hukum dapat dibatalkan, jika undang-undang ingin melindungi seseorang terhadap dirinya sendiri.

2 komentar:

  1. Assalamualaikum
    sebelumnya saya minta maaf sudah mengganggu
    kalo boleh tau ini bukunya apa dan pengarangannya siapa gan?

    BalasHapus
  2. HUKUM PERIKATAN
    BUKU KARYA R. SETIAWAN, SH.

    BalasHapus

Copyright © 2012 Makalah Luarbiasa (Lubis).